SURABAYA (Suaramuslim.net) – PPDB sistem zonasi yang kontroversial di masyarakat pada substansinya adalah menginginkan pemerataan pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggunakan diksi menghilangkan kastanisasi. Harapannya, tidak ada lagi stigma sekolah favorit dan tidak favorit.
Muhadjir mengatakan, swasta harus diberi kesempatan untuk menerima calon siswa yang tidak kebagian di zonasi, kalau tidak, bisa tutup. Jadi tidak mungkin semuanya ke negeri.
Artinya, ada calon siswa yang dipaksa harus masuk sekolah swasta. Tak peduli latar belakang ekonomi keluarga. Di sisi lain, sekolah swasta umumnya lebih ‘berbiaya’ dibanding sekolah negeri. Lantas, bagaimana jika calon siswa kebetulan kurang mampu secara ekonomi dan kuota siswa di sekolah terdekat dari rumahnya sudah penuh?
Kemunduran Pendidikan
Dewan Pendidikan Jawa Timur, M. Isa Ansori dalam talkshow Ranah Publik (24/6) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM menjelaskan, jauh hari sebelum sistem PPDB zonasi diterapkan, pihaknya pernah menyampaikan usulan kepada Kementerian Pendidikan bahwa ruang lingkup pendidikan Indonesia bukan hanya Jakarta, akan tetapi semua yang ada di perkotaan hingga pedesaan.
Sehingga, lanjut Isa, saat melihat pendidikan di Indonesia maka cara pandang menyelesaikan permasalahan harus menyeluruh. Pasalnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas memadai seperti kota-kota besar.
“Dalam konteks penerapan sistem PPDB zonasi masih ada daerah yang belum siap. Misalnya kita ambil perumusan itu berdasarkan jarak. Di Papua meski jarak sekolah dekat tetapi membutuhkan biaya yang besar. Karena sekolah mereka letaknya di balik pegunungan, sehingga membutuhkan akomodasi pesawat untuk melewati itu, biayanya pun tidak murah,” tuturnya.
Menurut Isa, Permendikbud Penerimaan Peserta Didik ini bersifat sangat teknis. Isa menjelaskan, sangat teknisnya peraturan itu, menyebabkan tidak ada kesempatan bagi daerah untuk melakukan modifikasi. Apalagi terbitnya aturan itu diperkuat surat Permendagri yang menyatakan, siapapun yang melanggar akan mendapat sanksi.
“Tidak dijalankan akan melanggar aturan yang ada, jika tetap jalan maka akan berhadapan dengan masyarakat. Sehingga sekolah terutama pemerintah provinsi dan kabupaten menjadi agak kesulitan untuk menerjemahkan peraturan itu,” ucap pria yang juga anggota Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur ini.
Menurut Isa, semangat Permendikbud ini sebetulnya sangat bagus karena akan melakukan pemerataan akses dan kualitas sehingga tidak ada lagi sekolah yang favorit. Tetapi, jika berdasarkan jarak, harus dilihat apakah ketersediaan sekolah sesuai dengan penduduk yang ada.
Jika aturan itu diterapkan di Jawa timur seakan-akan tidak ada persoalan, karena untuk lulusan seluruh sekolah SMP/MTs sudah dijamin bisa sekolah, dengan jumlah lulusan 290 ribu, sedangkan jumlah kursi ruang kelas 294 ribu.
“Artinya masih ada surplus atau ruang kosong sekitar 4000. Jika bicara keterjaminan sekolah pasti mereka bisa tertampung,” ungkapnya.
Tetapi, Isa menjelaskan, dengan adanya surplus 4000 yang menjadi persoalan adalah tidak semua kelas terbagi rata. Memang di kota jumlah sekolah lebih banyak dibanding muridnya. Namun, di beberapa tempat kadang-kadang jumlah siswanya justru lebih banyak daripada sekolah, sehingga memunculkan ketimpangan distribusi.
“Selain itu, peraturan zonasi untuk SMA justru terjadi reduksi. Mestinya harus dipahami adanya perbedaan antara tingkat SMP dan SMA. Sekarang yang terjadi sama mengunakan pendekatan kecamatan. Padahal jika mengacu pada UU 20 tahun 2014 kewenangan SMA/SMK berada di provinsi. Mestinya pendekatan ini bukan lagi menggunakan kecamatan, sehingga harus kita pahami zona dalam pengertian SMA dan SMK adalah kota/kabupaten bukan kecamatan,” terangnya.
Isa menyebut, dalam satu zona misalkan ada 4 sekolah terdiri dari 4 kecamatan. Jika sekolahnya hanya ada di zona A saja, tentu akan habis diambil anak yang berada di kecamatan terdekat.
“Menurut saya ini yang agak miris, menggunakan pendekatan kecamatan. Seharusnya mereka dalam satu zona yang sama tidak dihitung jarak tetapi menggunakan 0 meter. Peraturan itu baik, tetapi tidak semua niat baik itu bisa di terima dengan baik karena syarat-syarat menjadi baik belum terpenuhi,” tandasnya.
Hak Layanan Pendidikan Bermutu
Sementara itu, penggugat Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 Muhammad Soleh dalam sambungan telepon talkshow Ranah Publik (24/6) menilai, PPDB terkait sistem zonasi tidak fair karena memilih siswa berdasarkan jarak bukan nilai ujian. Ini salah satu sebab pihaknya mengajukan gugatan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA).
“Kami meminta supaya MA menguji materi Pasal 16 ayat 1 sampai 7, Pasal 26 ayat 1 dan 2, Pasal 27 ayat 1 dan 2, Pasal 29 ayat 1 dan 2,Pasal 30 ayat 1 dan 2. Dalam pasal-pasal tersebut menekankan aturan seleksi siswa baru berdasarkan jarak rumah dengan sekolah dan memperhitungkan nilai ujian nasional sebagai alternatif terakhir,” jelas Soleh.
Soleh menjelaskan, kebijakan zonasi yang diterapkan Mendikbud untuk tahun ini harus dibatalkan. Karena sangat merugikan siswa yang berprestasi tidak bisa mendaftar ke sekolah negeri akibat jarak zonasi
Selain itu, kebijakan zonasi sangat belum matang dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat meski dengan alasan pemerataan pendidikan untuk semua kalangan.
“Secara sosiologis Permendikbud ini bukan kebutuhan masyarakat. Aturan ini dikeluarkan 31 Desember 2018, akhir tahun yang diberlakukan pada 2019. Jadi saat sebagian warga masih sibuk liburan tahun baru Menteri Pendidikan mengeluarkan aturan itu,” jelasnya.
“Kemudian masalah sosialisasi, jika dibilang sudah ada sosialisasi, maka pertanyaan saya kapan sosialisasi atau datang ke daerah dilakukan?” Ucapnya.
Karena kebijakan itu belum disosialisasikan, menurut Soleh, banyak yang tidak tahu baik orang tua dan siswa. Selain itu, terdapat kesalahan paradigm dalam Permendikbud ini. Jika tujuannya untuk pemerataan dan fasilitas pendidikan tentu bukan zonasi yang utama.
“Yang harus dilakukan adalah memindahkan guru-guru yang berkualitas kepada sekolah-sekolah yang belum maju. Karena ada 3 unsur dalam sebuah pendidikan yaitu, siswa, guru dan infrastruktur. Mestinya guru-guru di sekolah kawasan digeser untuk mengajar di sekolah di bawah rata-rata,” jelasnya.
Soleh pun berharap, agar uji materiil yang diajukannya itu bisa diputuskan dalam waktu dekat.
“Sehingga tidak terjadi kerugian yang lebih besar bagi wali murid dan siswa di Indonesia. Saya khawatir jika PPDB sudah berlangsung tetapi keputusan baru muncul bulan depan, maka keputusan itu tidak berlaku,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir