Suaramuslim.net – Bila insyaallah Prabowo-Sandi memenangi pilpres 2019, revolusi mental ala Jokowi yang tidak jelas maknanya, harus segera ditinggalkan. Selamat tinggal revolusi mental! Diganti dengan revolusi moral, atau katakanlah pembaharuan persenjataan moral (moral rearmament).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa hikmah atau wisdom adalah barang hilangnya kaum beriman. Maka tidak ada salahnya kita meminjam istilah yang digunakan oleh Frank Buchnan ketika Eropa sedang menuju Perang Dunia II. Masa itu negara-negara Eropa sedang gencar melakukan military rearmament, menggalakkan persenjataan militer.
Namun Buchnan mengingatkan bahwa moral rearmament jauh lebih penting. Menurutnya, “The crisis is fundamentally a moral one.” Selanjutnya, “The nations must rearm morally. Moral recovery is essentially the forerunner of economic recovery”. Dia juga menyampaikan penyehatan atau penyegaran moral akan melahirkan rasa percaya diri dan rasa persatuan dalam kehidupan, bukan melahirkan situasi krisis.
Immanuel Kant, filosof Eropa pada abad 18 masyhur dengan pendapatnya bahwa ada categorical imperative yang harus dimiliki umat manusia. Keharusan mutlak itu adalah sebuah prinsip moralitas yang mengarahkan tingkah laku manusia bermoral. Moralitas memungkinkan manusia untuk menentukan baik atau buruknya perilaku. Menentukan baik atau buruk adalah saripati moral. Dus, manusia, apalagi pemimpin yang tuna moral, sangat berbahaya.
Jadi yang bisa menentukan sebuah perilaku benar atau salah, baik atau buruk adalah moralitas. Bukan mentalitas. Saya yakin moralitas itu dalam bahasa agama adalah akhlak. Tanpa akhlak tidak mungkin manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang benar dan mana yang salah; mana yang hak dan mana yang batil; mana yang terpuji dan mana yang terkutuk; mana yang diridai Tuhan dan mana yang dibenci-Nya.
Akhlak adalah kemampuan manusia beriman yang sudah built-in (menyatu) dalam dirinya untuk kapan saja dan di mana saja membedakan yang haq dan yang bathil, mana yang termasuk hasanaat (kebaikan) dan mana yang tergolong sayyiaat (keburukan). Bahkan Nabi Muhammad SAW diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan makarim al-akhlak (nilai-nilai mulia dari akhlak).
Mungkin kedengaran terlalu dramatis bila saya katakan dewasa ini sebagai bangsa, kita telah kehilangan moral compass, kompas moral atau penuntun moral. Dengan sebuah kompas kita dapat mengetahui arah utara atau selatan, serta arah timur dan barat. Begitu pula dengan kompas Kakbah kita dapat mengetahui arah kiblat shalat kita, di mana pun kita berada di muka bumi ini.
Demikian juga halnya dengan kompas moral. Tanpa kompas moral kita jadi manusia bingung, tidak mampu lagi kita membedakan benar dan salah, mana yang moral dan mana yang immoral. Kehilangan kompas moral itulah musibah yang menimpa rezim Jokowi sekarang. Dan karena rakyat umumnya mengikuti jejak penguasa, maka terlalu banyak di antara kita yang ikut-ikutan bingung secara moral.
Kita diingatkan penyair Mesir, Ahmad Syauqi Bey, bahwa satu umat atau bangsa tegak berdiri bila akhlaknya kuat. Begitu akhlaknya hancur, hancur pulalah umat atau bangsa itu.
Kehilangan Kompas Moral
Berikut ini fakta-fakta tak terbantahkan bahwa masyarakat luas, terutama pemerintah, tidak lagi memiliki kompas moral itu. Tanpa kompas moral, kita bisa melakukan sesuatu yang sangat immoral, tetapi tidak menyadari apa yang kita kerjakan sesungguhnya sedang menenggelamkan integritas kita, martabat kita sebagai individu, bahkan sebagai bangsa. Sebabnya tentu sangat jelas, yakni kita sudah tuna, bahkan buta moral.
Apa saja bisa kita lakukan, termasuk mengikuti prinsip immoral, “tujuan menghalalkan cara”. Bila penguasa sebuah bangsa sudah tuna moral, maka penguasa itu bisa menjadi permisif, kelihatan bodoh tetapi arogan, kelihatan bingung tetapi dalam kebingungannya bersikap solipsistik, merasa benar sendiri, alias memborong kebenaran.
“Tidak ada kebenaran di luar kebenaran saya”, demikian posisi yang diambil kaum solipsis. Nabi SAW mengingatkan: “Bila engkau tak lagi punya rasa malu, maka lakukan apa saja sekehendakmu.”
Kita melihat begitu banyak mereka yang tergolong tokoh telah menjual diri secara murah pada kekuasaan. Mengganti posisi politik dan menjual prinsip semudah dan sesederhana mengganti kaos singlet. Lebih celaka lagi, penguasa yang dihinggapi solipsisme berkecenderungan kuat untuk memusnahkan kekuatan oposisi dengan segala macam cara.
Aku adalah Pancasila dan Pancasila adalah Aku. Mereka yang tidak seperti Aku, atau tidak mengikuti Aku adalah musuhku, musuh bangsa, musuh negara. Bisa juga akhirnya penguasa yang solipsistik akhirnya merasa menjadi sumber kebenaran. Prabowo-Sandi tidak boleh mengulangi kesalahan Jokowi-Kalla.
Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net