Suaramuslim.net – Tendangan terhadap sesajen, guna menghilangkan praktik kesyirikan, justru mendatangkan perkara yang memojokkan kaum muslimin.
Bagi pelaku, tendangan terhadap sesajen dipandang sebagai bagian dari ketaatan agama, namun implikasinya justru membuat dakwah Islam terhadang terhadap masyarakat yang lekat dengan kemusyrikan.
Musibah letusan gunung Semeru di Lumajang oleh masyarakat lokal dipandang sebagai amukan dari penguasa alam semesta sehingga mempersembahkan sesajen sebagai jalan keluar.
Oleh sebagian kaum muslimin, memberikan sesajen merupakan praktik kesyirikan yang hanya akan mendatangkan musibah baru.
Namun, Islam sendiri mengajarkan menendang sesajen merupakan bentuk cacian terhadap sesembahan, sehingga efeknya mendatangkan musibah yang lebih besar, yakni hinaan terhadap Allah dan perlawanan terhadap dakwah Islam.
Sesajen dan meniadakan musibah
Aksi seorang pria muda menendang sesajen pasca terjadinya musibah meletusnya gunung Semeru di Lumajang, menghebohkan dunia sosial.
Aksi pria ini dipandang sebagai bentuk tindakan yang merusak kepercayaan lokal. Bupati setempat juga menyerukan untuk mencari dan menangkap penendang sesajen itu. Polisi pun mencari dan berupaya menemukan pelakunya.
Bisa jadi apa yang dilakukan oleh pelaku didasari oleh spirit ketaatan. Dia berpandangan bahwa musibah gunung meletus yang terjadi karena perilaku syirik yang berkembang di tengah masyarakat. Alih-alih bertobat, masyarakat pun menyajikan sesajen sebagai bentuk persembahan kepada penguasa gunung agar meletus lagi.
Melihat sesajen sebagai simbol kesyirikan, seorang pemuda, Ketika melihat sesajen itu, langsung menendangnya. Peristiwa itu tersebar dan viral sehingga membuat sebagian masyarakat marah dan ingin menangkap pemuda itu.
Media pun ikut memviralkan aksi sang pemuda. Beberapa pihak pun mulai membuat pengaduan bahwa pemuda itu sebagai bagian dari perilaku intoleransi dan membahayakan hubungan antar agama. Namun Sebagian umat Islam juga khawatir bahwa dengan aksi itu, dikhawatirkan akan muncul cacian terhadap Allah karena adanya caci maki terhadap sesembahan.
Hal ini selaras dengan narasi Al-Qur’an. “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (Q.S. Al-An’am: 108).
Para ulama berijma’ (bersepakat) bahwa hukum asal memaki sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik itu disyariatkan, bahkan merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Namun Allah melarang perbuatan tersebut karena menghindari mudharat yang lebih besar.
Menghina dan mencaci sesembahan selain Allah, pada hakikatnya menghina dan mencaci Allah. Karena menghina sesembahan orang musyrik menyebabkan terjadinya penghinaan balik terhadap Allah.
Meskipun mencaci maki merupakan bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi hal itu menjerumuskan kepada kemungkaran yang lebih besar.
Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam untuk menjauhinya. Bahkan dengan mencaci berhala atau sesembahan, maka mereka akan melakukan kebodohan, yang justru menjauhkan dari Islam. Oleh karenanya, perbuatan itu dilarang dalam Islam.
Cacian dan penghadangan dakwah
Memang asal dari mencaci berhala itu merupakan amalan ketaatan dengan merujuk pada apa yang dikatakan Nabi Ibrahim.
“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Kitab (Qur’an), sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat membenarkan, seorang nabi, (Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat memenolongmu sedikit pun.” Dia (ayahnya) berkata: “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Q.S. Maryam: 46).
Kemarahan ayahnya, tidak menghentikan Nabi Ibrahim untuk melakukan penghancuran terhadap berhala-berhala. Aksi itu terdengar dan diketahui para penyembah berhala, hingga Raja Namrud memerintahkan untuk membakar Nabi Ibrahim.
Meskipun orang-orang musyrik mengetahui bahwa dirinya dan alam semesta diciptakan Allah, namun mereka memiliki kecenderungan untuk mempersekutukan-Nya. Mereka juga mengakui bahwa Allah yang membuka pintu rezeki hingga mencabut ajal mereka. Namun setan mendorong mereka untuk mempersekutukan Allah.
Perilaku lemah lembut untuk mendakwahkan agama yang lurus ini juga diperintahkan Allah terhadap raja kemusyrikan, rezim paling kejam dan begis, Fir’aun.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Thaha: 44).
Ibnu Abbas memperkuat pandangan tentang pentingnya lemah lembut ketika menjelaskan bahwa nabi merupakan rahmatan lil alamin. Menurut pandangannya, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat, dan siapa yang tidak beriman tidak ditimpa pembenaman dan musibah sebagaimana menimpa umat-umat terdahulu.
Sementara Ath-Thabari menegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang-orang beriman, menjadikan mereka beriman kepada-Nya dan menganugerahkan amal yang dapat memasukkan mereka ke dalam surga. Sedangkan orang-orang kafir, maka mereka ditangguhkan dari azab yang disegerakan (di dunia). Umat-umat terdahulu tertimpa azab ketika mendustakan rasul-Nya. (Jami’ Al-Bayan, Vol. XXVI hal. 369-441).
Dengan demikian, mencaci maki berhala atau sesembahan orang musyrik bukanlah prinsip ajaran Islam. Menendang sesajen merupakan perilaku yang menimbulkan kemudharatan bagi Islam, sehingga ada pihak-pihak tertentu yang ingin melakukan adu domba pada umat Islam.
Ketika adu domba melahirkan kekacauan, maka dakwah Islam pun akan terhadang. Kaum musyrik pun bukan hanya menjauh pada Islam, tetapi mereka justru berbalik melawan dan mencaci Allah dan Rasul-Nya.
Yogyakarta, 16 Januari 2022