Suaramuslim.net – Kamis, 29 Agustus 2019 mungkin hari yang terasa biasa saja bagi sebagian orang. Tapi hari ini diperingati Haul ke-14 Nurcholis Madjid Ph.D. Pastinya kaum milenial tak kan kenal dengan sosok ini. Yang mereka kenal itu Atta Halilintar, Black Pink dan makhluk sejenisnya.
Cak Nur, panggilan akrabnya. Pertama kali saya tahu nama ini dari ibu. Semasa duduk di kelas 1 di MAN 3 Malang, ibu berharap saya bisa jadi dosen, doktor dan kalau bisa penulis buku seperti Cak Nur. Tapi abah saya nyeletuk, “liberal itu… Anak perempuannya dibiarkan menikah dengan orang Yahudi.”
Akibat celetukan abah, saya jadi penasaran. Berburu lah saya ke toko buku lengkap di jalan Basuki Rahmat Malang. Kata si penjual, buku karangan Cak Nur terbitan Paramadina. Jarang ada yang menjual. Bergeser ke Gramedia dan Togamas juga sama.
Di toko buku Wilis itu pun hanya menemukan majalah Matra memuat wawancara dengan Cak Nur dan majalah Tempo edisi lama yang memuat tulisan Gus Dur tentang 3 pendekar Chicago.
Dari dua majalah itu baru saya ketahui Cak Nur lulusan pesantren Gontor, kuliah di IAIN Ciputat dan menyabet gelar doktor di Montreal, Kanada. Disertasinya membahas pemikiran Ibnu Taimiyah dalam kalam dan filsafat. Sampai detik ini, disertasi tersebut belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Di bangku kuliah saya berjumpa dengan Anas Kholis dan Faisol Rizal. Yang pertama, lulusan Gontor, berkultur Muhammadiyah tapi menggarap tesis tetang poligami aktivis HTI. Yang kedua, lulusan pesantren di Yogya dan berkultur Nahdlatul Ulama. Keduanya pengagum Cak Nur. Di rak bukunya Anas ada beberapa buku karangan Cak Nur. Kalau Faisol pada 2014 kirim makalah tentang Sekularisasi Cak Nur dalam seminar internasional yang digelar di kampus 2 UIN Maliki Malang.
Posisi Cak Nur dalam kancah pemikiran keagamaan di Indonesia tak seperti Gus Dur. Sekalipun citra “liberal” sama-sama melekat kepada mereka. Dulu, ketika Gus Dur memperkenalkan “pribumisasi Islam” tak ada polemik dan penolakan keras. Lain dengan Cak Nur saat memperkenalkan “Sekularisasi”. Kala memperkenalkan konsep itu, seketika juga reputasi Cak Nur sebagai “Natsir Muda” musnah.
Tak berhenti disitu, jargon “Islam YES, Partai Islam NO!” Kian memperburuk reputasi Cak Nur. Lengkap sudah di mata kaum modernis, status Cak Nur game over. Namun, ada hikmah di balik peristiwa ini. Kelompok Mohammad Natsir berganti strategi, dari awalnya mengharap Cak Nur lalu beralih menyasar anak-anak kampus. Dari sini lah muncul gerakan “usroh” dan “halaqoh” kecil-kecilan yang berkembang dari masjid Salman ITB. Dari sini juga muncul cikal bakal “jamaah tarbiyah.”
Cak Nur benar-benar malang. Sekali lagi malang. Saya enggan memakai kata “miris” bahkan “tragis.” Malang di sini karena posisinya tak seperti Gus Dur. Gus Dur punya darah biru, pintar melucu, dan massa fanatik. Guyonan yang dilontarkan Gus Dur masih relevan dan diperbincangkan di grup-grup WhatsApp.
14 tahun Cak Nur berlalu dari kita. Tapi tidak didengar adanya kelompok massa yang mengaguminya dan melanjutkan pemikirannya.
“Kan ada Dr. Yudi latief, pak Elza Peldi Taher dan Dr. Buddy Munawwar…” Komen salah satu pembaca. Iya betul, tapi tak sebanyak pengikut Gus Dur. Kalau di Gus Dur ada jaringan Gusdurian dan Wahid Institute. Ditambah lagi pemikirannya diabadikan lewat website islami yang dikelola anak-anak muda NU. Misalnya, Iqra.id dan Alif.id.
Sekali lagi, Cak Nur tak seperti Gus Dur. Rekam jejak politiknya tak sementereng Gus Dur. Gus Dur merintis sejak di Forum Demokrasi (Fordem), mendeklarasikan PKB hingga menjabat Presiden RI ke-4. Sementara nasib Cak Nur malang sekali, gagal di konvensi partai Golkar. Di situ Cak Nur terganjal urusan finansial.
Tapi perlu dicatat, ada dua kelebihan Cak Nur dibanding Gus Dur. Pertama, elite Muhammadiyah memeriahkan Haul Cak Nur, sementara Haul Gus Dur di Tebuireng masih belum. Kedua, Cak Nur punya monumen pendidikan yaitu “Paramadina,” sementara Dus Dur tidak punya. Universitas Paramadina makin bersinar sejak di tangan ustaz Shohibul Iman Ph.D dan lalu berlanjut kala Dr. Anies Baswedan menjadi rektor. Wallahu’allam.
Oleh : Fadh Ahmad Arifan
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net