Suaramuslim.net – Politik dalam siyasah. Bisa dikatakan siyasah menaungi politik. Lebih kasarnya jika berpolitik harus bersiasat. Politik sendiri tidak lepas dalam bersiasat. Sebelum jauh berbicara dengan keduanya, alangkah baik jika mengetahui apa dua kata tersebut.
Politik dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan;segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan.
Dalam pengertian di atas politik begitu erat dengan siasat. Siyasah sendiri setelah melebur ke dalam Bahasa Indonesia menjadi siasat. Yang tidak berbeda banyak pemaknaannya ke politik.
Siasat sendiri dalam KBBI juga bermakna muslihat; metode; politik untuk mencapai suatu maksud, sehingga bisa dikatakan jika dalam berpolitik merupakan seni untuk bersiasat. Seni untuk “mengakali” sesuatu agar tercapai ke sesuatu tersebut. Apabila sudah tahu sedikit gambarannya, maka alangkah baik jika mulai mengerutkan kening untuk menyimak dalam berita aktual akhir-akhir ini.
Mulai dari berita bohong yang dilontarkan salah satu aktivis perempuan yang semua pasti tahu namanya. Juga sebelumnya tentang pasangan capres-cawapres yang masih lagu lama. Kok lagu lama? Hanya dua kandidat yang mengulang di tahun 2014.
Ini semua disebabkan aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Aturan tersebut ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222 syarat partai politik atau gabungan partai politik diharuskan memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014.
Aturan tersebut pernah diajukan uji materi oleh Partai Idaman dengan nomor 53/PUU-XV/2017, Habiburokhman nomor 44/PUU-XV/2017, Effendi Ghazali nomor 59/PUU-XV/2017, Hadar Nafis Gumay nomor 71/PUU-XV/2017 dan Mas Soeroso nomor 72/PUU-XV/2017. Mereka semua mengajukan uji materi tersebut bertujuan untuk pilihan presiden bisa lebih dari dua kandidat. Rakyat bisa punya pilihan lebih beragam. Namun terlepas dari itu semua, kita kembali ke awal.
Dengan aturan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional maka partai-partai akan berkoalisi. Dengan segala kepentingannya mereka masuk kubu petahana dan oposisi. Apakah kepentingannya di pencalonan presiden dan wakil presiden saja? Tentu tidak. Disana ada pencalonan legislatif dari DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD. Semua itu akan selalu berkaitan dan saling memberikan pengaruh. Presiden yang tidak punya pengaruh di DPR akan “mati langkah”, saat bergerak untuk memuluskan program-programnya.
Jika setelah 20 September 2018 isu-isu berbau politis akan bersahutan. Mulai ulama yang berani nyawapres, anak muda lagi pengusaha juga nyawapres hingga berita bohong yang meliputinya. Dan hoax yang cukup fenomenal yang dilakukan oleh aktivis perempuan ini memang akan menjadi keseruan tersendiri untuk menjadi bahan menguji siasat masing-masing calon.
Siasat dalam politik merupakan sebuah tanda kehidupan perpolitikan itu sendiri. Penguasa agar langgeng kekuasaannya pasti membuat instrumen siasat. Baik dari segi aturan pencalonan hingga pengerahan “pasukan siluman” untuk memenangkan suara.
Begitu juga oposisi dengan segala jaringannya. Mereka melakukan kompromi dengan sesama oposisi agar bisa mengganti penguasa yang sekarang bertengger dalam pemilu 2019 nanti.
Semua ini hal biasa dalam politik. Jika kekuatan mengolah suara hanya satu pihak saja. Bahkan lembaga survei juga menjadi instrumen untuk mempengaruhi pemilih, meski tidak sebesar dengan kontestan yang menyentuh ke bawah, jika tidak ada hal demikian maka kehidupan politik akan sakit. Sepi-sepi saja dan akan mengarah kepada otoriter.
Masuk sedikit dalam dunia siasat, maka halal dan haram sebenarnya akan menjadi abu-abu atau lebih tepat diabu-abukan. Apakah salah? Dari sudut pandang mana menilai. Jika dalam kondisi normal secara hukum maka tidak boleh. Namun jika masuk dalam dunia siasat itu sendiri maka bisa dimaklumi.
Ambil contoh menelanjangi wanita apakah boleh? Tentu tidak boleh. Perbuatan sangat mungkar. Bagaimana jika ada seorang wanita yang akan membocorkan suatu rahasia? Maka itu menjadi ada pemakluman. Dan ini pernah terjadi di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Kalian pasti ingat dengan kisah Khatib bin Abi Balta’ah.
Saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam menyiapkan sepuluh ribu pasukan untuk penaklukan Makkah, sedikit sahabat yang tahu jika pengerahan pasukan sebanyak itu untuk penaklukan Makkah. Mereka semua mengira untuk pergi perang ke Syam.
Hingga Rasulullah diberi kabar jika ada yang membocorkan rahasia. Beliau mengutus Ali bin Abi Thalib, Miqdad bin Aswad dan Zubair bin Awwam untuk mengejar wanita yang membawa surat dari Khatib tersebut hingga sampai ke lembah Raudah Khah.
“Dimanakah surat yang kau bawa?” tanya Ali kepada wanita yang bernama Sarah tersebut.
“Aku tidak membawa surat apapun!” balas wanita tersebut.
Ali menyuruh kedua temannya untuk menggeledah punuk onta. Namun tidak menemukan surat yang dimaksud.
“Aku yakin Rasulullah tidak pernah berdusta. Demi Allah, jika kau tidak menunjukkan surat itu, kami akan menelanjangimu,” ucap Ali dengan nada penekanan.
Melihat kesungguhannya, wanita tersebut mengeluarkan surat yang ada dibalik pakaiannya dan menyerahkan kepada Ali. Rencana penaklukan Makkah tidak bocor.
Perhatikan apa yang dilakukan Ali kepada wanita tersebut. Ancaman untuk menelanjanginya. Itu gambaran dalam siasat.
Semoga diantara kita semakin dewasa dalam berpolitik atau memandang politik. Selanjutnya bisa menikmati arus dan sandiwara teater politik yang sedang dipentaskan para politikus.*
Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net