Suaramuslim.net – Di antara dua kekuatan yang saling mencurigai satu sama lain; Amerika dan Cina; kita berdiri sebagai penonton yang terlalu sibuk menggeser layar ponsel untuk sadar bahwa panggung itu sebenarnya sedang bergerak ke arah kita.
Dulu, candu adalah benda yang dapat disentuh, dihirup, dibakar. Kini ia menjelma menjadi bayang-bayang yang berkelebat cepat: video pendek, musik potong, tari yang tidak selesai, pendapat yang tak utuh. Candu yang tak berbau, tapi menuntun jari untuk mengulangnya lagi.
Cina pernah dijatuhkan oleh opium Inggris. Ia belajar sesuatu dari perih itu: bahwa bangsa bisa dihancurkan bukan dengan peluru, tapi dengan pelupa. Ia kemudian membangun pagar tinggi: Baidu menggantikan Google, Weibo menggantikan Facebook, Douyin menggantikan TikTok. Dunia digitalnya berdiri sendiri dengan kesadaran yang dijaga sebagai milik negara.
Amerika tidak mengizinkan itu menjadi senjata yang diarahkan kepadanya. TikTok dianggap alat intelijen, dan publik disuruh percaya. Tapi ironinya, sasaran terbesar bukan bangsa yang mencurigainya, melainkan bangsa yang tak sempat curiga: kita.
Indonesia menjadi pasar paling telanjang. Kita mengizinkan algoritma membentuk selera, keinginan, bahkan imajinasi anak-anak kita. Apa yang dulu kita bangun dengan pelan; tauhid, adab, akal yang jernih; kini bersaing dengan jutaan potongan hiburan yang melintas lebih cepat dari nasihat mana pun.
Mungkin inilah kolonialisme tanpa kapal. Ia tidak datang dari pelabuhan, tidak membawa panji. Ia datang sebagai rekomendasi, autoplay, dan kebiasaan kecil yang tak kita sadari.
Apa yang bisa kita lakukan? Tidak banyak. Mungkin hanya memperlambat arus dengan cara sederhana: memilih apa yang kita tonton, karena pilihan itu menetes ke rumah, ke anak-anak yang berbagi Wi-Fi dengan kita.
Sisanya, mari kita lanjutkan ke ruang yang lain: ruang percakapan, ruang refleksi. Di sana, kita bisa melihat apa yang terselip di balik layar, kadang lebih jujur daripada layar itu sendiri.
Agus M Maksum

