Suaramuslim.net – Sepintas judulnya mirip novel laris karangan Buya Hamka. Novel Hamka diangkat ke layar bioskop pada tahun 2013. Kala itu, saya menonton film ini bersama Abdul Kadir Jailani Pulungan dan Alvan Fathony. Dalam film ini muncul sosok Aziz, pria dari kalangan berduit yang berhasil menikahi Hayati. Walau menyandang nama “Aziz” tapi bobrok sekali perangai dan perilaku suami Hayati ini.
Di dunia nyata, saya punya murid bernama Aziz. Ia asal Larantuka, NTT. Di kelas 8 ia murid paling tawadhu kepada guru. Ia juga pribadi yang amanah jika dititipi pesan dan barang.
Masih terkait Aziz, pekan ini warganet dikejutkan dengan Abdul Aziz. Beliau dosen yang mengulas pemikiran Dr. M. Syahrur asal Suriah. Yang diulas adalah konsep Milkul Yamin Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital.
Intisari disertasi Abdul Aziz membuat sejumlah tokoh ternama mengritik tajam dan tokoh lainnya membelanya. Prof. Dr. Yunahar Ilyas, Dr. Mukhlis Hanafi, Dr. Miftah al Banjary, Dr. Zaitun Rasmin hingga Tuan Guru Bajang (TGB) termasuk yang mengritik tajam.
Peneliti LIPI, Amin Mudzakkir dan mantan rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat termasuk yang membela. Sementara itu, pihak penguji, promotor dan Rektor UIN Yogyakarta menggelar konferensi pers pada Jumat (30/8/2019). Hasil konferensi pers tak sepakat akan disertasi Aziz.
Apa yang ditulis Aziz ini berdampak pada reputasi dirinya dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Aziz digelari “duta mesum Indonesia.” Bagaimana dengan UIN Yogyakarta? Stigma sebagai kampus liberal belum pudar.
Harap diketahui pembaca, pada era kepemimpinan Prof. Yudian wahyudi, UIN Yogyakarta pernah mengeluarkan larangan mahasiswinya mengenakan cadar. “Secara Islam boleh, tapi ada aspek apa sehingga UIN melarang. Kita dengar dulu alasannya apa,” kata KH Ma’ruf Amin semasa menjabat Ketua MUI.
Kembali kepada Aziz dan disertasinya. Syahrur yang diangkat pemikirannya ini tergolong tokoh Liberal di Suriah. Bukan ulama tetapi berlatar teknik sipil. Semasa kuliah di Fakultas Syariah UIN Malang, nama ini saya dengar pertama kali dalam mata kuliah “Pemikiran Modern dalam Islam”. Kebetulan kelompok saya mendapat tugas menulis makalah tentang teori limit M. Syahrur.
Di Timur Tengah, Syahrur satu-satunya yang tak terusir dari tanah airnya. Dr. Mohammad Arkoun, Aziz Azmeh hingga Nasr Hamid Abu Zayd hengkang dari tanah airnya karena pemikiran liberalnya. Ada pula yang akhirnya mati digantung seperti Mahmoud Muhammad Thaha (tahun 1985) dan yang terbunuh seperti Farag Faoda (tahun 1992).
Tentu nasib Abdul Aziz tak seperti Arkoun. Ia takkan terusir dari NKRI apalagi di hukum gantung. Posisinya aman-aman saja sebagai dosen di IAIN Surakarta. Komentar pedas dan hujatan kepada diri dan keluarganya mungkin bersifat sementara.
Namun Abdul Aziz lupa satu hal. Beliau ini dalam analisis Kholis Firmansyah S.H.I, M.Si: “Meraih doktor dengan tulisan kontroversi” yang dapat menyebabkan masyarakat awam salah paham. Pantaskah menyandang gelar doktor? Di mata masyarakat, apalah arti gelar mentereng jika reputasinya tercoreng. Serupa dengan kapal Van der Wijck, reputasi Abdul Aziz sudah tenggelam. Wallahu a’lam.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net