Penulis: Agus Mualif Roehadi
Suaramuslim.net – Sayup-sayup, perlahan-lahan, berita dan diskursus tentang Reuni 212 tahun 2018 ini akan menghilang dari ruang publik. Tapi pengaruh peristiwa reuni kolosal bahkan untuk ukuran dunia ini gelombang senyapnya akan selalu membayangi jalannya demokrasi dan penegakan keadilan di Indonesia.
Ukuran kolosalnya hanya bisa diperbandingkan dengan berkumpulnya jemaah haji di padang Arafah. Banyak yang mencoba mengukur jumlahnya, ada yang dengan sengaja mengecilkan, ada yang membesarkan, tapi yang jelas tidak akan bisa diukur secara persis. Oleh karena itu, paling mudah adalah dibandingkan dengan berkumpulnya jemaah haji di Arafah.
Tentu ini peristiwa sejarah demokrasi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Banyak analisis sebelum hari H reuni 212 itu dengan prediksi jumlah massa reuni akan jauh menyusut, tapi ternyata semua analisis meleset. Analisis penyusutan itu dikemukakan dengan argumen bahwa isu yang diusung oleh reuni 212 tidak lagi fokus, ada banyak faksi dan tujuan, ada tokoh yang mengundurkan diri, ada tokoh yang bergabung dengan penguasa, ada upaya pengkerdilan, ada upaya penghadangan dan tekanan psikologis, dan lain lain.
212, dari Momen Menjadi Monumen
Meminjam istilah Rocky Gerung dalam acara ILC 4 Desember 2018, momen gerakan 212 tahun 2016 telah berubah menjadi monumen peradaban. Telah muncul sebuah peradaban baru demokrasi Indonesia yaitu munculnya forum kolosal tahunan menyampaikan pendapat secara tersirat maupun terungkap atas persepsi terhadap perilaku penguasa dan para pendukungnya yang menyimpang dari norma demokrasi dan keadilan berdasarkan penilaian atas beberapa peristiwa politik dan hukum yang melukai rasa keadilan. Forum kolosal ini diprediksi akan menjadi agenda tetap siapa pun yang jadi penguasa negeri ini.
Forum kolosal yang diselenggarakan untuk menyuarakan dan mendesakkan rasa ketidak puasan atas penyelenggaraan demokrasi dan keadilan yang dilakukan secara damai, cerdas dan beradab. Cerdas karena mampu memunculkan hikmah, bukan cerdik yang hanya mencari keuntungan.
Pada saat yang hampir bersamaan waktunya, monumen peradaban demokrasi baru ini diuji melalui perbandingan secara langsung dengan peristiwa unjuk rasa di negara yang telah lebih tua peradaban demokrasinya, di negara maju yang tingkat kesejahteraan dan pendidikan penduduknya jauh lebih tinggi dari penduduk Indonesia, yaitu unjuk rasa di Paris, Perancis yang berlangsung rusuh, terjadi bentrok dengan aparat keamanan dan memunculkan penjarahan.
Tentu tidak ada yang memperkirakan bahwa Allah telah menyediakan cermin untuk reuni 212 ini di negara yang jauh dari Indonesia yang peradaban demokrasinya dianggap lebih maju.
Sebagian besar media cetak dan tulis nasional bahkan mencoba menenggelamkan peristiwa kolosal peradaban baru demokrasi ini dengan sama sekali tidak menampilkan liputannya, atau menampilkan dengan cara sangat mengecilkan dan melecehkannya melalui penampilan berita hamparan sampah.
Media-media ini telah mengkhianati para wartawan dan jurnalisnya sendiri, bahkan telah mengkhianati fungsi media sebagai salah satu pilar demokrasi.
Tentu sah saja para pemilik media menjadikan media miliknya untuk kepentingan tujuan kekuasaan atau hanya sekadar tujuan bisnis. Tapi juga sah-sah saja bagi siapa pun untuk memberitakan peristiwa itu dengan cara pandang masing-masing melalui media sosial yang semakin canggih.
Media elektronik dan cetak telah mempunyai pesaingnya sendiri. Justru dengan itu, sikap penguasa media hanya akan terlihat motifnya dan tidak akan mampu mengontrol gelombang reaksi baliknya karena tidak lagi dipercayai.
Penguasa bisa saja membangun perlawanan terhadap arus ketidakpercayaan yang tertumpah melalui media sosial, tetapi gelombang senyap perlawanan melalui medsos tidak akan mengecil bahkan mempercepat besarnya arus ketidakpercayaan itu. Pertempuran melalui media sosial menjadi tidak terelakkan dan mengambil alih fungsi media elektronik dan cetak.
Perlakuan kebanyakan media nasional terhadap peristiwa kolosal ini akan tercatat dalam sejarah pula sebagai media pengkhianat demokrasi yang sulit dihapuskan dalam benak masyarakat.
Dalam forum ILC tvOne 4 Desember itu, muncul beberapa pernik yang menggambarkan sebagian monumen peradaban demokrasi baru ini.
Dengan kasat mata, ketika peneliti Median mengungkapkan analisis pengaruh 212 terhadap elektabilitas capres, secara bersamaan wajahnya yang sedang berbicara di-shoot disandingkan dengan wajah peneliti LSI yang sebelumnya telah menyampaikan hasil surveinya. Air muka wajah peneliti LSI menjadi merah kuat dan terlihat tegang. Ya, secara gamblang yang dipresentasikan peneliti Median seperti menguliti kedangkalan survei LSI.
Tentu saya yakin bahwa ilmu metodologi survei pasti sama-sama telah dikuasai oleh semua lembaga survei. Pengetahuan tentang ilmu metodologi survei pasti sama, tapi mengaplikasikannya yang berbeda. Perbedaan yang jika dirunut pasti karena adanya perbedaan kepentingan yang berujung dari sumber dana.
Banyak yang telah mengemukakan pendapat bahwa lembaga survei termasuk LSI telah melacurkan metode survei opini publik yang dengan susah payah diramu sedemikian rupa oleh penemunya. Oleh karena itu, telah terjadi pengkhianatan atas metode ilmiah, pengkhianatan terhadap tujuan ditemukannya metode ilmiah, telah terjadi pelacuran metodologi ilmiah survei opini publik.
Tentu predikat “pelacur ilmiah” itu akan hilang jika lembaga survei menjelaskan sumber dananya sebagaimana lazimnya survei apapun yang tujuannya sesuai dengan tujuan penyandang dana survei. Di negara maju, sudah jamak jika lembaga yang melakukan survei opini publik terlebih dahulu mengumumkan sumber dananya sebelum menyampaikan hasil surveinya.
Bendera Tauhid Semakin Akrab di Hati Rakyat
Dalam reuni 212 juga banyak berkibar warna-warni bendera tauhid. Bendera milik umat Islam di seluruh dunia yang telah distigmakan secara salah seolah menjadi bendera kaum pembawa kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Bendera tauhid telah dibakar oleh oknum ormas, karena ada protes yang luas sehingga menggerakkan kabinet mengumpulkan ormas-ormas Islam untuk meluruskan pemahaman tentang bendera tauhid. Namun kesepakatan pemahaman itu kemudian dicederai lagi oleh proses pengadilan yang tidak serius, terbukti menghasilkan putusan hukum yang aneh sehingga menambah luka rasa keadilan.
Reuni 212 telah melakukan pelurusan secara kolosal atas penggunaan bendera tauhid bahwa bendera itu sebenarnya dan sesuai sejarahnya adalah bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan keadilan.
Dalam acara ILC itu, Aa Gym secara tersirat telah mengungkapkan mengapa para tokoh gerakan 212 awal, seperti dirinya, Bachtiar Nasir, Arifin Ilham, dan lain-lain tidak hadir. Intinya adalah untuk menguji reuni 212 sebagai reuni dari suara hati dan pikiran yang terluka oleh ketidakadilan dan stigmatisasi yang masif terhadap umat Islam sebagai kaum radikal, pembawa kekerasan, intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, bukan karena tokoh yang akan menyampaikan tausiah maupun orasi.
Mereka yang hadir di Monas meluber ke banyak jalan di lingkup area yang sangat luas itu telah menunjukkan secara gamblang bahwa kehadirannya bukan karena para tokoh ulama atau mau mendengarkan orasi para ulama. Sangat sedikit dari mereka yang hadir itu yang dapat mendengarkan orasi dari panggung.
Mereka hadir dengan penuh kedamaian, tidak ada suara yang meneriakkan kekerasan, tidak ada perusakan sedikit pun. Ketika acara usai mereka dengan cepat lenyap dengan meninggalkan tempat yang bersih seakan sebelumnya tidak ada peristiwa yang tentu membawa berton-ton bungkusan dan kemasan bekas.
Sebuah pertunjukan peradaban tinggi. Sebuah pertunjukan kolosal protes terhadap ketimpangan keadilan yang diutarakan secara kolosal, santun, damai, mengayomi, melindungi dan jauh dari apa yang telah dituduhkan atau difitnahkan secara masif dan terus menerus ditikamkan kepada umat Islam yang telah berjasa besar atas kemerdekaan negara bangsa, ikut menjaga keutuhan negara dan tidak mungkin bertujuan menghancurkan atau memecah negara bangsa.
Jika ada anggapan bahwa dalam peristiwa kolosal itu ada muatan politik dukungan untuk pilpres, itu juga suatu hal yang tidak mungkin dihindari karena sebab yang jelas.
Penguasa telah membangun koalisi kekuasaan dan membuat undang undang presidential treshold yang menyebabkan pengerucutan calon presiden hanya menjadi dua calon, bahkan bisa mengarah ke calon tunggal apabila tidak ada yang berani mengambil risiko kalah dengan pengorbanan materi dan dana yang besar.
Tidak ada pilihan lain untuk menyuarakan rasa keadilan yang telah diabaikan, diremehkan bahkan dianggap sampah oleh suatu media, agar dapat masuk ke dalam saluran politik kecuali melalui satu-satunya calon yang menjadi lawan petahana.
Bagi yang hadir, memilih itu tidak ada perhitungan kalah dan menang.
Menjadi Pemimpin Adalah Takdir Allah
Aa Gym telah menyampaikan bahwa yang terpilih itu hanya akan terjadi karena takdir Allah, tidak akan ada yang bisa merekayasa. Takdir itu akan menciptakan sendiri jalannya keterpilihan.
Al Quran banyak meriwayatkan perilaku manusia. Orang yang paling zalim pun bisa ditakdirkan jadi penguasa yang itu menjadi cobaan bagi kaum yang beriman. Sejarah dalam Al Quran memberikan banyak pelajaran kepada manusia tentang perilaku manusia dan akibat yang ditanggungnya.
Menang dan kalah bukan persoalan utamanya. Manusia telah dibekali akal dan kecerdasan untuk memilih jalan yang sudah ada petunjuknya dalam Al Quran. Jangan menjadi orang, atau jangan menjadi teman atau sahabat dari orang-orang fasik, zalim dan orang yang tertutup hatinya dari kebenaran. Hidup manusia juga selalu dicoba dengan berbagai ujian. Setiap orang akan menerima amal perbuatannya sendiri-sendiri. Itulah uniknya sunnatullah manusia yang ditunjukkan oleh Al Quran.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net