Suaramuslim.net – Menjelang libur Pemilu dan Pilpres, salah satu anak didik saya bertanya, “Tan malaka itu siapa, Pak?”. Saya katakan, “Dia salah satu pejuang republik, penulis buku dan seorang guru di sebuah perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara”. Sekiranya mereka mengakses laman Wikipedia, pasti kaget dengan riwayat hidup Tan malaka yang pada tahun 1921 menjadi pimpinan Partai Komunis Indonesia.
Dalam Jawapos edisi 17 Mei 2016 Zulfikar Kamarudin, Keponakan Tan Malaka bilang kalau pamannya hafal Al Quran dan paham tafsirnya. Saking jeniusnya, seluruh warga di kampungnya iuran agar ia bisa menuntut ilmu ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Ketika berada di Belanda, Tan Malaka suka olah raga sepak bola.
Zulfikar juga bercerita bahwa pamannya pernah pidato di depan Stalin. Dengan lantang ia menyatakan bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari Islam. Baru 15 menit pidato, oleh Stalin dipaksa berhenti. Namun dia tak bergeming.
Demi memperjuangkan kemerdekaan bangsa, ia rela membujang sepanjang hayatnya. Saat memberi kata pengantar untuk bukunya Helen Jarvis, Mantan Ketua umum partai Murba, W. suwarto menyatakan, “Selama 28 tahun berjuang, hanya sekitar 2 tahun saja Tan Malaka punya kesempatan dan kemungkinan bergerak di tanah airnya sendiri”.
Karya monumentalnya adalah materialisme, dialektika dan logika (disingkat Madilog). Buku setebal 500-an halaman itu bahasanya rumit dan tidak ada catatan kaki maupun referensi. Apakah Tan malaka menulis buku itu dalam keadaan “tertekan” sehingga tata bahasanya sukar dipahami? ataukah memang beliau bukan tipikal seorang penulis. Wallahu’alllam.
Madilog merupakan refleksi atas nasib buruk bangsa Indonesia yang dinilai Tan malaka tidak pernah keluar dari belenggu perbudakan. Sebelum diperbudak penjajah, bangsa ini juga diperbudak sistem feodal. Feodalisme ini yang menyebabkan orang takut atau malas berpikir dan mudah menyerah.
Buku yang penulisannya memakan waktu 8 bulan itu pada era 1990-an cukup populer dikalangan aktivis. Popularitasnya lebih kurang sama dengan buku karangan Pramoedya Ananta Toer, Ivan Illich dan Paolo Freire. (Majalah Tempo edisi 19-25 Mei 2008, hal 40).
Di dalam Madilog dia menulis, “Dalam mempelajari filsafat harus dipilah-pilah dahulu pikiran-pikiran para ahli filsafat, kalau tidak begitu bisa bingung. Contoh: antara Idealis dan Materialisme.” (Madilog, 2014, hal 51).
Filosof yang punya nama asli Sutan Ibrahim itu mengatakan “Pikiran (konsep/idea) lebih dulu ketimbang benda (materi), itulah idealis. Jika Sebaliknya benda dulu, baru datanglah pikiran, itu Materialisme”. Masih menurut Tan malaka, kemajuan manusia harus dilihat dari 3 tahap: dari mistik lewat “filsafat” ke ilmu pengatahuan (Sains). Bagi laki-laki ini, selama bangsa kita terkungkung “mistik” itu, tak mungkin jadi bangsa yang merdeka dan maju.
Diakhir hayatnya, ia ditangkap dan ditembak mati pada bulan Februari 1949. Entah apa kesalahan dia sampai dizalimi seperti itu. Tahun 1963, diangkat menjadi pahlawan nasional oleh Bung karno. Namun Prof. Harry A. Poeze dalam bedah buku di Universitas Brawijaya, Malang mengatakan “Selama 30 tahun, namanya dicoret dalam buku Sejarah Nasional.”
Masih kata Harry A. Poeze, “Saat ini, di buku pelajaran sekolah sama sekali tidak disebut, ini tidak cocok dengan realitas sejarah. Tan Malaka punya peran penting waktu revolusi dan ini harus diakui,”. Peran pentingnya menulis proses menuju Republik Indonesia dalam bahasa Belanda pada 1924, dan ini pertama kali disebut sebagai “Republik Indonesia”.
Karena itu, kemudian hari Tan Malaka disebut Bapak Republik Indonesia. Mengutip majalah Detik edisi 10-16 Maret 2014, Harry berkesimpulan peran Tan Malaka setara, bahkan mungkin lebih dari yang dimainkan Che Guevara dari Kuba dan Ho Chi Minh di Vietnam. Wallahua’lam.