Puasa sebagai satu teknologi pertahanan

Puasa sebagai satu teknologi pertahanan

Politik Teknologi
Ilustrasi industrialisasi.

Suaramuslim.net – Shaum yang sering diterjemahkan sebagai puasa adalah sebuah proses self- denial dengan menahan diri dari dorongan syahwat perut dan kelamin sejak matahari terbit hingga terbenam.

Shaum adalah resep yang dianjurkan oleh ajaran para nabi terdahulu (Qur’an 2: 183). Jika dilakukan dengan berdisiplin, shaum tidak saja menyehatkan tubuh namun juga pikiran, mental dan spiritual. Memang tubuh manusia dapat mencapai kinerja optimal jika sering atau secara teratur melakukan puasa.

Yosinori Ohsumi memperoleh hadiah Nobel atas penemuan fenomena autopaghie pada puasawan yaitu proses pembersihan sel tubuh yang mati lalu mengeluarkannya dari tubuh oleh protein autopaghisom. Wa an tashumuu khoirullakum in kuntum ta’lamuun, our body is designed to starve.

Ramadhan juga bulan belajar (syahru madrasah) secara multi-ranah dan multi-cerdas yang diorganisasikan secara mandiri, menciptakan sebuah self-organized learning environment (SOLE) tanpa membebani APBN atau APBD. Dikombinasikan dengan mengkaji Al Qur’an, meningkatkan frekuensi shalat dan infaq, Ramadhan benar-benar menjadi bulan qur’anisasi diri, sebuah kawah condrodimuko bagi penempaan kompetensi takwa, sebuah spektrum kemampuan atau kecerdasan tubuh, mental, dan spiritual.

Dengan menjalankan puasa sebulan penuh, setiap manusia yang beriman akan mencapai tingkat kompetensi muttaqun: setia menegakkan shalat sebagai pembinaan diri, dan ringan berinfaq yaitu senang berbagi rezeki. (Qur’an 2:3).

Shaum dalam Islam

Shaum adalah bagian tak terpisahkan dari ad diinul Islam sebagai model tata kelola kehidupan bersama yang majemuk atau plural seperti dalam Madinah sebuah kota metropolitan.

Perintah shaum jatuh pada tahun ke-2 Hijrah. Dalam proses transformasi masyarakat Madinah yang plural itu, diperlukan sebuah investasi modal sosial yang memadai agar masyarakat baru itu memiliki ketangguhan (shabr) menghadapi berbagai gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Namun gangguan dari dalam selalu lebih berbahaya.

Muhammad Rasulullah SAW usai perang Badr bahkan mengatakan bahwa setelah Badr akan datang perang yang lebih besar, yaitu perang melawan nafsu diri sendiri.

Tesis hadits bahwa puasa adalah perisai (ash shiyaamu junnatun), satu teknologi pertahanan, mendapatkan validitasnya di sini.

Teknologi adalah sebuah sistem kemampuan proses nilai tambah. Pertahanan dan ketahanan sebagai nilai tambah publik dihasilkan oleh puasa.

Pada saat hawa nafsu syahwat perut dan kelamin tidak terkendali dalam sebuah masyarakat, maka kehidupan hedonistik, konsumtif, boros tinggi-energi akan marak menggerogoti modal sosial masyarakat tersebut, menurunkan tingkat kesehatan tubuh, mental dan spiritual, sehingga masyarakat tersebut rentan mengalami disintegrasi dan disfungsi di banyak sektor kehidupan. Korupsi marak, utang ribawi menggunung, kesenjangan sosial melebar, persatuan melemah, dan berbagai penyakit sosial berkembang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Maka dengan puasa itulah ketangguhan sosial dan ekonomi ditempa menjadi kekuatan pertahanan menghadapi berbagai krisis dan konflik. Kecanggihan persenjataan dan alutsista tidak cukup jika tidak dioperasikan oleh manusia puasawan.

Pembangunan memang tidak boleh semata-mata dirumuskan hanya sebagai upaya peningkatan kemakmuran melalui peningkatan konsumi makanan, energi dan sumber daya alam lainnya yang terbatas.

Pembangunan perlu dirumuskan kembali sebagai upaya mewujudkan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka yaitu dengan memperluas kemerdekaan (Sen, 1997) yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.

Merdeka tidak saja berarti mandiri untuk bertanggung jawab, tapi juga pembebasan dari penghambaan pada alam dan ego diri dan kelompok.

Pendidikan dalam pembangunan seperti itu adalah sebuah platform untuk belajar merdeka, bukan sekadar untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup terampil menjalankan mesin, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal.

Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu mencapai tujuan kehidupan bangsanya dengan tingkat konsumsi, termasuk energi yang minimal.

Negara-negara yang dengan congkak menyebut dirinya sebagai negara maju kenyataannya mengalami energy obesity dengan gaya hidup yang tinggi energi (sekitar 7-10 kiloliter setara minyak pertahun perkapita). Di sini berlaku hukum U-terbalik, atau law of diminishing return. Sesuatu yang baik hanya akan menyehatkan jika tidak melampaui batas. Melebihi ambang batas, sesuatu yang baik itu mulai merusak. Seperti gula darah.

Di sinilah para puasawan memiliki kepekaan Hattanomics untuk mengatakan enough is enough lalu sanggup hidup sederhana, sak madyo, sak sedhenge wae. Bukan hidup sak enake udhele dhewe. Di tingkat energi-rendah itu kesempatan hidup berbahagia terbuka lebih besar.

Daniel Mohammad Rosyid
Dept. Teknik Kelautan ITS Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment