“Hidup itu harus radikal,” begitu pernyataan yang sering diulang oleh Dr. Suparto Wijoyo, S.H, M.H dalam Oase Bangsa yang diselengarakan oleh Suara Muslim di Hotel Mercure Grand Mirama, Rabu, (10/05).
Menurutnya, radikal adalah sebuah identitas yang wajib untuk diakui dan diperkenalkan kepada khalayak. Radikal itulah yang menjadi pembeda antara pribadi satu dengan yang lain. Radikal pula yang membuat sebuah bangsa bisa meneriakkan kemerdekaan.
Perlu ditelisik kembali jika saat ini banyak ditemui orang-orang yang berpendapat bahwa radikal itu anti toleransi. Sebab dalam bernegara pun telah dijelaskan dengan rinci acuan untuk menjadi warga negara yang cinta NKRI.
“Jadi jangan takut karena dianggap sebagai orang radikal,” tambah pakar hukum Universitas Airlangga tersebut.
Lebih lanjut, ia menjabarkan bahwa makna radikal memiliki keeratan dalam menjalankan status sebagai warga negara menurut UUD 1945. Orang yang tidak paham makna sebenarnya dari ‘radikal’ adalah mereka yang perlu membedah kembali pasal-pasal dalam UUD ‘45.
Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD ’45). Kemudian diperjelas dengan bunyi pasal 29 ayat 1 bahwa “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha Esa.”
“Sangat jelas di UUD ’45 bahwa hukum di Indonesia berlandaskan pada Ketuhanan yakni Allah. Dan disetiap kali kita melakukan sumpah jabatan selalu menyebut nama Allah. Karena memang Indonesia diperjuangkan untuk mendapatkan Rahmat-Nya,” ujarnya.
Penjelasan lanjutnya, setiap sumpah jabatan, para pejabat tidak ditangguhkan untuk bersumpah atas nama NKRI, bersumpah atas negara, UUD ’45 maupun Pancasila. Pejabat tersebut selalu akan disumpah dengan menyesuaikan agama masing-masing, bersumpah atas dasar ketuhanan.
Dengan demikian, radikal dalam bernegara merupakan bentuk dari ketajaman tauhid. Tauhid itulah yang memandu saat pelantikan jabatan dari tingkat kelurahan hingga petinggi negara. Yakni dengan bersumpah atas nama Allah kemudian dilanjut dengan mengharap ‘Rahmat-Nya’.
Mengulik kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentu ketidakninscayaan bangsa ini akan merdeka. Pasalnya para musuh-musuh memilliki peralatan canggih yang bisa saja membasmi penduduk pribumi dengan sakali bom. Namun, sadarkah jika tanpa Rahmat Allah, negeri ini akan bebas dari penjajah?
Pada tanggal 18 Agustus 1945, pikiran itu bergejolak menghampiri sang proklamator. “Semacam ada kekuatan suprarasional yang membantu lancarnya kemerdekaan RI, 17 Agustus,” begitu kiranya gumam pada petinggi negara kala itu.
“Itulah kekuatan jika dalam jiwa kita bertaut pada keimanan, pada ketauhidan. Karena itupula yang menjadi amunisi untuk menjadi orang radikal yang sangat mencintai negerinya,” ungkapnya.
Menjadi orang radikal tatkala harga diri bangsanya direndahkan. Menjadi radikal mana kala ditemui perkara-perkara yang menyentuh sisi keagamaan. Sehingga, radikal dalam arti yang sesungguhnya adalah mengupayakan apa-apa yang seharusnya diperjuangkan sebagai sebuah identitas. (Ce2)