Suaramuslim.net – Al-Qur’an memberi dasar yang sangat penting tentang kemunafikan, sehingga kita bisa memahami penyakit paling berbahaya bagi orang beriman ini. Semua sahabat Nabi yang tiap hari bersama dengan Nabi saja, ketika Nabi wafat, mereka takut akan jadi orang munafik.
Munafik itu adalah nilai, karakter, cara bersikap, cara berpikir, bahkan sampai pada cara berbicara.
Sifat-sifat ini diterangkan beberapa kali dalam Al-Qur’an sebagai cerminan dari kelabilan mereka dan sebagai kewaspadaan untuk kita.
Nabi melarang kaum muslimin “menyanjung” orang-orang munafik karena bisa mengundang murka Allah sebab kerusakan yang bisa diakibatkan dari perbuatan mereka yang disanjung/support kaum muslimin.
Sifat munafik ini akan terus ada sepanjang sejarah umat Islam. Di antara surat yang banyak membahas tentang orang munafik adalah surah At-Taubah, hampir sepertiga isinya.
Secara momentum, surah At-Taubah bicara tentang perang Tabuk yang berisi manuver/makar orang munafik. Al-Qur’an menyingkap teori dan praktik mereka, bagaimana kemunafikan diperankan oleh aktornya pada masa Rasulullah masih hidup dalam perang Tabuk.
Nama surah At-Taubah, selain disebut Bara-ah (pemutus hubungan dengan orang musyrik), juga disebut Fadhihah (menyingkap tabir kebusukan kemunafikan dan orang-orang munafik).
Banyak sekali sifat buruk orang munafik yang dibongkar dalam surah At-Taubah, seperti keberatan berkorban (jihad), provokatif, hasad, lemah dalam syiar-syiar Islam, merendahkan Nabi, menghina ayat Allah, menganjurkan kemungkaran, dll.
Mereka juga selalu dalam posisi siap menjadi pendukung setiap musuh Islam, terutama strategi, informasi, dan opini (kasus Masjid Dhirar).
Menolak berjihad dan menghindari risiko
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, ‘Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu.’ Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.” (At-Taubah: 42).
Ini pelajaran besar untuk orang beriman, ketika ada tantangan sangat berat dalam perjuangan dan dia termasuk yang memenuhi kriteria, lalu menolak karena tidak mau ambil risiko. Ini jatuh pada sifat munafik. Padahal justru keuntungan yang lebih besar akan didapatkan jika mau ambil risiko.
Menunjukkan kelemahan tekad
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka, ‘Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 46).
Menjadi titik lemah dan sumber fitnah
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kamu, sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 47).
“Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk menghancurkanmu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.” (At-Taubah: 48).
Allah mengingatkan bagaimana kemunafikan bisa berperan karena ada di antara orang Islam yang menanggapi provokasi mereka, sehingga mereka semakin “besar” padahal aslinya kecil, sedikit, penakut.
Punya penyakit hati
“Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi perang),’ dan mereka berpaling dengan rasa gembira.” (At-Taubah: 50).
Cara untuk membuat orang munafik “kebakaran jenggot” adalah dengan merancang proyek kebaikan, buktikan sampai sukses!
Ini bakal membuat mereka gelisah, karena kebaikan bagi umat Islam adalah musibah bagi munafik. Tapi jika kita gagal/kesulitan, mereka dengan bahagianya berkata, “Ini bukti kami benar, makanya kan sudah kami peringatkan!”
Mereka pun berpaling gak ada empati dan peduli untuk meraih tangan umat Islam agar bangkit. Bahasa lainnya mereka berkata, “Rasain lu!”
Dalam hati mereka pun bahagia, senang karena melihat orang celaka, senangnya mendarah daging, bukan insidental, tapi menjiwai.
Merendahkan bobot perjuangan
Kaum munafik selalu memanfaatkan setiap celah untuk memprovokasi, nyinyir, dan merendahkan nilai pengorbanan dan perjuangan kaum mukminin.
Kaum munafik merendahkan sahabat Anshar yang hanya sanggup menyumbang satu sha` kurma. Di sisi lain, mereka juga menghina Ali bin Abi Thalib yang tidak berangkat ke Tabuk karena ditugaskan Rasulullah untuk mengurus seluruh anggota keluarga beliau.
“(Orang-orang munafik itu) mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (At-Taubah: 79).
Mengenai Ali, orang-orang Munafik mengembangkan opini provokatif dengan menyatakan bahwa Ali sengaja ditugaskan tinggal di Madinah karena Rasulullah hendak melindunginya dari risiko perang.
Ali tentu tidak terima. Ia sempat menyusul Rasulullah di Juruf, sekitar 5,5 km di luar Madinah, dengan membawa persiapan lengkap untuk ikut perang. Rasulullah menenangkan Ali dan tetap memintanya bertahan di Madinah.
Kelompok provokator
Kelompok ini jelas bukan orang sembarangan. Pasti mereka punya kemampuan memengaruhi, bergerak dalam tim dan bahkan ada markasnya.
Sebagian kaum munafik membentuk kelompok yang aktif memprovokasi masyarakat Madinah agar tidak berangkat ke Tabuk. Kelompok ini bermarkas di rumah seorang Yahudi bernama Suwailim. Jadi kaum munafik bukan hanya orang Arab/Madinah tapi juga dari Bani Israil/Yahudi.
Rasulullah menindak tegas kelompok provokator ini. Beliau membentuk tim dipimpin Thalhah bin Ubaidillah untuk membubarkan mereka dan membakar rumah Suwailim.
Kelompok Abdullah bin Ubay
Abdullah bin Ubay bersama sejumlah kaum munafik berpura-pura melakukan persiapan. Mereka mendirikan tenda-tenda di dekat Jabal Dzubab, masih di dalam kawasan pemukiman Madinah, sebelum pasukan muslim berangkat.
Sementara Rasulullah bersama pasukannya berkemah di sekitar Tsaniyyat al-Wada` di luar kawasan pemukiman.
Ketika pasukan muslim bertolak meninggalkan Madinah, Abdullah bin Ubay dan kelompoknya tetap bertahan di tenda-tenda mereka dan sengaja tidak berangkat. Mereka inilah yang menghadap Rasulullah saat kembali ke Madinah, menyampaikan berbagai alasan yang diperkuat dengan sumpah berat.
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat untuk berperang di tengah panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka jahannam itu jauh lebih panas,’ jika mereka mengetahui.” (QS at-Taubah: 81).
Allah membongkar kesengajaan orang-orang yang tidak ikut berangkat dengan diksi “fariha” (bahagia). Mereka bahagia dengan tidak ikut berperang dan tidak mau ambil risiko berjihad harta dan jiwa. Beralasan dengan kondisi puncak musim panas, tapi Allah mengancam bahwa api neraka Jahannam lebih dahsyat panasnya.