Ledakan bom yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu, membuatku langsung ditelpon sama mbakku (kakak perempuan), dia khawatir dengan proses hijrahku, takut belajar Islam dengan cara yang salah” (S A S).
Suaramuslim.net – Kehidupan jauh dari orang tua dan tinggal sendirian di kota metropolitan membuat setiap mahasiswa akan berpikir untuk menemukan persaudaraan baru, teman baru, perkumpulan baru dan segala hal kehidupan baru guna menunjang kehidupan selama di dunia perantauan.
SAS –nama inisial- 24 tahun, mengalami proses yang sama seperti mahasiswa kebanyakan saat harus berpisah dari orang tuanya, yakni memulai sesuatu hal yang baru. Saat perkuliahan dan harus hidup mandiri, salah satunya mencari tempat tinggal (kos).
Di Surabaya, SAS menemukan tempat tinggal di samping masjid Jendral Soedirman, entah kebetulan atau tidak, karena dari tempat inilah cerita tentang kehidupan baru SAS dimulai. Cerita saat ketertarikan untuk belajar Islam mulai tumbuh, atau yang sering disebut generasi era kekinian sebagai hijrah.
“Di masjid inilah (Jenderal Soedirman) saya sering mendengar kajian, mendengar ceramah-ceramah keislaman sehingga saya tertarik untuk belajar Islam lebih dalam” ujarnya.
Ketertarikan belajar Islam, membuatnya mulai ikut kajian di tahun pertamanya kuliah. Bermodal menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya, membuatnya bisa dengan mudah mengikuti kajian-kajian keislaman yang diadakan organisasi keislaman kampus.
Bagi SAS, mengenal Islam sebelum kuliah sebatas salat dan zakat, setelah ketertarikannya terhadap Islam mulai menggebu, dibumbui mendengar kajian Ustaz Arifin Ilham, kemudian banyak di media sosial seperti Line akun-akun dakwah membuat semangatnya semakin meningkat. “Saya semakin tertarik untuk datang ke kajian,” ceritanya.
Kehidupan Saat Kecil
“Saya tidak pernah ada riwayat pendidikan Islam, dari dulu sekolah negeri, saya salat di masjid pun hanya ketika Jumat saja, selebihnya salat di rumah, dan itu pun sering di akhir waktu,” kenang SAS.
SAS tidak pernah menikmati sekolah dalam lingkungan Islam, semua ditempuhnya dalam sekolah negeri, secara otomatis, ilmu agama yang diterimanya sangat kurang pastinya.
Semasa SMP, SAS merupakan pemuda yang cenderung pemalu, sesaat pulang dari sekolah jarang keluar rumah dan kebanyakan waktunya dihabiskan di rumah, hanya bila seorang teman datang ke rumah baru bermain.
Berbeda saat SMP, semasa SMA kebalikan dari SMP. SAS jarang pulang ke rumah, selalu beraktivitas, main, hingga sering pulang malam. Di sekolah, semua aktivitas organisasi semuanya diikuti, mulai ekstrakurikuler, kegiatan sekolah, tidak luput dari aktivitas kesehariannya.
Dari kesibukannya yang padat inilah SAS sering lalai dalam ibadah. “Bila waktunya salat sering seenaknya saja, di akhir waktu, dan lupa dengan aktivitas Islam,” kenangnya.
Jalan Hijrah dan Ketakutan Keluarga
“Saat ledakan bom yang terjadi di Surabaya beberapa waktu lalu, saya langsung ditelpon sama mbakku (kakak perempuan), dia khawatir dengan proses hijrahku, takut belajar Islam dengan cara yang salah,“ ujar SAS.
SAS masih mengenang dengan baik saat dia ditelpon kakaknya karena ketakutan yang luar bisa. Pasalnya sebelum kejadian bom, saat SAS pulang ke kampung halamannya untuk berlibur, keluarga SAS melihat perbedaan dari pribadi maupun pakaiannya.
SAS berjenggot, memakai celana cingkrang, beberapa kali menggunakan jubah. Hal ini yang membuat ketakutan dari keluarga terutama kedua orangtuanya.
“Ayah pernah bilang ke ibu, bila saya memakai jubah lagi, saya akan sobek-sobek” katanya.
SAS paham betul konsekuensi saat dirinya belajar Islam untuk mengamalkan sunnah, selain dari pihak orang tuanya, ia sering juga diguyoni teman kuliahnya karena perbedaan yang mencolok. “Jenggotnya tebal kayak kambing,” ucapnya sambil tertawa.
Namun hal itu hanya permulaan, setelah dari waktu ke waktu sudah mulai bisa menerima, bahkan orang tuanya sering tersenyum kepada SAS saat melihat anaknya menjadi baik.
Pemuda yang mengidolakan Ustaz Syafiq Basalamah ini semakin mantab dengan proses hijrahnya. Sering saat awal-awal dalam satu pekan ikut kajian hingga 16 kali, untuk belajar agama Islam.
“Satu pekan 16 kajian tak datangi, Senin sampai Kamis saya ikutnya Subuh dan Magrib kalau Jumat hingga Ahad saya ikutnya tiga kali bahkan,” kenangnya.
Selain itu, SAS menunjang belajar Islamnya dengan menggunakan media sosial. “Saya suka mendengarkan kajian, terutama Ustaz Arifin Ilham, saya download semua kajiannya sekitar 30 video kemudian saya ulang-ulang,” ucapnya.
Kini SAS sudah mantab memilih jalannya, setelah hijrah rintangan keseharian membuatnya tidak surut untuk belajar Islam lebih baik lagi, rintangan bergantinya teman lama dan mempunyai teman-teman baru yang sevisi menjadikannya istiqamah dalam hijrah.
“Teman saya yang dulu malu saat menghubungi saya, mungkin karena saya sering share di grup Line atau WA tentang keislaman, terkadang mereka menjauh dan tidak berteman lagi, namun kali ini saya mempunyai teman-teman baru yang selalu mendukung,” terangnya.
“Kalau sebelum hijrah selalu main-main tidak jelas, lebih sering buang waktu, kalau sekarang lebih suka ke kajian,” tambahnya.
“Pesan saya bagi teman-teman yang mau hijrah, jangan ragu, nanti kalau ada cobaan itu biasa, bila tidak ada cobaan itu yang aneh. Orang hijrah pasti diuji,” pungkasnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir