Suaramuslim.net – Belakangan ini jagat media diramaikan dengan berita tentang kenaikan iuran BPJS. Ada yang pro namun banyak juga yang kontra. Bagaimana tidak, di tengah himpitan ekonomi yang semakin sulit pemerintah justru mengambil kebijakan untuk menaikan premi BPJS yang akan berlaku per Januari 2020. Tidak tanggung-tanggung, tarif yang dinaikkan mencapai 100%, dari yang asalnya 80 ribu menjadi 160 ribu rupiah. Namun, di saat yang sama pula terjadi wacana untuk menaikkan gaji para petinggi BPJS yang mencapai 200 juta.
Lalu, apakah kenaikan premi iuran BPJS ini untuk menaikkan gaji para dirutnya? Semoga saja tidak, bila iya sungguh ini sangat keterlaluan. Kondisi rakyat menanggung beban kian berat setelah adanya kenaikan BBM dan tarif dasar listrik (yang akan terus mengalami kenaikan) sekarang malah ditambah dengan kenaikan premi BPJS. Belum lagi dengan kebutuhan hidup yang lain seperti untuk makan minum, bayar sekolah, bayar cicilan dan lainnya. Di mana kah rasa empati dan kemanusiaan itu?
Bagi pihak yang mendukung kebijakan tersebut mereka beranggapan bahwa kebijakan diambil untuk meningkatkan pelayanan peserta BPJS. Selain itu, juga untuk menyelamatkan defisit keuangan BPJS yang tahun ini bisa mencapai 32 triliun sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Benarkah demikian?
Fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa kenaikan iuran BPJS sebelumnya tidak diimbangi dengan meningkatnya fasilitas pelayanan yang diterima oleh pasien peserta BPJS. Bahkan, sekarang muncul wacana bahwa BPJS mengurangi pelayanan untuk operasi katarak dan melahirkan. Lalu peningkatan fasilitas pelayanan seperti apa yang dimaksudkan?
Defisit keuangan BPJS bukan hanya terjadi sekali ini. Sebelumnya juga pernah terjadi dan salah satu solusinya adalah dengan menaikkan premi iuran BPJS. Apakah solusi tersebut tepat? Faktanya defisit keuangan BPJS dari tahun ke tahun semakin meningkat, meskipun iuran BPJS sudah dinaikkan. Lalu solusi seperti apa yang tepat?
Kita tahu bahwa Indonesia saat ini mengadopsi dan menerapkan kebijakan sistem ekonomi kapitalis neo liberal. Pemerintah membuka pintu selebar-lebarnya untuk individu maupun swasta menguasai sumber daya-sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara.
Dalam sistem ini juga negara diminimalisir perannya dalam mengatur layanan publik, dan rakyat diminta secara swadaya untuk mengurusi kebutuhan-kebutuhan asasinya. Termasuk dalam hal ini adalah layanan kesehatan.
Dalam sistem ini yang paling diuntungkan adalah para kapitalis pemilik modal. Sementara, rakyat kecil diperas keringatnya dengan berbagai palak yang dilegalkan melalui undang-undang.
Tentu hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam dalam sebuah konstitusi yang dipimpin oleh seorang khalifah. Haram hukumnya apabila khalifah abai terhadap urusan rakyatnya. Khalifah wajib mengurusi semua kebutuhan rakyatnya, memastikan per individu kesejahteraan rakyatnya baik berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan dan kesehatan menjadi tanggung jawab negara.
Dalam hal kesehatan negara wajib menyediakan pelayanan yang terbaik untuk rakyatnya baik itu tenaga medis, rumah sakit, obat-obatan maupun fasilitas lainnya. Semua itu menjadi hak setiap rakyatnya tanpa memandang bulu, baik itu kaya miskin, Muslim maupun non muslim. Dan semua itu didapat dengan cuma-cuma atau dengan harga yang sangat murah. Lalu dari mana anggarannya?
Dalam Islam ada yang namanya lembaga keuangan yaitu Baitul mal. Lembaga ini selain punya pos-pos pengeluaran juga punya pos-pos pendapatan. Salah satunya adalah dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negara. Sumber daya tersebut adalah milik umat (tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh individu atau swasta untuk memperkaya diri sendiri seperti pada sistem kapitalis liberal yang hanya menguntungkan para pemilik modal). Negara hanya diperbolehkan untuk mengelolanya, hasilnya harus dikembalikan kepada umat.
Dari sini lah kemudian negara bisa menyediakan fasilitas pendidikan, layanan kesehatan bahkan infrastruktur dengan kualitas terbaik tanpa membebani rakyat.*
Oleh: Khusnul Aini S.E
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net