Suaramuslim.net – Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Belanda berpikir bahwa Hindia Belanda harus kembali ke tangannya. Pada akhir September 1945 tentara Belanda kembali ke Indonesia untuk memulihkan kekuasaan. Mereka ndompleng di dalam tentara Sekutu sebagai pihak yang mengalahkan Jepang karena Belanda adalah bagian dari Sekutu. Mereka berlindung di balik NICA (Netherlands Indie Civil Administration).
Langkah Belanda itu tidak luput dari perhatian para ulama yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan pengamatan itu, para ulama NU merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang diperlukan dalam upaya membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya TNI yang baru berdiri. Maka para ulama NU itu bermusyawarah di kantor PBNU di Bubutan Surabaya dipimpin oleh Rais Akbar PBNU K.H. Hasyim Asy’ari. Musyawarah mengeluarkan sebuah fatwa yang dinamakan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945.
Resolusi itu memberi fatwa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kepada seluruh laki-laki Islam yang sudah dewasa dan bertempat tinggal dalam radius 90 km dari Surabaya untuk berjihad membantu TNI bertempur melawan Belanda.
Mereka yang gugur dalam pertempuran itu akan menjadi syuhada (mati syahid) yang ganjarannya adalah surga. Dengan semangat berjihad, ribuan muslimin tanpa kenal takut bertempur melawan tentara Belanda dan Inggris di Surabaya pada 10 November 1945. Tanggal itu lalu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran melawan Belanda dan Inggris itulah satu-satunya jihad fisik (berperang) yang pernah difatwakan oleh jumhur ulama di Indonesia.
Itulah salah satu sumbangsih fenomenal dari organisasi NU terhadap bangsa dan negara Indonesia yang diberikan saat negara ini muda ini baru seumur jagung. Tetapi mengherankan, saat saya di SMP dan SMA tidak ada buku pelajaran sejarah Indonesia yang mengemukakan Resolusi Jihad itu. Pengorbanan jiwa warga NU, tidak terhitung jumlahnya saat Indonesia berperang melawan Belanda untuk mempertahankan Indonesia.
Titik Temu Islam dan Pancasila
Sumbangsih lain yang monumental dari NU bagi bangsa Indonesia ialah dokumen tentang hubungan Islam dan Pancasila yang dihasilkan dalam Munas Alim Ulama NU (1983). Muktamar NU 1984 memutuskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Langkah NU itu lalu diikuti oleh hampir semua ormas Islam dan Partai Persatuan Pembangunan.
Pemikiran tentang hubungan Islam dan Pancasila itu mayoritas adalah hasil karya K.H. Ahmad Siddiq, Rais Aam Syuriah PBNU 1984-1990. Jadi, gagasan cemerlang yang mempertemukan Islam dan Pancasila itu bukanlah karya professor universitas terkemuka tetapi karya kiai pesantren. Pemikiran cemerlang itu menjadi semacam konvergensi antara Islam dan Indonesia, titik temu antara Islam dan kebangsaan. Tanpa pemikiran K.H. Ahmad Siddiq itu posisi Islam dan Pancasila masih tetap berseberangan, belum bisa menyatu.
Sejak itu politik aliran Islam mencair dan kini kita melihat partai Islam dan partai berbasis massa Islam merosot jumlah pemilihnya. Kebanyakan warga NU dan umat Islam melihat partai tengah seperti Partai Gerindra dan Golkar atau Demokrat sudah memenuhi aspirasi politik keislaman mereka.
Keteladanan Pemimpin
Dua sumbangsih monumental telah dipersembahkan organisasi NU kepada bangsa dan negara. Keduanya memberi bukti bahwa organisasi dan tokoh-tokoh sentral NU sangat peduli terhadap kehidupan bangsa dan negara serta mampu menangkap masalah utama yang amat potensial mengancam masa depan bangsa, lalu melakukan sesuatu yang diperlukan.
Banyak yang berharap bahwa organisasi NU masih mampu untuk mempersembahkan sumbangsih besar lainnya saat bangsa dan negara kini dalam kondisi yang amat memprihatinkan. Kondisi yang oleh banyak pengamat yang sensitif dan berpandangan jauh ke depan, sudah dianggap menunjukkan tanda-tanda adanya potensi menuju negara gagal.
Salah satu masalah bangsa Indonesia saat ini adalah merosotnya moral anak bangsa. Akhlak kebanyakan warga masyarakat termasuk para pemimpin, amat tercela. Kejujuran semakin langka. Rasa saling percaya kian menipis. Tidak banyak lagi kita jumpai mereka yang malu kalau ketahuan korupsi. Karakter bangsa kita sungguh membuat gamang dalam menghadapi tantangan yang kian berat. Pendidikan agama semakin kehilangan bekasnya di dalam kehidupan nyata.
Sebagai ormas keagamaan berusia tua dan mempunyai pengikut puluhan juta, diharapkan NU dapat ikut berperan aktif dalam memperbaiki akhlak masyarakat dan membangun karakter bangsa. Organisasi NU bisa mengeluarkan “Resolusi Jihad Kedua” yang intinya adalah memberi penyadaran kepada mereka yang belum mengetahui dan mengingatkan mereka yang sudah tahu (termasuk para tokoh NU) bahwa jihad terbesar kita adalah jihad terhadap diri sendiri, jihad melawan hawa nafsu kita sendiri.
Organisasi dan tokoh NU plus banom NU (Muslimat NU, Ansor, Fatayat, dll) di tingkat nasional sampai bawah, tidak cukup hanya mengeluarkan dan menyuarakan “Resolusi Jihad Kedua”, tetapi harus mampu memberi teladan kepada warga NU dan masyarakat luas, bagaimana mereka berjihad melawan hawa nafsu terhadap harta, kekuasaan atau kedudukan.
Ke depan, tokoh structural NU plus Banomnya, dari pusat hingga daerah, harus menunjukkan keteladanan dalam kemampuan menahan diri dari tindakan menggunakan organisasi NU plus banomnya untuk kepentingan politik pribadi dan kelompok dalam pilbup, pilgub, dan pilpres seperti yang selama ini telah mereka lakukan. Etika dan budaya organisasi yang baik harus diterapkan di dalam organisasi NU plus banomnya. Organisasi NU dan banomnya yang kini berparadigma parpol perlu berubah menjadi paradigma ormas yang sesungguhnya.
Birokrat serta siapa pun yang menjadi pimpinan NU plus banomnya juga harus lebih bersih dari praktik korupsi dalam pengertian luas yaitu penyalahgunaan kekuasaan. Kalau tokoh NU dan banomnya tidak mampu melakukan jihad akbar terhadap diri sendiri, maka seruan “Resolusi Jihad Kedua” hanya akan menjadi sesuatu yang hampa dan tidak berarti. Tidak ada gunanya mengeluarkan “Resolusi Jihad Kedua.” Berarti organisasi NU sudah tidak mampu lagi melakukan sesuatu yang dituntut oleh bangsa dan negara saat dibutuhkan.
Disarikan dari buku Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan; Esai-esai Kebangsaan karya KH. Salahuddin Wahid, penerbit Pustaka Tebuireng: 2017, halaman 275-280.