SURABAYA (Suaramuslim.net) – Tim Asistensi Hukum atau populer disebut tim pengkaji ucapan tokoh-tokoh yang dibentuk oleh Menko Polhukam Wiranto mendapat kritikan dari berbagai pihak. Antara lain, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyatakan, dengan adanya tim asistensi seolah-olah tim ini menjadi lembaga yang akan mengevaluasi omongan kita semua termasuk para jurnalis.
Penolakan juga datang dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menilai pembentukan tim asistensi hukum mengandung unsur politis. Pembentukan tim akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum. Pasalnya, Komnas HAM menegaskan penegakan hukum sudah jadi domain Polri dan Kejaksaan.
Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyatakan pemerintah membentuk tim hukum yang khusus mengkaji berbagai aksi meresahkan pasca pemilu. Hal itu dikarenakan pasca pemilu banyak bermunculan tindakan yang telah melanggar hukum. Tim itu terdiri dari para pakar hukum, praktisi hukum, dan para akademisi yang kompeten.
Tim Asistensi Hukum Menyatukan Pandangan Hukum
Wakil Rektor I Universitas Dr. Soetomo Surabaya Dr. Siti Marwiyah, SH, MH dalam talkshow Ranah Publik (15/5/19) di Suara Muslim Surabaya 93.8 FM mengatakan, keluarnya SK Tim Asistensi Hukum memang dalam situasi yang sensitif. Pasalnya, dikeluarkan pasca pemilu dan masa menunggu pengumuman presiden terpilih 2019-2024.
Isu yang berkembang, lanjut Siti Marwiyah, Tim Asistensi bentukan Menko Polhukam disinyalir akan melakukan bukan sebatas kajian namun sebagai tim eksekusi dari pelanggaran HAM.
“Tetapi setelah saya lihat SK-nya dan juga berkomunikasi dengan salah satu anggota Tim Asistensi Hukum, ternyata tidak seperti yang dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat bahkan pengamat. Pak Wiranto sebagai Menko melalui tim itu hanya ingin mengkaji layak apa tidak seseorang ditetapkan melanggar hukum,” jelasnya.
Marwiyah menyebut, Tim Asistensi Hukum yang dibentuk oleh Menko Polhukam Wiranto hanya sebatas memberikan masukan kepada Menko Polhukam. Tim itu tidak dapat mengambil suatu keputusan sebagaimana lembaga pemerintahan. Sama seperti di persidangan ada saksi ahli. Kurang lebih sama, sebagai penasihat ahli yang menilai. Jadi tim ini seperti halnya tim hukum yang berada di Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim.
“Menko Polhukam juga tidak dapat mengambil tindakan atas kasus yang dikaji tim tersebut. Pihak yang dapat melakukan tindakan adalah kepolisian dan kejaksaan. Sebab esensi utama tim tersebut hanya sebagai pemantau gejolak di masyarakat, jika nantinya jaksa mempunyai pandangan hukum lain juga disilakan,” papar dosen hukum tata negara ini.
Mengenai pandangan masyarakat tentang tim ini, baik yang pro dan kontra, menurut Marwiyah sangat wajar, pasalnya bagaimana pun saat ini situasi tensi politik masih tinggi. Kinerja tim hukum nasional tidak semata berbasis pada ketentuan hukum perundang-undangan. Tetapi mempertimbangkan sisi kebijaksanaan menyikapi sebuah pernyataan tokoh publik.
“Misalnya kasus Ahmad Dhani jika kita lihat menurut yang diucapkan oleh orang Surabaya, wajar saja, tetapi akhirnya masuk ranah hukum. Dengan adanya tim ini akan dikaji apakah sudah benar masalah itu masuk dalam pelanggaran. Melalui tim ini akan dikaji, supaya semua penegak hukum punya persepsi yang sama,” tuturnya.
Jika ada yang mengaitkan pembentukan tim ini dengan politik itu tidak salah, imbuhnya, karena SK yang dikeluarkan Kemenko Polhukam hanya berlaku sekitar 6 bulan sampai pengumuman presiden terpilih. Di samping itu, kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan, banyak ujaran kebencian, hoaks sangat bertebaran. Maka melalui tim ini akan memberikan persepsi yang sama dengan para penegak hukum. Oleh karenanya banyak tim ahli di dalamnya.
Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam tertanggal 8 Mei. SK tersebut menyatakan bahwa Tim Asistensi Hukum Kemenko Pohukam bertugas sejak 8 Mei hingga 31 Oktober 2019.
Upaya Rezim Meredam Suara Kritis Terkait Kecurangan Pemilu
Sementara itu, Peneliti Politik dari The Initiative Institute, Bustomi mengatakan dalam talkshow Ranah Publik (16/5/19) Suara Muslim Surabaya 93.8 FM, akan muncul multi tafsir dalam pandangan politik terkait pembentukan tim itu. Memang jika diperhatikan pembentukan itu untuk meredam suara kritis pasca pemilu, ada pembangunan opini terhadap kecurangan yang dilakukan oleh petahana.
“Kita tidak bisa melepaskan bahwa pembentukan tim asistensi akan bisa diharapkan merepresentasikan masyarakat, karena komposisinya yang beragam. Tetapi menurut saya jika pembentukan tim ini akan menjadikan publik gaduh, seharusnya ya bisa ditahan dulu,” ujarnya.
Menurut Bustomi, sosiologis masyarakat saat ini sedang guncang bahkan saat bulan Ramadhan pun tidak semakin adem. Justru ujaran kebencian masih mewarnai di berbagai media sosial. Karena dalam bernegara jika tidak ada trust terhadap satu lembaga pemerintah yang bisa digunakan untuk menempuh jalur hukum, mereka menggunakan jalur lain.
“Ketika tingkat pendukung masyarakat di bawah dengan literasi yang kurang bagus maka muncul opini yang sangat liar, ini perlu tindakan. Permasalahan hoaks ini sudah menjalar di berbagai elemen masyarakat, bahkan yang turut menyebar di antaranya ada guru besar, ada yang lulusan doktor luar negeri,” jelasnya.
Bustomi mengatakan, pembentukan tim asistensi hukum untuk saat ini kurang tepat, apalagi sejak bekerja beberapa hari lalu sudah menetapkan nama-nama tokoh dari oposisi yang dinilai akan melakukan makar. Yang menjadi persoalan penetapan itu kemudian diumumkan secara terbuka, seharusnya itu tidak perlu karena akan menciptakan instabilitas.
“Eggi Sudjana sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka makar. Kivlan Zein juga sempat dicegah ke luar negeri atas kasus yang sama meski akhirnya pencekalan tersebut sudah dicabut. Adapun Bachtiar Nasir sudah lebih dulu dijerat polisi, tetapi dalam kasus yang berbeda. Ia dijerat karena dugaan pencucian uang. Menurut saya pak Wiranto sudah beberapa kali menciptakan instabilitas negara dengan mengumumkan tim ini di saat tensi politik masih tinggi,” tandasnya.
Bustomi melihat, dalam demokrasi harus ada kekuatan oposisi yang bagus sebagai penyeimbang dan kritik terhadap apa yang dilakukan pemerintah, karena pemerintah belum tentu benar tetapi juga belum tentu salah. Sehingga bagi oposisi, juga harus mengedepankan proporsionalitas.
“Jika saya perhatikan, penggunaan kata-kata yang disampaikan saat ini sudah terlampau kasar, sehingga wajar jika pemerintah ada rasa geram. Memang berbeda dengan Orde Baru, saat ini sudah bebas yang luar biasa, sehingga menyebabkan kebebasan yang tidak terkontrol,” jelasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir