Suaramuslim.net – Pasien positif virus corona (Covid-19) terus bertambah. Hingga Senin 23 Maret 2020, sudah ada 514 masyarakat yang dinyatakan positif. Dari 514 tersebut, 48 sudah kehilangan nyawa. Indonesia pun menduduki peringkat atas dalam kasus kematian akibat Covid-19 di dunia.
Menurut Achmad Yurianto, juru bicara kasus satgas Covid-19, jumlah pasien positif akan terus bertambah. Kemungkinan besar hingga Apil-Mei mendatang. Hal ini disebabkan karena cuaca sedang berada dalam kondisi lembab yang memungkinkan penyebaran virus terjadi sangat cepat.
Mengantisipasi hal demikian, beberapa kalangan membuat hastag dan mengimbau tetap di rumah saja. MUI mengeluarkan fatwa, pemerintah, penceramah, dan selebritas tanah air membuat imbauan agar masyarakat tetap tinggal di rumah.
Sayang, tidak semua gayung bersambut, rupanya imbauan tersebut tidak sepenuhnya mempan. Masih banyak tempat rekreasi yang ramai, cafe warung kopi pun masih berjejer dengan gelas-gelas masyarakat yang cangkruk.
Seperti dalam sebuah video yang viral di Surabaya, beberapa waktu lalu polisi menggrebek dan memaksa pulang puluhan pemuda yang lagi santuy cangkruk. Dengan gaya santuy-nya mereka masih tertawa lepas dan tidak takut sama sekali dengan Covid-19.
Sifat masyarakat Indonesia
Dalam hal imbauan, masyarakat Indonesia memang terkenal susah-susah gampang. Saya mengalami sendiri saat melihat dan banyak berbincang dengan masyarakat.
Ceritanya, kemarin lusa, saat santuy di rumah, ndilala, ada saudara jauh yang mampir ke rumah. Satu mobil, lengkap dengan saudara-saudara yang lain. Saat ditanya, ternyata mereka mau rekreasi di sebuah pantai utara Jawa.
Apa tidak takut Covid-19? “Ya nek kenek yowes takdir (ya kalau terkena ya sudah takdir),” begitu ucapnya. Saya sendiri sampai manggut-manggut dan mengerutkan kening kepala.
Jika yang ngomong seperti itu abang ojol, pedagang keliling, dan mereka yang harus bekerja di luar rumah saat wabah ini menuju puncaknya, mungkin masih dipahami. Nah, saudara di atas yang mempunyai kesempatan dari kantornya dan anaknya yang diliburkan sekolah untuk kerja dari rumah apa tidak dimanfaatkan?
Hal itu tidak terjadi pada saudara saya saja, sudah banyak berita yang beredar, dari rekreasi pantai yang ramai, warung kopi yang full pengunjung, dan tempat ramai lainnya yang tidak juga sepi dari pengunjung.
Sikap ngeyel dan “pasrah” takdir tanpa ikhtiar ini masih saja menjadi sifat masyarakat Indonesia. Bagi mereka, takdir adalah sesuatu akan terjadi dan tidak dapat diubah. Dalam bahasanya selalu nerimo ing pandum.
Terawang Mochtar Lubis
Beberapa tahun silam, Mochtar Lubis, seorang wartawan dan sastrawan dalam karya monumentalnya “Manusia Indonesia” pernah membuat daftar sifat-sifat masyarakat Indonesia. Salah satunya masyarakatnya sangat percaya dengan hal tahayyul.
Tahayyul mungkin bahasa agama yang masih percaya akan animisme dan dinamisme, namun dalam pengertian luas, masyarakat Indonesia sangat percaya takdir saat nerimo ing pandum tanpa mau berusaha keras mengubahnya.
“Terkena Covid-19 ya takdir, tidak kena ya takdir.” Begitu kira-kira dalam benak masyarakat yang masih keluar rumah tanpa kepentingan yang penting.
Lebih jauh, sebenarnya takdir ada dua macam. Takdir yang tidak bisa dirubah dan takdir yang bisa dirubah.
Pertama takdir tidak bisa diubah, takdir ini sudah ketentuan Tuhan, walau dengan usaha paling sungguh-sungguh sekalipun dari manusia. Contoh kematian, jenis kelamin, matahari terbit dan lain sebagainya.
Kedua kebalikannya, takdir bisa diubah. Takdir ini bisa diubah bergantung pada usaha atau ikhtiarnya. Contoh kesehatan, kecerdasan, keahlian dan lain sebagainya.
Saya kira pencegahan Covid-19 ini adalah takdir yang bisa diubah. Mungkin saja seseorang akan terkena Covid-19 jika dalam keseharian dan aktivitasnya, dirinya masih sering keluyuran, tanpa masker, dan mendekati tempat-tempat yang terindikasi peyebaran virus.
Mungkin saat ini jika Mochtar Lubis masih hidup, dia akan tertawa geli melihat masyarakat Indonesia yang masih saja mempercayai takdir tanpa bisa diubah, terlebih masyarakat Indonesia yang tidak mau berusaha.
Ingatlah kata Umar bin Khattab ketika tidak jadi masuk ke Syam karena wabah dan ditanya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah kenapa kembali ke Madinah, “Kami lari dari takdir Allah untuk menuju takdir Allah yang lain.”
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net