Soerabaia Tempo Doeloe “Hotel Mojopahit”

Soerabaia Tempo Doeloe “Hotel Mojopahit”

hotel majapahit - soerabaia tempo doeloe
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera Belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato (Mojopahit)

Suaramuslim.net – Satu lagi hotel di Surabaya tempo doeloe yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo yaitu “Hotel Mojopahit“.

Lokasi Hotel Mojopahit (Majapahit) terletak di jalan Tunjungan Surabaya dan termasuk hotel mewah bersejarah yang berada di sebelah selatan Varna Culture Hotel Soerabaia, atau di depan gedung Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan data yang ada, Hotel Mojopahit dibangun oleh Lucas Martin Sarkies, si raja hotel dari Iran pada tanggal 1 Juni 1910. Pada tahun 1900, Lucas Martin Sarkies membeli sebidang tanah seluas 1000 m² di jalan Tunjungan, untuk selanjutnya dibangun hotel mewah dengan arsitektur Art Nouueau Kolonial Belanda.

Pembangunan tersebut menghabiskan dana sebesar 500.000 gulden dan diresmikan pada tahun 1911 dengan acara yang sangat meriah. Nama “Oranye“, diambil dari nama pahlawan Belanda yang bernama Willem Van Oranye, dengan maksud untuk mengenang jasa-jasanya.

Di atas telah disampaikan bahwa Hotel Majapahit tidak dapat dipisahkan dari sejarah arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno per tanggal 1 September 1945 mengeluarkan maklumat bahwa bendera merah putih adalah bendera resmi negeri tercinta ini dan harus dikibarkan di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Namun pada tanggal 19 September 1945 tepatnya jam 9 malam, sekelompok tentara sekutu di bawah pimpinan W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda berwarna merah putih biru di tiang tertinggi Hotel Yamato (nama lain Hotel Majapahit), tepatnya di sisi sebelah utara. Keesokan harinya ribuan rakyat Surabaya yang mengetahui hal itu beramai-ramai memadati jalan Tunjungan dan berkumpul di depan hotel.

Residen Kota Surabaya bernama Sudirman masuk ke dalam hotel setelah menembus barikade massa dikawal oleh Sidik dan Hariyono. Tujuannya tak lain adalah meminta Ploegman menurunkan bendera merah putih biru dari puncak hotel.

Permintaan itu ditolak Ploegman yang malah mengeluarkan pistol bermaksud mengancam dan menunjukkan kekuasaannya. Suasana perundingan berlangsung alot dan memanas karena Ploegman tetap bersikukuh untuk tidak menurunkan bendera Belanda.

Sidik yang saat itu ikut berunding terlibat perkelahian lalu mencekik Ploegman hingga tewas. Sidik sendiri tewas akibat berondongan peluru dari senjata tentara Belanda yang mendengar letusan pistol Ploegman dari luar ruang pertemuan. Sudirman dan Hariyono berlari keluar hotel bergabung bersama ribuan rakyat Surabaya yang sudah mengepung Hotel Yamato.

Rakyat Surabaya yang mengetahui bahwa permintaan mereka ditolak malah semakin terbakar jiwa patriotismenya. Semangat pantang menyerah yang menjadi senjata andalan Arek Suroboyo kembali bergelora. Hariyono yang tadinya ikut perundingan kembali ke dalam hotel ditemani Kusno Wibowo. Mereka berdua menyusuri lorong-lorong yang ada di dalam hotel dan naik ke lantai dua. Mereka lalu memanjat tangga menuju ke tiang tempat bendera Belanda berkibar.

Dengan semangat dan jiwa patriotisme, mereka menurunkan bendera merah putih biru kemudian merobek warna birunya lalu kembali menaikkan bendera merah putih yang kembali berkibar dengan gagahnya. Teriakan “merdeka” pun menggema di langit Kota Surabaya demi mengobarkan semangat nasionalisme dan patriotisme warga Kota Surabaya yang dengan penuh semangat membalas teriakan “merdeka!”

Semua telah paham Bung Tomo merupakan penggerak dan pembakar semangat arek-arek Suroboyo untuk melawan tentara Sekutu, dengan pidatonya yang berapi-api disiarkan secara langsung dari Gedung RRI Surabaya. Dengan kalimat takbir, Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbar disertai kekompakan warga Surabaya, akhirnya sekutu menyerah.

Patut kita apresiasi, walaupun berganti pemerintahan baik sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan peruntukan Hotel Majapahit tidak berubah. Bahkan bentuk bangunannya tidak mengalami perubahan, seperti bentuk aslinya. Menurut manajemen hotel yang ingin ditawarkan kepada para tamu hotel adalah “kenangan”. Kenangan tersebut dapat kita lihat pada beberapa bagian hotel diantaranya adalah

  1. Suasana hotel yang dibuat seakan para tamu kembali ke masa yang lebih tenang dan sederhana disertai dengan keramahan para staf hotel. Kenangan yang menimbulkan romantisme masa lalu di masa kini bahkan sejak Anda check in di lobby. Ambience lobby terasa sangat cozy dan homy. Bergaya Art Deco, di mana detail ornamen-ornamen geometris sangat menonjol, tetap dipertahankan di sini dari tahun 1936 ketika lobby ini didirikan dalam ekspansi hotel saat itu.
  2. Pilar-pilar penopang yang ada di tengah ruangan dibuat cukup lebar dan dilapisi dengan kayu jati dengan sebuah aksen stain glass di tengahnya. Juga langit-langit di tengah dibuat lebih tinggi dihiasi chandelier besar, di sekeliling plafon dihiasi ukiran klasik.
  3. Jalur menuju kamar dibuat cukup unik, kita akan keluar dari lobby dan melalui sebuah selasar yang akan mengantar kita ke bangunan atrium. Sesungguhnya bangunan ini adalah bangunan lobby ketika pertama kali hotel ini beroperasi tahun 1910. Nuansanya tetap dipertahankan agar sama dengan 108 tahun lalu.
  4. Bangunannya terasa lebih klasik dengan jendela-jendela stain glass yang sangat besar, material kaca ini tampaknya memang mendominasi banyak bagian hotel, selain di area ini, kaca patri ini juga terpasang di antara pilar-pilar teras depan kamar. Dari sini terdapat dua jalur menuju ke bangunan kamar hotel, keduanya melalui selasar yang melewati taman.
  5. Terdapat tiga taman yang rindang dengan pepohonan besar yang dikelilingi kamar-kamar hotel, dua berukuran lebih kecil yang terletak di tengah, satu lagi taman yang cukup besar di bagian belakang.
    Posisi kamar yang mengelilingi taman ini, selain memberikan view indah, juga sirkulasi udara yang menyegarkan, dan dapat dinikmati baik dari balkon dan teras kamar hotel serta selasar-selasar di tengahnya.
    Selasar ini hanya dibatasi dengan pilar-pilar gaya bangunan kolonial Belanda, yang besar dan kokoh walau menopang hanya satu lantai bangunan di atasnya. Berjalan di sepanjang selasar sini membawa kita merasa berjalan kembali ke masa lalu, yang tenang dan romantis. Melalui selasar ini kita akan terhubung ke teras-teras di depan kamar hotel.

Demikian sekilas Hotel Majapahit. Sama seperti tulisan kami sebelumnya. Kepada semua masyarakat khususnya warga kota Surabaya untuk senantiasa merawat dan melestarikan bangunan yang bernilai sejarah.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai jasa para pahlawannya termasuk lokasi dimana dahulu pernah berkecamuk perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Semoga semangat patriotisme tetap terpatri di dada warga bangsa Indonesia umumnya dan khususnya warga kota Surabaya untuk mengisi dan melanjutkan pembangunan bangsa menuju masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera.

Oleh: Washil Bahalwan
Editor: Muhammad Nashir

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment