Suaramuslim.net – Membincangkan penulisan atau pembukuan hadits nabi, para ahli sejarah mencatat, bahwa setelah lebih dari seabad, hadits kemudian dibukukan. Selama itulah hadits bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya hanya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan. Syuhudi Ismail dalam Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkaran dan Pemalsuannya (1995), sebagian sahabat di samping menghafalnya juga menulisnya. Terutama bagi mereka yang dinilai cermat dalam mencatat sehingga tidak bercampur antara catatan Al Quran dengan yang bukan Al Quran.
Penghafalan dan penulisan hadits dalam lembaran dilakukan bersamaan. Terdapat banyak riwayat dalam kitab-kitab hadits yang merujuk pada shahifah-shahifah (booklet) para sahabat. “Di antara lembaran-lembaran yang terkenal pada masa sahabat adalah milik khalifah Ali bin Abi thalib yang ia gantungkan di pedangnya.” tulis Daud Rasyid dalam Sunnah di Bawah Ancaman, (Syaamil, 2006).
Sejak abad kedua Hijriah, ahli-ahli hadits memakai metode Imla’. Baik imla’ dari kitab maupun imla’ dari hafalan atau ingatan. Mengutip M.M. Azami dalam Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka Firdaus, 1994), pada masa itu, menulis hadis awalnya di kepingan-kepingan papan kayu, setelah itu disalin ke kertas dan dedaunan. Misalnya Al-Zuhri, beliau selalu membawa kepingan-kepingan kayu dan lembaran-lembaran kertas apabila datang ke tempat guru-gurunya.
Kepopuleran kepingan-kepingan kayu sebagai alat atau media menuliskan hadits tergambar dalam petuah Hasan Al-Bashri, “Barangsiapa yang datang ke tempat guru hadis tetapi tidak membawa kepingan-kepingan kayu, maka tak ubahnya seperti orang yang datang ke medan perang tetapi tidak membawa senjata”.
Dari budaya imla’ inilah lahir buku catatan di kalangan ahli-ahli hadits. Kemudian menimbulkan tradisi saling meminjam kitab. Al-Zuhri misalnya pernah memperingatkan, “Wahai yunus, jangan sekali kali kamu mengkhianati kitab”. “Apakah itu mengkhianati kitab?” tanya Yunus. Jawab Al-Zuhri, “Yaitu meminjam kitab dan tidak mau mengembalikan kepada pemiliknya”. Masih menurut Prof. M.M. Azami, sejumlah ahli hadits ada yang mau meminjamkan dan ada pula yang tidak berkenan. Barangkali khawatir kitabnya akan hilang dan peminjam mencoret-coret kitab yang dipinjamnya. Namun ada juga peminjam yang selektif, yaitu yang meminta suatu barang jaminan. Misalnya Al-Sakan diminta memberi jaminan mushaf ketika ia meminjam kitab dari Ibrahim bin Maimun Al-Sha’igh. Begitu juga Ibnu Hanbal yang pernah diminta memberikan mushafnya sebagai jaminan ketika hendak meminjam kitab dari Yahya bin Salim.
Betapa beratnya melihat kisah para pendahulu dalam membukukan hadits nabi. Dengan sumber daya seadanya, mereka semangat mencatat dan menyalin hadits nabi dari guru-gurunya. Sementara kalau melihat sebagian besar generasi muslim pada masa kini, berapa banyak yang rajin mencatat hadits yang ia dengar dari kiai atau dosennya, minimal di memo ponselnya?. Masihkah ada budaya pinjam-meminjam catatan atau kitab-kitab hadits? Wallahu’allam.