SURABAYA (Suaramuslim.net) – Nilai tukar rupiah terus mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah terus tergerus hingga menyentuh 15 ribu per dolar AS.
Pada perdagangan pagi ini (04/10/18) rupiah menembus Rp 15.150 per dolar AS. Posisi ini melemah 125 poin dibanding posisi penutupan kemarin (03/10/18) di level Rp 15.075 per dolar AS.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya, seperti menekan impor dengan menaikkan pajak, hingga program energi terbarukan B20, untuk mengurangi impor minyak. Namun, belum terlihat tanda-tanda penguatan.
Rupiah Lampu Merah, Pemerintah Harus Jujur
Dr. Muhamad Nafik Hadi Ryandono SE., M.Si. Ketua Majelis Sarjana Ekonomi Islam dan Ekonom Universitas Airlangga Surabaya dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (03/10/18) menyatakan, pelemahan rupiah merupakan permasalahan bersama. Masyarakat juga tidak boleh apatis, karena pelemahan ini menyangkut hajat hidup banyak orang.
Kepanikan yang ditunjukkan masyarakat mengartikan ada permasalahan ekonomi yang serius. Dalam jangka panjang pelemahan rupiah seharusnya tidak terjadi, dolar yang mengalami apresiasi terhadap rupiah justru terus terjadi.
“Ini efek atas kebijakan instan yang diambil pemerintah, pelemahan rupiah terhadap apa pun merupakan sinyal yang kaffah (menyeluruh) perekonomian dalam kondisi memprihatinkan”, ucap dosen Fakultas Ekonomi ini.
“Saya heran banyak pengamat mengatakan jika perekonomian masih dalam kondisi baik. Jika itu benar pasti depresiasi tidak akan terjadi, karena depresiasi rupiah itu kan gejala dari perekonomian yang memburuk. Indonesia menganut perekonomian terbuka, jika mengalami pelemahan terhadap mata uang terkuat di dunia, artinya daya saing kita yang menurun“, papar Nafik.
Menurut Nafik, neraca perdagangan selama tahun 2018 cenderung mengalami penurunan. Ini menunjukkan ekspor lebih kecil dari impor, artinya daya saing ekonomi mengalami penurunan. Seharusnya, kata Nafik, untuk mengatasi kekurangan ekspor, pemerintah bisa melakukan ekspor kepada negara tujuan yang belum tergarap maksimal seperti Timur Tengah, Amerika Latin, serta Afrika.
“Ada dalih yang menyebutkan, pelemahan rupiah disebabkan pada kondisi eksternal. padahal jika fundamental ekonomi kuat, maka rupiah tidak terus menurun. Pemerintah mestinya jujur dengan kondisi ekonomi yang memburuk, agar masyarakat tidak apatis,“ jelas Nafik.
Warga Mengeluh
Satria seorang pengusaha yang berinteraksi dalam program talkshow Ranah Publik melalui sambungan telpon mengakui pelemahan rupiah justru menjadi permasalahan tersendiri bagi pengusaha yang bahan baku produknya impor.
Menurut Satria, otomatis harga bahan pokok mengalami kenaikan. Ini menyebabkan harga produk yang dijual naik. Sementara daya beli masyarakat sedang turun. Jika pengusaha ngotot menaikkan harga barang, pembeli akan menjauh. Pilihan akhir adalah pengusaha mengurangi kualitas barang.
Namun, Satria menyebut, kondisi ini kalau tidak dibenahi, akan memberatkan pengusaha. “Pada akhirnya pengusaha pun akan teriak dengan kondisi rupiah ini,” curhatnya.
Taufan dari Blitar, pendengar radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM yang bergabung melalui pesan WhatsApp menulis. Blitar adalah produsen pertama tingkat nasional penghasil telur. Terkait dengan naiknya dolar, menurutnya yang terdampak langsung dari pelemahan rupiah adalah peternak unggas secara umum.
Hal ini, lanjut Taufan, karena semua bahan baku jadi naik. Sebab semua hasil impor. Mulai dari bungkil kedelai, tepung daging, tepung tulang, dll. Bulan kemarin pakan ternak naik bahkan tiga kali dalam sebulan. Alasannya karena dolar naik. Sementara bahan baku bayar pakai dolar. Sementara harga telurnya dan daging malah turun, cerita Taufan.
Yang aneh, ujar Taufan, sudah tahu harga telur di dalam negeri murah, lha pemerintah malah impor telur. “Kan absurd sekali”, curhatnya.
Kebijakan yang tidak Efektif
Melalui sambungan telpon, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga dialami oleh beberapa negara lain.
Abra menyebut ada beberapa sebab antara lain faktor eksternal. Perekonomian AS sedang mengalami pemulihan, disamping itu Presiden AS Donald Trump punya misi untuk membangun Amerika lebih agresif, sehinga pertumbuhan ekonomi didorong dengan mengunakan isu nasionalisme dan melakukan ancaman perang dagang.
Saat ini, ujar Abra, posisi Indonesia masuk dalam 10 negara dengan nilai tukar yang terancam. “Bank Sentral Amerika atau The Fed masih menjadi ancaman Indonesia yaitu normalisasi suku bunga menjadi ancaman tersendiri, yang menyebabkan investor dari negara berkembang akan melakukan pelarian modal,” analisa Abra.
Dari sisi domestik, Abra menyebut fundamental ekonomi yang lemah, tercermin dari transaksi perdagangan. Kemampuan dalam memproduksi dolar lebih kecil dari menghasilkan dolar, yaitu nilai impor lebih besar dari ekspor.
“Meskipun banyak investor yang masuk ke Indonesia, akan tetap memiliki dampak negatif yaitu pendapatan primer masih defisit besar, karena sebagia besar keuntungan dari hasil investor asing dibawa kembali keluar dari Indonesia”, ujar Abra.
Bank Indonesia melakukan dua intervensi pada pasar uang dan obligasi agar nilai tukar rupiah bisa terjaga. Dua bulan terakhir devisa terkuras habis yang menyebabkan kemampuan Indonesia mensuplai dolar akan berkurang. “Upaya ini ternyata tidak cukup efektif,” pungkas Abra.
Abra menyebut, kenaikan suku bunga acuan secara gradual, padahal implikasinya otomatis berimbas pada suku bunga kredit perbankan, masyarakat akan semakin berat untuk melakukan kredit konsumsi dan pengusaha akan semakin berat untuk menjaga daya saing.
Sistem Bunga; Predator Perekonomian
“Jika kita belajar pada saat Amerika yang mengalami krisis tahun 1929 disebabkan membangun infrastuktur, tetapi kenapa perekonomiannya bisa membaik? Itu karena biaya yang dipakai bukan dari utang. Berbeda yang dilakukan Indonesia. Pembangunan infrastruktur merupakan jangka panjang, ia akan memiliki dampak jangka panjang, mestinya tidak dibiayai dari utang, karena utang itu memiliki jatuh tempo lebih pendek dari pada dampak positif infrakstruktur,” jelas Nafik.
Pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar untuk membangun infrastruktur. “Kenapa pemerintah tidak berpikir kembali pada budaya Indonesia yang bergotong royong dalam membangun infrastruktur dalam bentuk wakaf?” Tanya Nafik.
“Untuk itu dana utang harus dikurangi karena banyak sumber pendanaan yang tidak selalu berhutang, tetapi infrastruktur yang dibangun dana wakaf tidak untuk dikomersilkan,” sambung Nafik.
“Inilah kelemahan sistem perekonomian yang berbasis pertumbuhan, seharusnya berbasis sumber daya. Jika itu bisa dilakukan maka kita bisa mengukur keinginan pertumbuhan ekonomi dari sumber daya yang dimiliki,“ lanjutnya.
Nafik menyebut yang dilakukan Indonesia saat ini merupakan jebakan, karena untuk membangun infrastruktur, investor bisa dengan mudah memberikan persetujuan dengan syarat bunga yang tinggi. Resikonya tinggi juga.
“Dalam jangka panjang kita harus keluar dari jebakan ribawi, karena uang sebetulnya hanya pelumas perekonomian, bukan sebagai penggerak perekonomian”, tegas Nafik.
Reporter: Dani Rahmati
Editor: Muhammad Nashir