Suaramuslim.net – Semenjak mewabahnya corona sebagai suatu pandemi, WHO menetapkan beberapa aturan protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan penularan wabah ini. Mulai dari membatasi mobilisasi manusia dalam suatu kota, membiasakan diri untuk mencuci tangan, memakai masker bagi setiap individu hingga menerapkan social distancing ataupun physical distancing.
Masyarakat diimbau menjaga jarak dalam interaksi guna menghindari penyebaran virus ini yang ditransmisikan melalui droplet saat seseorang sedang batuk, bersin atau mungkin pula saat bicara. Sehingga menjaga jarak aman serta memakai masker diyakini dapat mencegah penularan virus ini.
Apabila secara jujur kita cermati dalam interaksi sosial masyarakat di kampung-kampung atau di mana pun tempat, termasuk di pusat-pusat pembelanjaan, kita menjumpai ternyata mereka tidak sama sekali menerapkan protokol social distancing ini. Tidak ada jarak fisik dalam berinteraksi bahkan di pusat pembelanjaan dan pasar, masyarakat cenderung berdesak-desakan. Celakanya lagi, tidak ada orang yang berteriak dan protes atas kelonggaran jarak interaksi ini.
Hal ini tentu berbeda apabila terjadi di masjid. Bahkan di masjid yang para jemaahnya sudah bersih, berwudu, tidak hanya mencuci tangan namun bahkan membersihkan muka, tangan, hingga kaki, masih saja diatur secara ketat agar dalam menata shaf harus berjarak. Bahkan diskriminasi ini tidak berhenti sampai di situ, ternyata masjid masih pula dicurigai akan berpeluang menyebarkan virus ini.
Suatu keadaan yang tentu sangat kontras. Jika dalam realitas interaksi sosial kita tidak menerapkan social distancing secara disiplin, lalu mengapa di masjid kita masih saja membuat jarak shaf saat salat kita?
Anjuran tanpa keteladanan
Ketidakdisiplinan menjaga jarak tidak hanya terjadi di pasar, bahkan dalam interaksi sosial di ruang-ruang publik seperti di kantor, saat masyarakat berkumpul, dan berbagai tempat lainnya, aturan protokol ini tidak diindahkan dengan baik oleh warga masyarakat. Bahkan sikap yang meremehkan aturan protokol tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, melainkan juga ditunjukkan oleh para pejabat negara dengan tanpa keteladanan.
Perhatikan pada saat masa penerapan aturan PSBB berlangsung, masyarakat dilarang berkumpul, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Namun pada kenyataannya pemerintah sendirilah yang menampilkan contoh yang tidak teladan dengan mengadakan konser yang jauh dari aturan protokol sebagaimana yang ditetapkan dan diserukannya sendiri pada masyarakat.
Sebuah anjuran tanpa keteladanan. Hal ini menandakan sikap hipokrit yang terjadi dalam masyarakat kita pada semua level.
Sikap hipokrit ternyata tidak hanya terjadi dalam kasus social distancing, namun kejadian serupa banyak terjadi di banyak realitas sosial kita. Artinya sikap hipokrit dalam kasus social distancing hanya puncak gunung es dari realitas sosial kita, bahkan masih banyak sikap hipokrit lainnya yang ditampilkan masyarakat dalam banyak kasus.
Sebagai contoh, dalam bungkus rokok tertulis “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin.” Sementara produksi rokok terus berjalan bahkan dengan harga yang sangat mudah dijangkau. Bagaimana mungkin pada satu sisi melarang sementara di saat yang bersamaan mengajak orang untuk membeli. Hal ini adalah bukti hipokrit yang nyata.
Termasuk sikap hipokrit adalah pada saat masa kampanye banyak calon pemimpin saat itu yang menebar beribu janji namun pada kenyataannya jauh asap dari api. Masyarakat hanya diberi janji palsu untuk kepentingan pemilihan saja. Namun setelah mereka duduk dalam kekuasaan seakan melupakan semua janji tersebut.
Demikian pula pada saat para pejabat dilantik mereka bersumpah tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apa pun, mendahulukan kepentingan negara dan masyarakat daripada kepentingan pribadi dan kelompoknya, namun pada kenyataannya banyak dari mereka yang mengkhianati sumpah tersebut saat kekuasaan telah mereka dapatkan. Benarlah sabda Nabi saw bahwa:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada empat sifat siapa yang memilikinya menjadi seorang munafik sejati (sempurna),dan siapa yang memiliki sebagiannya maka ada padanya sebagian dari kemunafikan sampai dia meninggalkan sifat itu. Apabila diberi amanat berkhianat, apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia menyalahi, apabila bertengkar/berselisih ia curang.” (Al-Bukhari No. 89 dan Muslim No. 58).
Kasus social distancing adalah sebagian kecil dari fenomena sikap hipokrit masyarakat kita. Sikap hipokrit ini sejalan dengan ketidakdisiplinan kita dalam banyak hal. Sementara yang dibutuhkan dalam mengubah suatu keadaan adalah sikap keteladanan, konsistensi antara bahasa lisan dan bahasa tindakan. Sementara inkonsistensi antara ucapan dengan tindakan ini sangat dibenci Allah. Sebagaimana dalam Firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ. كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 2-3).
Artinya konsistensi ucapan dan tindakan, antara kebijakan dan keteladanan serta penegakan hukum harus menjadi perhatian penting hingga Allah harus turun tangan langsung. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan sebuah maksud perubahan adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan yang dijadikan sikap keteladanan dari seluruh masyarakat dari semua level sosial.