Suaramuslim.net – Wacana perang terhadap radikalisme dan intoleransi kembali muncul. Kalau sebelumnya, perang melawan radikalisme dilakukan oleh pihak kepolisian, namun saat ini diawali oleh kementerian agama. Pernyataan perang terhadap radikalisme itu disinggung oleh Fachrul Razi, Menteri agama yang baru ketika memperoleh tugas yang diemban terkait dengan memerangi radikalisme.
Reaksi keras terhadap wacana yang dinyatakan oleh Fachrul Razi pun muncul. Di antaranya, disampaikan oleh Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin. Dia menyatakan agar hati-hati menuduh umat Islam radikal dan intoleran. Menuduh umat Islam radikal dan intoleran sama saja menyakiti hati kaum muslimin, dan seolah menancapkan stigma radikalisme pada diri umat Islam.
Menteri Anti Radikalisme
Bandul memerangi radikalisme diawali kementerian agama. Hal ini terkait dengan pernyataan Menteri Agama, Fachrul Razi pada saat pasca pelantikan dirinya di istana. Tak berapa lama setelah pelantikan, dia menegaskan akan memerangi radikalisme dengan menindak tegas ustaz-ustaz yang isi ceramahnya bisa mengancam keutuhan bangsa. Menuurutnya, ustaz-ustaz ini kami imbau agar lebih hati-hati dalam mengangkat hadis atau ayat yang terkait hal-hal sensitif. Kalau dia masih tetap seperti itu, dia bisa kena pasal-pasal hukum, ujaran kebencian, provokator, menghasut dan sebagainya.
Pernyataan ini amat gamblang menunjukkan bahwa sasaran perlawanan terhadap radikalisme adalah umat Islam. Islam telah menjadi musuh bersama (common enemy) karena di dalam ajarannya berpotensi mengandung bibit radikalisme. Menindak tegas ustaz yang dalam ceramahnya menimbulkan perpecahan bangsa, jelas mengarah pada Islam.
Atas pernyataan ini, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsuddin menyampaikan pesan bahwa sebagian umat Islam merasa terkena tuduhan bila wacana radikalisme dan intoleransi terus didengungkan. Tuduhan tersebut terasa menyakitkan bagi umat Islam, padahal kalau umat Islam tidak toleran tentu tidak akan ada stabilitas dan kerukunan di Indonesia.
Din menegaskan bahwa umat Islam adalah kelompok yang paling toleransi. Sebagai buktinya kesultanan-kesultanan yang jumlahnya sekitar 70-an ikhlas bergabung untuk mendukung dan berintegrasi dengan negara baru bernama Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Itu adalah sikap toleransi yang sangat besar. Andai tidak didasari oleh sikap toleransi dan cinta bangsa, maka sulit terwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia juga mengingatkan, fungsi Kementerian Agama (Kemenag) untuk membangun moralitas bangsa dan mengembangkan keberagamaan ke arah yang positif serta konstruktif bagi bangsa. Kemenag berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan serta kualitas keagamaan.
Pernyataan Menteri Agama yang demikian anti radikalisme, seolah-olah menunjukkan bahwa cara beragama umat Islam demikian radikal. Padahal radikalisme itu bisa muncul bukan hanya pada agama, tetapi ranah ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Di Indonesia, tidak perah dipersoalkan seorang pemodal atau konglomerat yang hidup seperti mengelompok sendiri, yang tanpa sadar menimbulkan kesenjangan. Perilaku demikian bisa menyulut pihak lain untuk bersikap radikal karena adanya kesenjangan ekonomi. Demikian pula adanya radikalisme politik, seperti seorang penguasa yang memiliki kekuasaan yang besar dan bisa berbuat secara otoriter, sehingga muncul kesenjangan politik, dan berujung menyulut aksi-aksi kebencian politik.
Di sisi lain, Pancasila hanya dipakai sebagai rujukan untuk mengembangkan paham-paham lain yang pada hakekatnya anti Pancasila. Koruptor, pembunuh, penipu, dan penumpuk kekuasaan yang melibatkan elite negara yang tidak sempat membangun atau menegakkan keadilan justru bisa menikmati kehidupan dengan mewah. Bukankah ini akar persoalan yang menimbulkan kesenjangan ekonomi dan kesenjangan politik, sehingga menanam benih permusuhan.
Pentingnya Kesadaran Politik Umat Islam
Perang terhadap radikalisme seakan menutupi problem riil dan besar yang melanda bangsa ini. Perkembangan dakwah Islam yang demikian massif dan kesadaran politik umat Islam yang demikian besar dianggap sebagai ancaman bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu harus diciptakan stigma yang ditempelkan pada umat Islam. Oleh karena itu, radikalisme dan intoleransi merupakan paham bawahan yang harus diwaspadai. Maka disinilah Islam mendapatkan angin untuk dianggap sebagai ancaman bangsa saat ini.
Fokus memerangi radikalisme, justru memberi kesempatan pihak-pihak lain yang secara bebas mengembangkan paham kapitalisme dan liberalisme. Padahal paham-paham itu sangat bertentangan dengan Pancasila, dan selalu didengungkan sebagai musuh negara. Kalau dalam konteks politik, Pancasila lebih dekat dengan sistem permusyawaratan dalam mengambil keputusan politik namun dalam prakteknya, justru menganut sistem demokrasi yang di dalamnya penuh dengan persaingan dan saling menguasai pihak lain. Sehingga berbagai intrik politik dilakukan untuk menghegemoni pihak lain.
Demikian pula dalam konteks ekonomi, Pancasila lebih dekat dengan terciptanya keadilan sosial di tengah masyarakat, tetapi yang terjadi justru menganut sistem ekonomi yang justru menganut sistem ekonomi liberal yang saling menindas dan mengeksploitasi pihak lain. Sistem ekonomi ini sangat rendah tanggung jawab sosialnya pada masyarakat kebanyakan.
Perang terhadap radikalisme hanyalah permainan politik untuk terus melakukan penindasan dan marginalisasi umat Islam yang saat ini tumbuh kesadaran politiknya. Sementara perkembangan paham kapitalisme dan liberalisme yang demikian pesat, tidak pernah menjadi fokus dan memperoleh penanganan yang proporsional. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tingginya eksploitasi terhadap sumberdaya alam, dan tingginya kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat tidak pernah menjadi agenda besar negeri ini. Oleh karena mewacanakan ancaman radikalisme dan intolerasi sangat patut dipertanyakan.*
Surabaya, 28 Oktober 2019
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net