Oleh: Yusuf Maulana (Penulis buku “Mufakat Firasat”)
Pada 469 Hijriah, Abu Nashr ibn Qusyairi memberikan ceramah di madrasah Nizhamiyah. Dalam perkuliahan itu, tulis Dr Majid Irsan Kaylani dalam Hakadza Zahara Jilush-Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, Ibnu Qusyairi mencela habis-habisan pengikut mazhab Hanbali dengan menuduhnya sebagai kalangan mujassimah atau golongan yang meyakini bahwa Allah itu memiliki perbuatan serupa makhluk-Nya.
Ceramah tersebut disokong beberapa syeikh Syaifiiyah, semisal Abu Ishaq Syairazi dan Abu Sa’d Shufi. Kalangan mazhab ini pun tersulut emosi. Tanpa menunggu ceramah usai, mereka keluar dari majelis. Begitu mendapati Abu Ja’far ibn Musa, seorang pemuka Hanbaliyah, yang tengah berada di masjid, amarah massa kian membara. Beberapa pengikut Hanbaliyah sontak melindungi guru mereka. Bentrok sengit pun tak tertahankan, dengan ujungnya beberapa jiwa harus terkorbankan.
Enam tahun kemudian, para pelajar mazhab Hanbaliyah menuding guru besar Nizhamiyah dari mazhab Syafi’i, yakni Muhammad ibn Ali ath-Thabari atau yang lebih populer dengan sebutan Kiya al-Harrasi. Teman seperguruan Imam al-Ghazali ini dituduh sebagai pengikut sekte batiniah Hassasin. Akibat tuduhan ini, ungkap Dr Kaylani, Syeikh al-Harrasi ditangkap aparat keamanan dan dipenjarakan. Aktivitas mengajarnya pun dilarang.
Perasaan bersaing mudah ditemui dalam khazanah Muslimin. Betapa sesama pengaku jalan Sunnah merasa mesti sigap berkompetisi dengan saudara seimannya. Sayangnya, kompetisi itu tak selalu murni untuk berlomba dalam menggapai kebaikan dan ridha Allah. Ada unsur iri yang merasuk diam-diam, bahkan mungkin diyakininya sebagai kebenaran sejati.
Persaingan itu terus berkelindan hingga tak menyadari ada potensi kebenaran pada pihak sebelah. Yang ada malah semacam kesimpulan yang terpatok ajek bahwa pihak sebelah memang begitu dan pasti demikian. Tak ada kemungkinan berubah ataupun berbeda dari sangkaan kita.
Padahal, persaingan itu hadir dari rasa yang sederhana, walau terlihat kompleks. Sebuah rasa untuk tidak ingin ada usikan pada kekokohan posisi kita. Ada ancaman keberadaan pihak lain yang dicemasi tapi pembahasannya seakan-akan soal ancaman pada kemurnian agama. Rasa tak hendak disalip itu hadir; lalu direspons dengan menghadirkan ujaran-ujaran yang semestinya patut ditimbang ulang bila ingin dikemukakan ke ruang publik. Inilah yang hari ini pun mudah ditemui dalam keseharian kita.
Ada kalanya kita tersalip jamaah sebelah yang lebih atraktif dan kekinian dalam menyentuh publik. Kita, mungkin, unggul dalam kerapian sanad ilmu dan kelengkapan ilmu alat. Bahkan kita sudah merasa setia melakoni setia manhaj Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Tapi kenyataan di lapangan, di kaum urban khususnya, jamaah lain lebih dipercaya. Di sinilah rasa terabaikan hadir. Rasa yang kemudian melahirkan curiga yang diawetkan hingga kesumat tak bertepian.
Tak semudah ucapan untuk sekadar berlomba dalam kebaikan. Apakah hati ini mau menerima ketika pihak “sana” begitu berderetan mewarnai undangan kalangan-kalangan prestisius? Begitulah senyatanya. Kadang memang berat untuk ikhlas menerima “mereka” lebih laku diundang korporasi besar, dan kadang institusi di bawah pemerintah pula, dibanding “kalangan kita” yang teranggap lebih santun, ramah, kaya humor, dan Pancasilais. Sampai akhirnya lisan ini tak kuasa untuk menahan jemari menuliskan kecaman: “Mengapa ustad-ustad radikal dan penyokong teroris yang diundang berceramah? Mengapa bukan yang santun dan nasionalis?”
Mari bertanya ke hati kawan; tanyamu tadi apakah hendak menyoal soal kualitas penceramah dan isi ceramahnya ataukah sebenarnya ada soalan lain? Menyampaikan ujaran yang dirasuki iri, diam-diam, seyogianya hanya akan melahirkan kekerdilan. Seakan kita merajuk-rajuk karena “tidak laku” dan ingin diperlakukan lebih; apatah lagi kita punya klaim dan identitas yang berasa nasionalis dan bermassa banyak, ditambah kokohnya keilmuan Sunnah menurut agama ini. Alih-alih belajar mengapa mereka lebih dilirik, yang dimunculkan ada sikap protes penuh cela. Bukan dengan mengevaluasi diri atau menuding tidak-tidak kalangan pengundang. Kedekatan dengan kekuasaan yang berlaku hanya menjadi sandaran untuk mengadu; bukan untuk menilai kelemahan diri mengapa kita tertinggal dari pihak lain. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net