Suaramuslim.net – Tawakal erat kaitannya dengan sifat Allah SWT yaitu Al-Mutawakkil. Berasal dari kata Al-Wakiil yang artinya Dzat Yang Maha Mewakili. Jadi, dengan bertawakal, sebenarnya kita mewakilkan diri kita kepada Allah SWT. Allah menjadi wakil kita, itulah tawakal. Ini bukan dalam pengertian wakil dan ketua. Karena tidak mungkin posisi Allah sebagai Dzat Yang Maha Menciptakan, berada di bawah posisi makhluknya.
Kalau kita mewakilkan diri kita kepada Allah SWT untuk membereskan suatu urusan, untuk menetapkan suatu urusan, itu bukan berarti Allah menjadi pesuruh kita. Namun, kita mempercayakan kepada Allah SWT keputusan atas jerih payah yang telah kita usahakan. Karena itu, tawakal adalah sebuah proses keyakinan hati kita untuk menyerahkan segala urusan kita kepada-Nya, setelah kita melakukan usaha yang maksimal.
Bayangkanlah, yang kita wakilkan menyelesaikan segala urusan kita itu siapa? Allah. Dia Yang Maha Kaya (Al-Ghaniyy), Yang Maha Kuasa (Al-Qadir), Yang Maha Mengatur (Al-Mudabbir), Yang Maha Tinggi (Ar-Rafi’), Yang Maha Memuliakan (Al-Muizz), Yang Maha Luas (Al-Wasi’). Dahsyat! Itulah kehebatan yang menjadi sandaran orang-orang yang beriman.
Dalam Al-Quran, banyak ayat yang berbicara tentang jenis-jenis tawakal kepada Allah SWT. Ketika Perang Badar, saat pertemuan antara kaum Muslimin dengan kaum musyrikin di medan perang yang berbeda jumlah-kaum kafir lebih besar jumlahnya-Rasulullah SAW tetap memotivasi para sahabatnya, kemudian menyerahkan segalanya kepada Allah SWT.
(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu. Karena itu, takutlah kepada mereka”; ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami, dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173).
Orang-orang yang tawakal adalah mereka yang siap menghadapi kenyataan. Mereka bukan penakut, bukan pula orang-orang yang khawatir dalam menjalani hidupnya. Di hatinya telah terpatri kalimat, “Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir,” kalimat yang bisa menjadi pendorong semangat dan optimisme dalam menghadapi semua masalah.
Bagi orang-orang yang bertawakal kepada Allah, tak ada kata kalah dalam berjuang. Tak ada kata menyerah dalam menjalani kerasnya kehidupan. Menang ataupun kalah, mereka tetap merasa dirinya bermanfaat. Menang atau kalah bukan menjadi ukuran karena Allah melihat proses perjuangannya, keyakinannya, bukan hasil dari jerih payahnya. Kita hanya wajib berusaha, setelah itu serahkan hasilnya pada takdir Allah SWT.
Kalau dilihat dari ukuran kacamata manusia, Nabi Ibrahim mungkin kalah dalam berdakwah karena beliau disiksa dan dibakar. Namun, Allah justru menganggap Ibrahim ini menang. Perjuangan dan pengorbanan Ibrahim menjadi inspirasi dan penyuntik spirit bagi para pejuang dakwah di sepanjang zaman, untuk tidak kenal lelah dan takut memperjuangkan yang haq.
Itulah momen kemenangan sejati yang terukir selama beribu-ribu tahun lamanya. Meski ada nabi yang terbunuh, Nabi Zakariya dan Nabi Yahya misalnya, tetapi Allah melihat upaya dan perjuangan mereka sehingga kematiannya bukanlah hal yang sia-sia. Orang yang bertawakal pasti akan menang dalam catatan Allah SWT.
Sahabat nabi ada yang bernama Zaid bin Datsinah. Dia terbunuh akibat siksaan kaum Quraisy di Makkah, syahid di jalan Allah. Ketika sedang sekarat, dia justru mengatakan, “Aku terbunuh ini bukan berarti aku kalah. Demi Allah, aku justru mendapatkan kemenangan.”
Ada juga kisah Ashaabul Ukhduud. Seorang pemuda dibunuh. Namun, dengan kematiannya, justru menyebabkan berimannya ribuan rakyat yang menyaksikan bagaimana seorang pemuda ini mati di tangan raja zalim. Begitulah buah dari tawakal yang dilakukan oleh para hamba Allah yang pemberani. Jasadnya mungkin mati berkalang tanah, tetapi semangatnya menyemai terus menyirami tunas-tunas muda generasi selanjutnya.
Tawakal adalah Kecerdasan Spiritual
Tawakal adalah suatu bentuk kecerdasan spiritual. Hanya orang-orang yang beriman dan yakin kepada Allah lah yang bisa bertawakal. Seperti kisah Ibunda Musa yang menghanyutkan Musa kecil di sungai Nil dalam sebuah peti (tabut) karena khawatir kelahirannya diketahui oleh aparatur Fir’aun yang tidak membolehkan kelahiran bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil.
Karena ketaatannya pada perintah Allah SWT, ibunda Nabi Musa menghanyutkan putra tercintanya, kemudian bertawakal atas apa yang kelak terjadi pada anaknya. Begitu yakinnya sang ibu akan perintah Allah ini sehingga akhirnya Nabi Musa selamat, dan Allah mengembalikan Musa ke pangkuannya kembali.
Allahu Akbar. Ibunda Musa mengajarkan kita untuk memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah, Penguasa Langit dan Bumi. Bahwa kita akan kuat, jika ada Allah bersama kita. Percayalah!
Inilah kekuasaan Allah bagi orang yang yakin dengan pertolongan-Nya. Jika kita yakin, Allah akan ganti semua jerih payah kita, ketaatan kita, kepasrahan kita, dan sebagainya. Ketika kita mendapatkan kesulitan, kehilangan barang, kehilangan jabatan; kalau kita yakin bahwa itu adalah keputusan yang terbaik dari Allah, pasti Allah akan memberikan ganti.
Ini juga sama dengan firman Allah yang ada dalam surah Ath-Thalaaq (65) ayat 3, Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya.
Melaksanakan urusan-Nya dengan menyampaikan semua hajat yang dibutuhkan oleh orang yang bertawakal sampai pada tujuan yang dikehendaki.
Sikap tawakal akan mengikis pesimisme dalam hidup. Sebagai orang Islam, kita tidak boleh pesimis karena kita diajarkan untuk senantiasa memiliki sifat optimis. Ketika para pengikut Nabi Musa merasa terpojok karena dikejar-kejar oleh pasukan Fir’aun, Nabi Musa sebagaimana disebutkan dalam Asy-Syu’araa (26) ayat 62 justru mengatakan, “Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepada-Ku.”
Proses seseorang bisa tawakal itu tentu diawali dengan pembentukan karakter yang yakin terhadap kekuatan dan kebesaran Allah SWT. Orang yang tidak beriman kepada Allah, sulit untuk diajak tawakal. Bagi orang sekuler, segala perbuatan kita yang menentukan adalah usaha kita. Namun bagi orang yang beriman, kita berusaha berbuat semaksimal mungkin untuk kebaikan, tetapi takdir Allah jualah yang akan menentukan akhirnya.
Sifat dari karakter tawakal yang ada pada diri seseorang, setiap efek dan pengaruhnya, menunjukkan bahwa seseorang amat yakin dirinya tidak sendirian dalam menyelesaikan urusannya. Dia merasa ada yang membekingi. Ada kekuatan maha besar yang berada di luar dirinya yang dapat menyelesaikan segala urusannya, yang menurut ukuran manusia tidak bisa diselesaikan.
Karena itu, orang yang bertawakal kepada Allah memiliki hati yang lapang. Memiliki keyakinan yang berbeda dari yang dialami oleh orang-orang kafir. Orang yang bertawakal dalam segala urusan, akan merasa ada pengharapan dari Allah SWT. Ada janji yang sudah disediakan oleh-Nya dan pasti ditunaikan-Nya. Bedanya kita dengan orang kafir dalam berjuang, mereka tidak dapat apa-apa meskipun terlihat menang. Namun kita, umat Islam, masih dapat harapan dari Allah SWT walaupun dalam pandangan manusia terlihat kalah.
Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa: 104).
Korupsi Karena Tidak Bertawakal
Orang yang melakukan korupsi adalah mereka yang tidak bertawakal kepada Allah dalam urusan rezeki. Mereka tidak menempuh cara-cara halal dalam meraihnya. Orang-orang seperti ini sejatinya adalah para pecundang, orang-orang yang pesimis, orang-orang yang sempit hatinya, dan tidak menyerahkan urusan takdirnya kepada Allah SWT.
Orang-orang yang bertawakal kepada Allah akan menebarkan nilai-nilai yang baik kepada masyarakat yang ada di sekitarnya. Mereka akan menjadi contoh dan teladan sebagaimana Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Asbabul Ukhdud, dan sebagainya. Mereka ini menghidupkan semangat orang untuk menjalani kehidupan bahwa masih ada kekuatan yang maha dahsyat, yang menentukan setiap urusan kita.
Kita boleh merasa miskin karena bersama kita ada Allah Yang Maha Kaya. Kita tidak boleh merasa lemah karena kita ada Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Kalau kita maknai semua sifat Allah, kita tidak akan pernah merasa lemah.
Kita harus senantiasa mu’ayasah kepada Allah. Mu’ayasah ini artinya hidup bersama Allah. Hidup bersama Allah itu sudah paling nikmat, paling mencukupi, dan paling membahagiakan. Kalau kita mengandalkan hidup kepada selain Allah, kita akan selalu diliputi kekecewaan.
…”Cukuplah bagiku Allah, bahwa tiada Tuhan selain Dia, kepadanya aku bertawakal dan Dialah Rabb yang memiliki Arsy (singgasana) yang agung.” (QS. At-Taubah: 129).