Suaramuslim.net – Di sebuah masjid kota kecamatan pada akhir bulan Ramadhan, seorang khatib Jumat dengan semangat menyampaikan khutbah. Dalam khutbahnya, ia menggalakkan para jemaah untuk membayar zakat fitrah. Untuk menguatkan ajakan itu, ia pun mengeluarkan jurus-jurus jitu. Salah satunya adalah menyebut hadis yang menegaskan bahwa amal ibadah pada bulan Ramadhan tidak akan diterima Allah sehingga yang bersangkutan membayar zakat fitrah.
Tentu saja para jemaah yang tidak pernah mempersoalkan hadis yang disampaikan khatib itu merasa rugi apabila ibadah mereka pada bulan Ramadhan tidak akan diterima Allah. Karenanya hadis tadi mereka anggap cambukan untuk membayar zakat.
Menggalakkan Zakat Fitrah
Sebenarnya tentang menggalakkan jemaah untuk membayar zakat fitrah adalah sah-sah saja. Bahkan hal itu merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan. Yang menjadi masalah adalah menggunakan hadis yang belum jelas juntrungannya. Sementara itu khatib tadi tidak pernah meralat atau merevisi apa yang ia ucapkan pada khotbah itu. Karenanya tampaknya kita perlu mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya tentang masalah tersebut di atas.
Hadis yang disebut dalam khotbah di atas itu teks lengkapnya adalah sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلَا يُرْفَعُ إِلَى اللهِ إِلَّا بِزَكَاةِ اْلفِطْرِ
“Ibadah bulan Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi, dan tidak akan diangkat kepada Allah kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah.”
Imam as-Suyuthi dalam kitabnya al-Jami as-Shaghir menuturkan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya al-Targhib dan Imam al-Dhiya, keduanya berasal dari Jabir. Imam as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadis ini dhaif tanpa menyebutkan alasannya.
Sementara Imam al-Minawi dalam kitab Faidh al-Qadir yang merupakan kitab syarah atas kitab al-Jami’ as-Shaghir menyatakan bahwa seperti dituturkan Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Wahiyat, di dalam sanad (rantai periwayatan) hadis itu terdapat rawi (periwayat) yang bernama Muhammad bin Ubaid al-Bashri, seorang yang tidak dikenal identitasnya.
Dalam kitab Lisan al-Mizan karya Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, sebagaimana dikutip oleh Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, Ibnu al-Jauzi mengatakan lebih lanjut bahwa hadis itu tidak memiliki mutabi, yaitu hadis yang sama dengan sanad yang lain. Pernyataan Ibnu al-Jauzi ini dikukuhkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Keliru Menukil
Ada suatu hal yang menarik untuk diteliti, yaitu keterangan Imam al-Mundziri dalam kitabnya al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif. Beliau menuturkan bahwa hadis ini diriwayatkan dari Jarir oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya Fadha`il al-Qur’an, dan Imam Ibnu Syahin mengatakan bahwa hadis ini gharib, sementara sanadnya bagus.
Keterangan Imam al-Mundziri ini telah membuat penasaran Syeikh al-Albani sehingga beliau berupaya untuk melacak hadis itu dalam kitab Fadha`il al-Qur’an tadi itu di perpustakaan az-Zhahiriyah Damaskus. Beliau mencari kitab Ibnu Syahin itu dan menemukannya masih dalam bentuk manuskrip.
Apa hasil pelacakan itu? Ternyata Syeikh al-Albani tidak menemukan hadis itu dalam Fadha`il al-Qur’an. Bahkan Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya itu, tidak memberikan komentar apapun untuk setiap hadis yang ditulisnya, baik tentang kesahihan hadis maupun kelemahannya.
Al-Albani akhirnya berkesimpulan bahwa hadis itu boleh jadi ditulis oleh Imam Ibnu Syahin dalam kitabnya yang lain, bukan dalam kitab Fadha`il al-Qur’an.
Apa artinya? Bisa jadi Imam al-Mundziri keliru dalam menukil dari Imam Ibnu Syahin. Tampaknya bukan hanya al-Mundziri saja yang keliru dalam menukil hadis itu. Ahmad bin Isa al-Maqdisi dalam kitabnya Fadhail al-Jarir juga melakukan hal serupa.
Masih menurut Syeikh al-Albani, seandainya apa yang disebutkan Imam Ibnu Syahin itu sahih, yaitu hadis tersebut sanadnya bagus, maka hal itu menunjukkan Imam Ibnu Syahin tasahul (mempermudah) dalam menilai hadis tadi. Bagaimana mungkin sanad itu bagus? Ujar Syeikh al-Albani. Padahal rawinya tidak dikenal identitasnya dan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali oleh Muhammad bin Ubaid al-Bashri tadi, seperti dituturkan oleh Ibnu al-Jauzi dan didukung oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu ‘Asakir, dan di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdurrahman bin Utsman bin Umar. Syeikh al-Albani tampaknya telah berusaha untuk mengetahui identitas rawi ini, namun beliau tidak menemukannya.
Kami sendiri (Prof Ali Mustafa Yaqub, red) juga ikut mencoba membuka kitab-kitab biografi para rawi namun sayangnya nama Abdurrahman bin Utsman bin Umar tidak kami temukan.
Kesimpulannya hadis tadi tidak dapat dinilai, karena ada periwayat yang majhul (tidak diketahui) tadi.
Tanda-Tanda Kepalsuan Hadis
Untuk mendeteksi kepalsuan hadis kita dapat melakukannya lewat sanad (jalur periwayatan) hadis, dan dapat pula melalui matan (kandungan) hadis. Dalam disiplin ilmu hadis, terdapat kaidah jika sebuah hadis substansinya bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam, maka hadis tersebut adalah palsu.
Selanjutnya apakah substansi hadis yang kita diskusikan ini bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam? Syekh Albani menjawab pertanyaan ini. Kata beliau, sekiranya hadis ini sahih, hal itu berarti ibadah puasa Ramadan tidak akan diterima oleh Allah sampai yang bersangkutan mengeluarkan zakat fitrah, dan saya tidak mengetahui apakah ada seorang ulama yang berpendapat seperti itu.
Secara umum, ajaran Islam tidak pernah menetapkan bahwa ibadah puasa itu berkaitan dengan zakat fitrah, kecuali hanya dalam hal waktu pengeluaran zakat fitrah itu saja. Puasa dan zakat fitrah tidak memiliki hubungan syarat-masyrut seperti halnya bersuci dengan salat. Puasa seseorang apabila telah memenuhi syarat-syaratnya maka akan diterima oleh Allah. Dan zakat fitrah bukanlah salah satu syarat diterimanya ibadah puasa.
Karenanya, dari segi ini, jelaslah sudah bahwa hadis di atas itu bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Pada gilirannya hal itu sudah dapat dijadikan alasan bahwa hadis itu palsu. Apalagi bila ditambah bahwa sanad hadis itu tidak jelas juntrungannya. Wallahu A’lam.
Disadur dari Buku Hadis-Hadis Bermasalah Karya Guru Besar Ilmu Hadis, Alm Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, hlm. 165-168.