Suaramuslim.net – Awalnya mereka saling mengagumi. Apalagi satu nama besar mempersaudarakan keduanya. Sampai akhirnya bentangan perbedaan membuat perkawanan disapu benci.
Peneman baru diterima Sukarno tiap bulan di Bengkulu, tempat pengasingannya sejak 28 Maret 1938 sepindah dari Endeh (Nusa Tenggara Timur). Pedoman Masyarakat, namanya, majalah keislaman yang berkantor di Medan. Awak redaksi yang digawangi Hamka mengirimkan majalah ini begitu mendengar Sukarno ditempatkan di Bengkulu. Di antara tulisan-tulisan yang termuat di pelbagai edisi Pedoman Masyarakat, buah pikiran Hamka menarik minat Sukarno. Sukarno sendiri tercatat sebagai salah satu kontributor di Pandji Islam, media Islam yang lain dari Medan.
Sebagai sosok yang piawai tulis-menulis, Sukarno mudah mengenali ciri khas tulisan seseorang. Salah satunya, yang menurutnya menarik, adalah Hamka. Tak perlu waktu lama, ia pun ingin mengenal lebih jauh sang penulis tersebut.
Di Bengkulu, Sukarno berinteraksi dengan Muhammadiyah setempat, organisasi yang juga secara de facto diikutinya. Beraktivitas di Muhammadiyah, membuatnya mengenal dekat Oei Tjeng Hien Kon, lelaki Tionghoa yang bertahunan kemudian tinggal di Tomang Jakarta dikenal sebagai Haji Abdul Karim Oei.
Dari Hien inilah hubungan dengan Hamka bermula. Maklum saja, Hamka merupakan pengurus teras Muhammadiyah di Sumatera ketika itu. Selain itu, Oei juga sama-sama berasal dari Padang Panjang. Kepada Hien, Sukarno bertanya seputar kepribadian, keahlian, dan pendidikan Hamka.
Sukarno mengenal sosok ayahanda Hamka, Haji Rasul. Sebagai pemuka kaum muda di Minangkabau, nama Haji Rasuk tidak mungkin luput dari perhatian Sukarno yang masa itu tidak menutupi dukungannya pada gerakan wahabi. Pemikiran yang diusung kaum muda di Minangkabau sendiri banyak yang sejalan—untuk tidak menyebut perpanjangan dari—gerakan wahabi yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab.
Lain halnya tentang anak Haji Rasul, Sukarno masih asing. Mendengar penjelasan Hien, muncul kekaguman dalam diri Sukarno. Untuk sekelas penulis karya-karya di majalah itu, tentulah Hamka lulusan sekolahan tinggi. Ketika dijawab bahwa sang penulisnya hanya keluaran pondok, Sukarno kian terkagum.
Pada Januari 1941, Hamka masih berada di Jawa, tepatnya di Yogyakarta dalam rangka menghadiri Kongres ke-30 Muhammadiyah. Hien juga turut di perhelatan yang sama. Titipan pesan dari kawannya pun disampaikan pada Hamka: agar ia bersempat singgah ke Bengkulu kala balik ke Medan.
Gayung bersambut, sudah lama Hamka hendak menjumpai Sukarno. Nama aktivis pergerakan nasionalisme Indonesia berumur 38 tahun ini jadi bahan pembicaraan di mana-mana. Keberanian Sukarno menentang penguasa kolonial Belanda didengar lama Hamka. Persuaan keduanya akhirnya terwujud pada Februari.
Hampir dua jam lamanya keduanya bercakap-cakap. Ada banyak topik yang diperbincangkan. Bila Sukarno dalam wawancaranya dengan penulis pertama biografi resminya, Cindy Adams (yang diindonesiakan menjadi: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 1966), tak sepatah kata pun mengungkapkan persuaan itu, Hamka menyebutkannya dalam autobiografinya, Kenang-kenangan Hidup II (terbit pertama pada 1951) dan biografi ayahnya, Ayahku (1950). Pada Ayahku, mereka dituliskan membahas penahanan Haji Rasul oleh Belanda.
Pengasingan Haji Rasul itu, menurut Sukarno, sudah pasti bakal dijalankan penguasa. “Saya hargai sikap Bung!” kata Sukarno pada Hamka. “Karena ketika di Jawa hanya menunjukkan kepada pemerintah, tempat mana yang sesuai hawanya dengan beliau.” Kondisi kesehatan Haji Rasul memang tidak bagus, salah satunya terjangkiti asma akibat kebiasaan merokoknya yang kuat.
Persuaan dua orang itu diakhiri dengan berfoto bertiga bersama Oei Tjeng Hien sebagai kenang-kenangan. Dan memang setelah pertemuan itu, Hamka dan Sukarno kian akrab. Terlebih lagi, beberapa tahun kemudian, Sukarno memandang Haji Rasul, ayahanda Hamka, seperti ayahnya juga; sebaliknya, Haji Rasul memosisikan Sukarno tak ubahnya sebagai anaknya pula.
Penghormatan amat besar Haji Rasul pada sang ibunda diketahui Sukarno. Seperti halnya Haji Rasul, Sukarno pun dikenal sebagai sosok memperlakukan penuh hormat ibunya. Tarwasa, ibu Haji Rasul, pada umur lebih dari 100 tahun masih mendapat pemuliaan dari sang anak. Bahkan, demi merawat sang ibu yang tengah sakit, ia menolak undangan mengisi pengajian di mana pun. Sehabis dari pengasingan di Bengkulu, Sukarno menyengaja datang menemui Tarwasa.
Saat Sukarno mendatangi Tarwasa, di luar sana pasukan Jepang merangsek masuk ke banyak tempat di Indonesia.