Suaramuslim.net – Beredar video dari seorang jurnalis Hersubeno yang membuka polemik terkait adanya kemungkinan Keputusan KPU tentang Pemenang Pilpres 2019 memutuskan bahwa Pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin batal karena Putusan MA atas gugatan Judicial Review Rahmawati dkk terhadap PKU No. 5 Tahun 2019 dikabulkan. Ini berarti PKPU No. 5 Tahun 2019 itu bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Di samping itu Hersubeno juga mempertanyakan soal lamanya MA upload putusannya di Direktori MA, kurang lebih 9 bulan sejak putusan itu diterbitkan.
Terkait dengan unggahan suatu putusan pengadilan, hal itu tidak perlu diributkan karena yang terpenting adalah putusan pengadilan telah diberikan kepada para pihak yang bersengketa secara patut dan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga sudah dapat eksekusi.
Jadi, persoalan upload putusan ke jaringan internet tidak memengaruhi keabsahan sebuah putusan pengadilan, termasuk putusan MA terkait dengan Judicial Review terhadap PKPU No. 5 Tahun 2019 mengenai penetapan capres terpilih jika hanya diikuti oleh 2 pasang capres.
Rahmawati dkk menggugat konsistensi PKPU No. 5 Tahun 2019 ke MA tertanggal 14 Mei 2019. MA memutus perkara tersebut pada tanggal 28 Oktober 2019. Sebagaimana kita ketahui pada tanggal 21 Mei 2019 KPU telah menetapkan capres terpilih berdasarkan hasil sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu putusan MA tertangggal 28 Oktober 2019 itu memenangkan gugatan Rahmawati dkk.
Apakah betul bahwa Keputusan KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi batal lantaran putusan MA mengabulkan gugatan Rahmawati dan ada keterlambatan upload di direktori MA, yakni tanggal 3 Juli 2020?
Untuk kepentingan ini, kiranya saya perlu menulis kembali pendapat hukum saya mengenai keabsahan hasil pilpres 2019.
Polemik keabsahan hasil pemilu 2019 dan pelantikan presiden dan wapres terpilih ditinjau dari hukum progresif
Saudaraku, sebangsa setanah air Indonesia. Hingga menjelang fase akhir pilres 2019 masih disaksikan polemik tentang keabsahan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden RI 2019-2024.
Mungkinkah Jokowi Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wapres yang bertanding dalam pemilu yang hanya diikuti oleh dua pasang calon tetapi tidak memenuhi ketentuan Pasal 6 A ayat 3 UUD NRI 1945?
Berikut saya mencoba uraikan analisis saya dalam perspektif hukum progresif.
Dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 disebutkan pemenang pasangan capres terpilih memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1⁄2 jumlah provinsi di Indonesia. Artinya, selain syarat 50 persen jumlah suara, ada syarat 20 persen suara dan melebihi 50 persen jumlah provinsi di Indonesia.
Pada Ayat 4 Pasal 6A UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Polemik terkait dengan tafsir Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 terus bergulir hingga kini. Alangkah baiknya sebagai bangsa yang besar dan ber-Pancasila, kita membaca Konstitusi tidak hanya secara tekstual.
Merujuk apa yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin, maka “cara mengeja” konstitusi itu seharusnya dilakukan secara moral (moral reading on constitution). Pengejaan pasal dan ayat konstitusi harus dikaitkan dasar hukum yang melatarbelakangi perumusannya sehingga diperoleh “gambar tampilan” hukum yang utuh, tidak hanya berupa fragmen pasal yang pada hakikatnya hanya skeleton atau “bangkainya hukum.”
Indonesia bukan Amerika atau pun Eropa, tapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak.
Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan, kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi, agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropa yang seringkali menggeluti hukum sebatas rules and logic?
Jika kita terlalu asyik menggeluti tulang belulang hukum itu, maka yang akan tampil adalah karakter kaku, keras dan dingin yang melambangkan karakter kematian, padahal hukum itu adalah untuk manusia yang hidup yang memiliki harkat dan martabat luhur.
Hukum bukan untuk hukum dalam arti hukum hanya untuk keluhuran hukum, melainkan untuk meninggikan harkat dan martabat manusia tersebut. Ini yang kita sebut hukum progresif.
Dalam pandangan hukum progresif, adagium yang berbunyi: “Fiat justitia ruat coelum” seperti yang dianut oleh Gubernur Romawi Lucius Calpurnius Piso Caesoninus, pada tahun 43 SM adalah tidak akan mampu mewujudkan keadilan (substantif), melainkan hanya mengejar aspek (keadilan) prosedural. Jadi, untuk menerapkan peraturan hukum mesti diperhatikan pula konteks sosial di mana peraturan itu hendak diberlakukan.
Oleh karena itu, ketika kita hendak menerapkan Pasal 6A ayat 3 dan 4 pun harus kita tengok ‘social effect’, ‘social fact’ yang melingkupi pilpres terkait, khususnya bila pilpres hanya diikuti oleh dua pasang kontestan.
Pengalaman sejarah yang terulang dan implikasi putusan MK yang bersifat erga omnes
Untuk pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2014, pemilihan presiden dan wakilnya diatur lewat UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Aturan kemudian dipertegas lagi pada Pasal 159, utamanya ayat (1) dan (2).
Ayat (1) menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh lebih dari 50 persen suara dalam pemilihan umum, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, di ayat (2) disebutkan ketika tidak ada pasangan calon yang bisa memenuhi kualifikasi di ayat (1), maka kedua pasangan calon akan dilibatkan dalam pemilihan kembali,dengan suara terbanyak yang jadi pemenangnya. Baik ayat (1) maupun (2) merupakan duplikasi dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.
Dalam perkembangan politik dan hukum, aturan ini justru menimbulkan polemik sebab dianggap tidak sesuai dengan kondisi riil, sehingga oleh beberapa pihak pada 2014 mengupayakan judicial review terhadap Pasal 159 UU No. 42 Tahun 2008 tersebut.
Ada satu penelitian yang dilakukan oleh Fitrah Bukhari yang perlu diperhatikan terkait masalah ini. Di dalam tesisnya di program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (2015) berpendapat bahwa:
“Uji materi dilakukan karena pada pilpres 2014 hanya ada dua paslon (Jokowi-Jusuf Kalla & Prabowo-Hatta Rajasa) yang berpartisipasi. Apabila ketentuan Pasal 159 tetap diberlakukan, potensi pemborosan keuangan negara, ketidakstabilan politik, serta gesekan di akar rumput berpotensi besar muncul di permukaan.”
Melaui judicial review tahun 2014, para pemohon menilai, ketentuan Pasal 159 UU Pemilu Pilpres tersebut berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya adalah bahwa, dalam doktrin pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, di samping wajib menjamin keadilan, juga harus memastikan terwujudnya kepastian hukum.
Untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman dan menjamin keadilan maupun kepastian hukum, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir Pasal 159 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal ini dinilai tidak secara eksplisit menjelaskan berapa jumlah pasangan calon dan hal tersebut baru diketahui jika dikaitkan dengan ketentuan ayat (2) di pasal yang sama. Padahal, dengan melihat situasi pada pilpres 2014, hanya terdapat dua pasangan calon yang bertarung. Pemohon beranggapan konstruksi hukum yang dibangun dalam Pasal 159 adalah untuk pemilihan yang kontestannya lebih dari dua pasangan.
MK, pada akhirnya, mengabulkan uji materi para pemohon yang kemudian dituangkan lewat Putusan MK No.50/PUU-XII/2014. Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bersifat inkonstitusional bersyarat,sepanjang pilpres hanya diikuti dua paslon Presiden dan Wakil Presiden.
Penetapan putusan ini punya arti: apabila Pilpres hanya diikuti dua paslon, maka yang akan resmi dilantik oleh KPU adalah yang memperoleh suara terbanyak. Dengan begitu, pilpres dipastikan berlangsung hanya satu putaran dan mengambil mekanisme suara terbanyak,sehingga syarat persentase persebaran suara juga jadi tidak berlaku.
Putusan MK lantas dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.”
Bila kita percaya kepada penyelenggara pemilu, yakni KPU dengan segala kekurangan dan kelebihannya, maka aturan main penetapan pemenang Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres mesti merujuk Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 yang keberlakuannya setara dengan undang-undang (UU). Kita berharap aturan penetapan pemenang Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan capres cawapres tidak perlu lagi diperdebatkan.
Terkait dengan putusan MK, ada satu asas yang harus kita pahami bersama yaitu asas erga omnes. Berdasar asas itu, maka Putusan MK itu mengikat selamanya. Ketika bicara tafsir Pasal 6A UUD 1945, maka pasti penafsirannya sesuai putusan MK dan ditegaskan kembali dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019.
Jadi menurut saya, pelantikan Jokowi-Ma’ruf sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk periode 2019-2024 adalah dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, khususnya dalam perspektif hukum progresif.
Menjadi tua, itu pasti. Namun menjadi dewasa (dalam politik) adalah pilihan. Tidak ada satu hukum buatan manusia yang sempurna. Pasti ditemukan cacat dan bolong-bolongnya. Kedewasaan itulah yang akan menambal cacat dan celah hukum itu.
Penutup
Berdasar analisis singkat yang telah saya paparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Putusan MA tertanggal 28 Oktober 2019 dan keterlambatan upload putusan MA di direktori MA tidak dapat menjadi alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk membatalkan hasil pilpres sebagaimana telah diumumkan oleh KPU yang didasarkan pada Putusan MK 2019 tentang Sengketa Hasil Pilpres 2019.
Ke depan, untuk menghindari polemik berkepanjangan terkait penetapan calon presiden dan wapres terpilih, seharusnya UU Pemilu harus fiks, tentu saja mengadopsi juga Putusan MK terkait, khususnya jika peserta pilpres hanya 2 pasang calon presiden dan wakil presiden.
Kita juga perlu evaluasi atas ketidakcermatan DPR dan Pemerintah ketika menyusun UU Pemilu 2017, mengapa tidak mengadopsi Putusan MK 2014 tentang pilpres yang hanya diikuti oleh 2 paslon.
Berikutnya, seharusnya MA juga memiliki kepekaan hukum terkait dengan putusan MK tersebut sehingga tidak serta merta mengabulkan gugatan para pemohon terkait dengan inkonsistensi PKPU terhadap UU Pemilu 2017 dalam perkara a quo.
Tabik!