Relasi guru dan santri, antara sebagai murid dan pelayan setia

Pesantren dan Lingkungan Hidup

Suaramuslim.net – Judul di atas jika dipandang dari aspek pendidikan Barat tentu sangat tidak relevan. Tetapi jika dilihat dari aspek pendidikan yang menjadi landasannya adalah Al-Qur’an dan hadis serta perilaku pendidikan salafus soleh maka tidaklah mengagetkan.

Nabi Musa dan pelayannya

Perhatikan ayat Al-Qur’an terkait Nabi Musa dan Pelayannya yang sekaligus muridnya pada Q.S. Al Kahfi 60.

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰٓى اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبً 

(Ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”

Menurut para ulama tafsir di antaranya Dr. Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsirnya, yang dimaksud dengan pemuda dalam ayat tersebut adalah pembantu Nabi Musa yang sekaligus muridnya yang selalu membersamai Musa ke manapun pergi (mulazimuhu), bernama Yusa’ bin Nun bin Ifraim bin Yusuf.

Dalam Tafsir Al Munir, Wahbah menyebutnya dengan istilah يتبعه و يخدمه و يتعلم منه / selalu mengikuti Nabi Musa, melayaninya dan belajar.

Karena memang tugas seorang santri tidak hanya belajar tapi bagaimana meningkatkan kemandirian dengan proses mulazamah (membersamai dan melayani/khidmat) kepada guru, teman dan kepada lembaga pesantren secara umum.

Nabi Musa melayani Khidir

Nabi Musa pun memperaktikkan ajarannya untuk selalu membersamai dan melayani sang guru ketika bertemu Khidir. Lihat Q.S. Al Kahfi ayat 66

قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Musa berkata kepada Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

Perhatikan di ayat itu, ternyata Nabi Musa untuk mendapatkan ilmu dari Khidir, melalui cara selalu membersamainya dan tentu melayaninya.

Karena itu banyak ulama yang memberikan motivasi kepada yang mau menjadi santri agar mulazamah (membersamai dan berkhidmat/melayani) di samping belajar dari para guru.

Syekh Dr. Muhammad bin Ismail pernah berkata;

العِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَالْبَرَكَةُ بِالْخِدْمَةِ، وَالْمَنْفَعَةُ بِالطَّاعَةِ

Ilmu diperoleh dengan mengaji, barakah/berkah diperoleh dengan mengabdi, (hidup) manfaat diperoleh dengan mematuhi.

Ilmu tanpa berkah adalah bahaya, berkah tanpa ilmu adalah binasa.

Semua ulama yang alim dan barokah ilmunya diperoleh dari guru-gurunya melalui proses belajar dengan mulazamah.

Para sahabat yang melayani Nabi Muhammad

Mulazamah adalah tradisi ulama salaf. Bahkan itu tradisi sejak zaman Nabi Muhammad dengan para sahabatnya. Bukankah para sahabat selalu mulazamah dengan Nabi Muhammad, meskipun di kalangan mereka berbeda-beda tingkatan mulazamahnya

Karena risalah dan ilmu dari Nabi tidak hanya didengar dari kajian Nabi Muhammad, namun mereka selalu membersamai (mulazamah) dengan Nabi.

Bahkan di antara mereka sampai berkhidmat melayani Nabi dalam keseharian beliau.

Di antaranya adalah sahabat Anas bin Malik yang melayani Nabi Muhammad sejak usia 10 tahun, sampai usia 20 tahun.

Saat itu ibunda Anas, yang bernama Ghumaishoh binti Milhan atau Ummu Sulaim menyerahkan Unais (panggilan sayang Anas bin Malik) kepada Rasulullah untuk melayani keseharian beliau.

Ibuku datang bersamaku kepada Rasulullah sambil menarik diriku seraya berkata, “Wahai Nabi ini adalah Unais anakku aku berikan kepadamu supaya melayani dirimu, doakan kepada Allah untuknya.”

Maka Nabi Muhammad berdoa; “Ya Allah perbanyaklah hartanya dan keturunannya.”

Anas berkata, “Demi Allah setelah doa Nabi maka saya memiliki harta yang banyak serta keturunan yang banyak sampai sekitar 100 keturunanku.” (Riwayat Muslim).

Di antaranya juga adalah sahabat Rabi’ah bin Ka’ab;

Aku pernah bermalam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku menyiapkan air wudhu dan keperluan beliau. Lalu beliau bersabda kepadaku: ”Mintalah sesuatu!” Maka aku menjawab: ”Aku meminta kepadamu agar memberi petunjuk kepadaku tentang sebab-sebab agar aku bisa menemanimu di Surga”. Beliau menjawab: ”Ada lagi selain itu?”

“Itu saja cukup ya Rasulullah”, jawabku. Maka Rasulullah bersabda: ”Jika demikian, bantulah aku atas dirimu (untuk mewujudkan permintaanmu) dengan memperbanyak sujud (dalam shalat)”. (Riwayat Muslim).

Adakah kebahagiaan hidup di surga melebihi selalu bersama dengan Nabi? Dan ternyata rahasia itu didapatkan melalui berkhidmat melayani Sang Guru Mulia Rasulullah.

Juga Ibnu Abbas yang selalu mengikuti dengan melayani Nabi Muhammad.

Sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Rasulullah  berada di rumah Maimunah radhiyallahu ‘anha (bibi Ibnu Abbas). Beliau menyiapkan air wudhu untuk Rasulullah di waktu malam. Maimunah berkata, “Wahai Rasulullah, yang menyiapkan air wudhu untukmu adalah Ibnu Abbas.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ya Allah, pahamkanlah dia terhadap agama dan ajarkanlah (ilmu) tafsir kepadanya.” (Riwayat Ahmad).

Kisah itu memberikan motivasi betapa kealiman seseorang hanya bisa diperoleh dari mulazamah membersamai dan melayani guru.

Syekh Al Zarnuji membawakan kisah di kitabnya;

Suatu hikayat: Khalifah Harun Ar-Rasyid mengirim putranya kepada Al-Ashma’iy agar diajar ilmu dan adab. Pada suatu hari, Khalifah melihat Al-Ashma’iy berwudhu dan membasuh sendiri kakinya, sedang putra Khalifah cukup menuang air pada kaki tersebut. Maka, Khalifah pun menegur dan berkata: “Putraku aku kirim kemari agar engkau ajar dan didik; tapi mengapa tidak kau perintahkan agar satu tangannya menuang air dan tangan satunya lagi membasuh kakimu?”

Maa syaa Alloh… 

So.. Mendapatkan ilmu itu mudah, namun mendapatkan ilmu yang barokah itu hanya bisa didapat dengan membersamai dan melayani, dengan sosok guru yang murabbi rabbani.

Adab kepada guru sebab mulianya seorang pencari ilmu

Adab itu perilaku kesantunan dan akhlak yang mulia dalam sikap kepada guru. Perhatikan dalam ayat yang lain disebutkan bahwa seorang penuntut ilmu harus menuruti perintah sang guru sebagai adabnya sekalipun itu tidak menyenangkan hatinya.

Karena untuk bisa mendapatkan ilmu yang barokah sudah tentu melalui adab dan akhlak yang mulia kepada gurunya.

Perhatikan Firman Allah dalam surat Al Mujadalah 11.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (11)

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majelis,” maka lapangkanlah,  niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dalam ayat di atas, Allah mengedepankan adab dan menjadikan dengannya orang beriman dan yang berilmu memiliki derajat tinggi di sisi-Nya.

Adab adalah sebab utama mulianya seorang yang berilmu. Dalam kitab (إرشاد الساري) karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari qaddasallahu ruhah menuliskan:

التوحيد يوجب الإيمان
فمن لا إيمان له فلا توحيد له
والإيمان يوجب الشريعة
فمن لا شريعة له فلا إيمان له ولا توحيد
والشريعة توجب الأدب
فمن لا أدب له فلا شريعة له ولا إيمان ولا توحي

Tauhid itu mewajibkan iman
Maka yang tidak punya iman, berarti tidak punya tauhid
Dan iman itu mewajibkan syariah
Maka yang tidak punya syariah, berarti tidak punya iman dan tidak punya tauhid
Lalu syariah itu mewajibkan adab
Maka yang tidak punya adab, berarti tidak punya syariah, tidak punya iman dan tidak punya tauhid.

Maa syaa Alloh, adab itu penentu kebaikan seseorang. Ilmu setinggi langit, namun nggak punya adab kepada orang tua, guru, dll, sungguh ilmunya tak bermanfaat.

Al adabu fauqo al ilmi (adab itu di atas ilmu), demikian kaidah ulama salaf.

Imam Ibnul Mubarak berkata:

تعلمت الأدب ثلاثين سنة، وتعلمت العلم عشرين سنة

“Aku belajar adab selama tiga puluh tahun, dan aku belajar ilmu selama dua puluh tahun.” 

So…Adab itu sangat penting bagi para penuntut ilmu sebelum mendapatkan ilmu itu sendiri.

Perhatikan riwayat di bawah ini yang menunjukkan bagaimana perilaku adab para sahabat Nabi Muhammad dan salafus sholeh kepada para gurunya yang sholeh.

Sejak awal Islam sudah mengajarkan bagaimana memberlakukan orang alim, apalagi dia guru kita.

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

“Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama.” (Riwayat Ahmad).

Perhatikan hadis tersebut yang meminta kita para santri untuk menempatkan posisi orang alim yang berbeda dari lainnya.

Abu Sa’id Al Khudri meriwayatkan sebuah kejadian saat di majlis Nabi

كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا

“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara.” (Riwayat Al-Bukhari).

Riwayat itu menunjukkan bagaimana adab sahabat Nabi saat berada dalam majelis. Bandingkan dengan majelis kita ketika sang guru tiba di majelisnya, masih main hp, selfi, ngobrol dan lainnya perilaku lainnya.

Bahkan sekaliber ahli tafsir dari kalangan sahabat dan sekaligus ahli bait Nabi Muhammad yaitu Ibnu Abbas menuntun tali onta Zaid bin Tsabit seraya berkata:

هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا

“Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami.”

Abdurahman bin Harmalah Al Aslami bercerita

ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير

“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada seorang raja.”

Murid Imam As Syafi’i, Ar Rabi’ bin Sulaiman berkata:

مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ

“Demi Allah, aku tidak berani meminum air dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya.”

Dan sebaliknya Imam As Syafi’i kepada gurunya yaitu imam Malik memiliki adab yang luar biasa;

“Dulu aku membolak balikkan kertas di depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya.”

Abu Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah guruku karena Allah berfirman;

وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).

Kesimpulan

Santri yang sukses adalah santri yang memiliki semangat belajar tinggi dan mulazamah (membersamai dan melayani) para guru .

Santri yang sholeh adalah santri yang beradab kepada guru, orang tua dan lainnya.

Ikatan guru dan santri itu adalah ikatan cinta karena Allah. Karena itu mewujudkan adabnya kepada guru yang dicintai terkadang tidak bisa dipahami oleh orang luar karena terkadang ekspresi cinta itu lebih dipahami oleh pelakunya.

Namun demikian, dalam mempraktikkan adab sudah tentu tidak diperkenankan berlebihan atau ghuluw yang mengarah kepada pelanggaran syariat, merendahkan kehormatan santri atau kehormatan ilmu itu sendiri.

Adapun membungkukan badan seperti orang ruku’ (inhina’), masih diperdebatkan. Menurut Ibnu Hajar Al Haitsami itu makruh.

Namun Imam Al Ghazali agak lebih longgar terkait membungkukkan badan untuk menghormati orang alim. Beliau membolehkan, tapi jika itu bukan orang alim, atau karena suka rela sebagai bentuk pelayanan kepada seseorang beliau menganggapnya sebagai perbuatan maksiat.

فَأَمَّا تَقْبِيْلُ الْيَدِ وَ الْاِنْحِنَاءِ فِي الْخِدْمَةِ فَهُوَ مَعْصِيَةٌ إِلاَّ عِنْدَ الْخَوْفِ أَوْ لِإِمَامٍ عَادِلٍ أَوْ لِعَالِمٍ أَوْ لِمَنْ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ بِأَمْرٍ دِيْنِيٍّ 

 “Adapun mencium tangan dan membungkuk dalam bentuk pelayanan, maka termasuk perbuatan maksiat, kecuali karena rasa takut, atau kepada seorang pemimpin yang adil, atau kepada seorang alim, atau kepada orang yang memang pantas menerima penghormatan tersebut karena urusan agama.” (Ihya Ulumiddin, jilid II, halaman 143).

Mencium kaki ulama karena kemuliaan ilmunya

Di satu sisi ada banyak riwayat terkait mencium tangan bahkan mencium kaki ulama, dan itu dilakukan sejak zaman Nabi, sudah lah pasti ketika mencium tangan apalagi kaki mengharuskan untuk membungkukkan badan.

Imam Muslim mencium kaki Imam Al Bukhari

Muhammad bin Hamdun berkata; Saya mendengar Imam Muslim saat bertandang ke Imam Bukhari berkata: “Biarkanlah saya mencium kedua kakimu, wahai gurunya para guru, tuannya para muhaddits, dan dokternya hadis dalam mengetahui illa-tnya. (Ad-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 10/100).

Sayidina Ali mencium tangan dan kaki Al Abbas

Bahkan Syekh Sholeh Utsaimin menjelaskan: Dua orang itu (tamu Nabi) memang telah mencium kaki Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wasallam, Nabi mengakuinya tanpa mengingkari. Maka, hukumnya boleh mencium tangan dan kaki seseorang karena kemuliaannya, sebagaimana mencium tangan dan kaki bapak maupun ibu, karena memang hak mereka. Inilah bentuk dari sikap tawadhu’. (Utsaimin, Syarah Riyadh as-Shalihin, h. 4/ 451).

Tetapi terkait dengan ulama, jika kita tidak memahami persoalannya dan tidak bisa tabayyun maka lebih baik diam, atau mengembalikan kepada jalur syariah tanpa mencela pribadinya.

Karena imam An Nawawi mengatakan;

لحوم العلماء مسمومة

“Daging para ulama itu mengandung racun.”

Artinya kalau kita membincangkan aib para ulama maka seolah dia makan daging ulama itu yang beracun yang menyebabakan sakit bahkan kematian. Wallohu A’lam.

M Junaidi Sahal
Disampaikan di Radio Suara Muslim Surabaya
23 Oktober 2025/ 1 Jumadi Ula 1447

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.