Suaramuslim.net – Awalnya mereka saling mengagumi. Apalagi satu nama besar mempersaudarakan keduanya. Sampai akhirnya bentangan perbedaan membuat perkawanan disapu benci.
19 Januari 1944. Dari jalur darat ke Lampung, Hamka menyeberang ke Jakarta. Panggilan untuk menjenguk ayahnya begitu kuat. Ke Jakarta Hamka sebenarnya mengemban misi lain dari para ulama di Minangkabau. Mereka meminta Hamka menjemput ayahandanya agar pulang ke kampung kelahiran selepas diasingkan oleh penguasa kolonial Belanda di Sukabumi. Permintaan banyak orang ini ditolak Haji Rasul. Alasannya, di Jawa dia bisa dengan mudah berobat, dengan dokter yang bisa diandalkan pula.
“Bagiku sama saja di antara tanah Jawa dan Minangkabau, atau dunia mana sekalipun. Tanah airku ialah setiap jengkal tanah yang di mana aku masih dapat mencecahkan keningku sujud kepada Tuhan,” jawab Haji Rasul.
Tentang waswas keluarga di kampung apabila dirinya meninggal dunia di Jawa, Haji Rasul menjawab, “Itu hanyalah waswas yang tidak berdasar ilmu dan tidak bertali dengan kemauan Allah.”
“Yang penting adalah suatu perkara, yaitu adakah tanah tempat kita akan dikuburkan itu, sudi menerima kita karena amalan kita yang saleh?” lanjutnya.
Merasa pendirian ayahnya sukar diubah, Hamka menyerah.
“Kecuali kalau keadaan telah aman kembali dan kapal bersilang siur dari Jawa ke Sumatera seperti dahulu, dan Ayah dapat pulang dengan usaha sendiri!” tambah ayahnya mengajukan syarat perkecualian.
Kehadiran Hamka di Jawa didengar kalangan pergerakan. Mereka berduyun-duyun bertamu ke rumah Haji Rasul. Kepada para tamu yang banyak di antaranya para pemuka bangsa ini kelak, Hamka meminta saran terkait ayahnya. Sukarno, Mohammad Hatta, dan Kiai Haji Mas Mansur berpendapat agar Haji Rasul tetap di Jawa saja.
“Ulama di Sumatera banyak, di Jawa kurang! Biarlah beliau tetap di sini!” Sukarno bersikeras suatu hari, sebagaimana dicatat Hamka dalam Ayahku.
Persoalan sang ayah memang bukan satu-satunya yang menggelayuti pikiran Hamka. Sebenarnya ada yang lebih membebani dirinya berkaitan dengan kedudukannya sebagai penasihat agama bagi penguasa kolonial Jepang di Sumatera Timur. Maka, di sela-sela memantau dan memotivasi ayahnya, Hamka manfaatkan kesempatan untuk mengobati bimbang yang menggelayutinya.
Mendapati perlakuan kolonial Jepang pada rakyat Sumatera Timur, sukar bagi Hamka untuk berdiam diri apalagi membenarkan. Pelecehan dan penindasan sudah terjadi di mana-mana. Bahkan sudah menyangkut pula soal agama. Masalahnya, masa itu ia telanjur masuk menjadi pihak yang percaya pada “kebaikan” Jepang.
Jepang dianggap pembawa harapan baru terbebaskannya Indonesia dari penjajahan. Janji-janji itulah yang membuat Hamka, yang mewakili kalangan ulama, percaya pada manfaat hadirnya Jepang. Di Jawa sana, kawan lamanya, Sukarno pun berputusan serupa, bahkan turut menjadi pemuka rakyat yang dirangkul Jepang untuk menggelorakan perlawanan pada pasukan Sekutu.
Gundah Hamka masa itu tak tertahankan. Di mata rakyat di tempatnya, ia dicap pembela dan penjilat Jepang. Kedekatannya dengan Tyokan Sumatera Timur mulai dirasakannya tidak efektif dalam membantu ketertindasan saudara-saudara sebangsanya.
Sampai akhirnya terbit gagasan untuk ke Jawa, tepatnya Jakarta, guna mendatangi Sukarno. Posisi mereka berdua sama di pihak Jepang. Memilih berjuang secara kooperatif, alih-alih konfrontatif, demi maslahat bagi rakyat, apa pun pandangan dan penilaian rakyat kebanyakan.
Di Jalan Pegangsaan Timur rumah Sukarno, Hamka menemui kawannya yang tujuh tahun lebih tua itu. Tak seperti kemampuannya yang piawai mengolah kata, kali itu Hamka seperti sukar mengeluarkan isi hatinya. Butuh waktu lama ia termenung. Tanya Sukarno pun tidak segera dijawabnya. Tiba-tiba Hamka mengeluarkan isi hatinya yang seolah membeku, berwujud puisi:
Pandanglah Aku, Pemimpin!
Pandanglah aku pemimpin
Cahaya harapan sinar seminar dari matamu
Pandanglah aku dengan matamu yang bulat tajam
Dilindungi alis yang tebal hitam
Membangkit ilham para pujangga
Pandanglah aku, pandanglah kami
Cahaya matamu
Gantungkan matamu
Gantungkan harap dari bangsamu
Yang engkau pimpin
Pandanglah aku, pandanglah kami
Kami insaf, Tuan pun sadar
Beratnya beban yang Tuan pikul
Sukarno terharu mendengar gubahan puisi Hamka itu. Seorang pelajar yang ada di ruang pertemuan itu menuliskan gubahan spontan tersebut, sementara Sukarno turut menyalinnya pula.
Karena Hamka dianggapnya sahabat, sekaligus anak dari sosok yang dihormatinya, Sukarno pun menumpahkan isi hatinya. Saat mengingat kejadian itu lewat Kenang-kenangan Hidup III, Hamka mencatat pernyataan dialognya dengan Sukarno.
“Seorang pemimpin hendaklah memandang jauh! Saya tidak pandai mengeluarkan perkataan yang tidak dari hati saya. Kalau saya membantu Jepang bukanlah semata-mata untuknya tetapi untuk kepentingan rakyat yang saya cintai sendiri. Dengan adanya peperangan, rakyat mesti pandai menyesuaikan dirinya dengan perang. Dia mesti bersemangat perang. Kalau dia tidak pandai menukar semangatnya, dia akan sengsara dan hancur. Hal yang seperti ini dapat membangkit suatu bangsa sehingga naik, tetapi dapat pula meruntuhkannya. Saya sudah ambil sikap mengambil pihak kepada Jepang!” terang Sukarno.
“Bagaimana kalau dia kalah?” tanya Hamka.
“Meskipun dia kalah, namun jiwa dan semangat rakyat kita, bukanlah semangat yang dahulu lagi. Yang kita tuju ialah kemerdekaan. Kalau Jepang menang, dia tidak boleh tidak mesti mengakui kemerdekaan suatu bangsa yang telah kokoh semangatnya. Dan kalau dia kalah sehingga Sekutu masih ke sini atau Belanda kembali, mereka pun tidak pula dapat lagi membelenggu semangat yang telah sadar. Menyadarkan semangat itulah kewajiban saya sekarang!”
“Kalau Jepang kalah, tentu Empat Serangkai dituduh penjahat perang dan akan dihukum mati atau dibuang semua,” sergah Hamka. Empat Serangkai dimaksud adalah tokoh-tokoh yang dipilih Jepang untuk memimpin Pusat Tenaga Rakyat. Mereka adalah Sukarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur.
“Jadi seperti itu tidak boleh menjadikan kecutnya seorang pemimpin. Pemimpin wajib bertanggung jawab dan berani menempuh pengorbanan untuk kepentingan bangsanya. Kalau Jepang menang kami terus pimpin bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dalam lingkungan Asia Timur Raya sebagai(mana) Laurel, U Bau Mau, Subhas Cendra Bose dan lain-lain. Dan kalau Jepang kalah kami menjadi korbannya, masih banyak lagi pemimpin yang lain yang akan menggantikan kami, di antaranya Bung sendiri yang akan tampil ke muka menggantikan kami dan mencapai kemerdekaan Indonesia menurut zamannya pula,” jelas Sukarno.
“Tidak ada bayang-bayang sedikit juga bahwa Jepang akan memerdekakan kita. Dia hanya meminta tenaga kita banyak-banyak, meminta Romusha, meminta Heiho, meminta Gyu Gun, tapi dia tidak memberi,” timpal Hamka membeda.
“Dan kita berkorban lagi dan kita berkorban lagi!”
“Tetapi rakyat tidak tahan lagi menderita.”
“Kita tidak boleh berputus asa! Di dunia ini banyak soal-soal besar yang cepat berubah, di luar dari pengiraan kita. Kita tidak boleh putus asa! Pemimpin tidak boleh putus asa!”
Kalimat terakhir Sukarno itu senantiasa diingat Hamka bertahun-tahun lamanya.
“Lihatlah, kehormatan bangsa kita sudah dipermain-mainkan oleh serdadu Jepang,” Hamka membuka soal lain. “Perempuan-perempuan yang telah dirusakkan kehormatannya. Gadis-gadis banyak yang jadi korban!”
“Pemimpin mesti berjiwa besar. Pemimpin tidak boleh melihat kerugian karena mencari keuntungan yang lebih besar. Untuk mengubah nasibnya, bangsa kita mesti menempuh kesengsaraan terlebih dahulu. Remuk hancur mana yang tidak tahan. Tetapi sejarah menyaring dan meninggalkan mana yang kuat. Itulah yang akan tinggal, untuk melanjutkan cita.”
Tukar pikiran dengan Sukarno membuka minda Hamka. Pendiriannya kian mantap. Langkah kakinya untuk kembali ke Medan lebih ringan, termasuk terkait ayahnya yang lebih maslahat tetap di Jawa.
“Sejak engkau di sini telah gemuk beliau, telah enak makannya,” jelas Dariyah, istri Haji Rasul yang dibawa ke pesaing dan setia merawatnya. “Tetapi yang dua hari ini agak terkucak sedikit,” tambahnya.
Memang, Hamka harus bersiap balik ke Medan. Kiranya berat di pikiran Haji Rasul hingga mengurangi minatnya makan.