SURABAYA (suaramuslim.net) – Sebuah studi dari lembaga HAM Equal Right Trust yang berbasis di London menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah komunitas yang paling dipersekusi di dunia. Etnis Rohingya telah mendiami wilayah Rakhine sejak abad ke-13. Pada awal merdeka etnis Rohingya masih diakui sebagai bagian dari Myanmar, bahkan hingga memiliki perwakilan di Parlemen. Namun ketika Junta Militer berkuasa di Myanmar pada tahun 1982 identitas dan hak etnis Rohingya dilucuti dan tidak diakui status kewarganegaraannya karena dianggap berbeda dari penduduk Myanmar pada umumnya.
Oleh sebab tidak memiliki status kewarganegaraan inilah etnis Rohingya menderita bertahun-tahun karena tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai warga Negara pada umumnya. Mereka tidak mempunyai akses ke pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Untuk bertahan hidup selama ini mereka bertani, namun ketika panen hasilnya tidak boleh dijual keluar komunitas mereka oleh Militer Myanmar.
Kekerasan terhadap etnis Rohingya mulai pecah kembali pada tahun 2012, dipicu dengan tuduhan kepada etnis Rohingya atas pembunuhan kepada seorang wanita. Kejadian tersebut berdampak pada penyerangan secara massif kepada etnis Rohingya baik oleh pihak sipil maupun militer. Serangan yang turut membakar ribuan rumah penduduk tersebut menewaskan lebih dari 80 orang dan membuat ratusan ribu orang terpaksa mengungsi.
Kekerasan terhadap etnis Rohingya belakangan kembali memuncak, Militer Myanmar melakukan serangan yang lebih besar dengan dalih memberantas kelompok radikal dari etnis Rohingya. Data terakhir yang dirilis oleh European Rohingya Council menyebutkan lebih dari 3000 orang etnis Rohingya terbunuh. Dan ratusan ribu lainnya melarikan diri dengan bersembunyi di hutan dan kebanyakan tertahan di perbatasan Myanmar – Bangladesh.
Berikut catatan dari Program Ranah Publik di Radio Suara Muslim Surabaya, yang dipandu oleh Dina Amalia dan Dewan Redaksi Suara Muslim Fajar Arifianto Isnugroho pada Senin (4/9) yang membahas tentang Etnis Rohingya dari aspek kemanusiaan dan Hubungan Internasional.
Mengapa Aung San Suu Kyi diam?
Aung San Suu Kyi dikenal sebagai aktivis HAM dan Demokrasi, bahkan ia telah mendapat penghargaan nobel perdamaian karena perjuangannya. Namun ini ketika Aung San Suu Kyi berkuasa dan menjadi pemimpin di Myanmar, ia justru diam. Siti Rokhmawati Susanto Ph.D atau lebih akrab disapa Irma, pakar hubungan Internasional Universitas Airlangga menyatakan jika Aung San Suu Kyi diam artinya ia terlibat dalam genosida tersebut.
Irma menyatakan, Aung San Suu Kyi tersandera oleh kepentingan politiknya yakni keinginan konstituen atau rakyatnya. Karena propaganda militer, hampir mayoritas rakyat Myanmar mendukung kekerasan terhadap Etnis Rohingya karena dianggap mengancam Negara. Artinya Aung San Suu Kyi berperan dalam melanggengkan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
Kemana ASEAN dan PBB?
Irma sebagai pakar Hubungan Internasional melihat bahwa ASEAN terbelenggu dengan aturan yang dibuatnya sendiri, yakni prinsip non intervention. Artinya tiap Negara atau bahkan ASEAN dilarang ikut campur dalam urusan dalam negeri anggotanya. Namun di dalam kondisi yang mendesak dimana ribuan nyawa melayang, Irma menyesalkan ASEAN justru berlindung dibalik prinsip tersebut. Sudah seharusnya ASEAN bertindak lebih dan tidak hanya diam.
Sementara terkait PBB, upaya yang bisa dilakukan menurut Irma adalah Responsibility to Protect, yakni sebuah operasi militer dalam rangka mencegah jatuhnya korban jiwa. Namun Irma menilai upaya ini memerlukan kekuatan dan modal yang besar, sementara Negara-negara ASEAN sendiri belum mampu melakukannya.
Upaya apa yang dapat Pemerintah dan Rakyat Indonesia lakukan?
Muhammad Yusuf, relawan dari Lembaga Manajemen Infaq yang pernah meyalurkan bantuan hingga ke Rakhine menyatakan Indonesia memiliki kelebihan dari aspek filantropis. Yakni rakyat Indonesia punya solidaritas yang tinggi dan mampu menggalang dana yang cukup besar untuk membantu Rohingya. Sejak 2012 hingga hari ini, Yusuf mengatakan sudah lebih dari USD 5.000.000,- bantuan untuk Rohingya dari rakyat Indonesia.
Donasi tersebut, oleh lembaga-lembaga kemanusiaan dari Indonesia dipergunakan untuk pembangunan jangka panjang yang menjangkau sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Di aspek pendidikan telah dibangun 2 sekolah di Rakhine, sementara menyusul akan dibangun Rumah Sakit di sektor kesehatan dan Pasar di sektor Ekonomi.
Namun Yusuf menyayangkan, lembaga-lembaga kemanusiaan Indonesia cukup mengalami kesulitan untuk menyalurkan bantuan. Karena terkendala ijin yang berlapis dari Pemerintah Myanmar bahkan KBRI. Diawal bantuan masuk pada tahun 2012, KBRI cenderung mempersulit karena isu rohingya dianggap sensitif. Bantuan Rakyat Indonesia selama ini tertahan di Yangoon yang jaraknya masih 750 KM dari Rakhine. Bahkan karena bantuan tak bisa segera masuk ke Rakhine karena tertahan, banyak makanan yang membusuk.
Yusuf menilai antara lembaga kemanusiaan dan pemerintah perlu bergerak bersama-sama, lembaga kemanusiaan menggalang dana dan pemerintah melakukan diplomasi. Agar bantuan rakyat Indonesia bisa sampai dan tepat sasaran.
Sementara itu terkait upaya pemerintah selama ini, Irma menilai pemerintah cenderung reaktif menunggu terlebih dahulu konflik memuncak dan masyarakat mendesak. Seharusnya pemerintah lebih responsif tanpa menunggu jatuhnya korban jiwa mengingat politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Irma mengapresiasi langkah yang diambil Pemerintah melalui Menter Luar Negeri Retno Marsudi. Namun Pemerintah harus mengupayakan segala sumber daya secepat mungkin sembari mencari jalan apa yang paling efektif untuk membantu Rohingya.
Selain upaya filantropis dari Rakyat Indonesia, pemerintah perlu melakukan pendekatan sistemik melalui diplomasi bersama dengan ASEAN dan PBB. Sebab akar masalahnya adalah status etnis Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan sehingga kemanapun mereka pergi akan sulit dicari jalan keluar. Maka tugas Pemerintah Indonesia untuk terus berdialog dengan Pemerintah Myanmar agar memberikan hak yang sama terhadap Etnis Rohingya seperti yang lainnya.
Selain menyelaraskan antara donasi dan pendekatan sistemik melalui diplomasi, Pemerintah dan Rakyat Indonesia juga perlu memberikan contoh bagaimana Indonesia mampu hidup berdampingan dengan ragam suku dan agama yang berbeda. Perlu upaya mendekatkan kutub-kutub yang selama ini saling berbenturan dengan langkah yang konstruktif. Agar keadaan yang damai dan kondusif dengan dilindunginya hak etnis Rohingya dapat terwujud.
Selain itu baik Irma dan Yusuf, menghimbau agar Rakyat Indonesia menyalurkan kepeduliannya tidak dengan kemarahan hingga merusak. Namun kearah yang positif dan konstruktif, terutama dengan bantuan donasi yang jelas bisa mengembalikan kelayakan hidup etnis Rohingya. Yusuf melihat di lapangan jika selama ini kemarahan Rakyat Indonesia banyak dijadikan dalih pemerintah Myanmar untuk mempersulit masuknya bantuan. (ajq/smn)