Suaramuslim.net – Sebelum masuk Islam, Umar bin Khaththab dikenal sangat keras perlawanannya pada Islam. Salah satu yang tercatat dalam sejarah adalah pernyataan Amir bin Rabi’ah. Dia menyatakan bahwa “Umar tidak akan masuk Islam kecuali keledainya bin Khaththab masuk Islam.”
Gambaran Amir ini tidak lepas dari sikap Umar yang sangat keras dan bengis kepada umat Islam. Namun tanda-tanda kelembutan hati Umar justru dilihat oleh istri Amir bi Rabi’ah, yakni Ummu Abdillah, Laila.
Laila menyatakan bahwa saat berhijrah, di tengah jalan bertemu Umar, dan saat itu Umar tidak mencegahnya dan justru mendoakan dirinya semoga Allah melindungi perjalanan ke Madinah.
Ketegasan Umar pun terbawa hingga dia masuk Islam, dan bersikap kokoh dalam menegakkan keadilan saat menjadi khalifah.
Sikap keras Umar
Kerasnya hati Umar membenci Islam ditunjukkan dalam sikap dan perilakunya sebelum dia masuk Islam. Dia bersikap kejam terhadap siapapun yang memeluk Islam, dan hal itu menjadi ancaman bagi kaum muslimin. Namun sikap Umar yang demikian tidak menghentikan optimisme Nabi untuk mendoakannya masuk ke dalam agama Islam.
Nabi pun berdoa agar Islam dijayakan oleh salah satu di antara dua orang yang dahsyat permusuhannya pada Islam, yakni Umar bin Khaththab dan Amr bin Hisyam (Abu Jahal). Bahkan Nabi pernah berdoa secara khusus agar Allah memasukkan Umar ke dalam Islam.
Doa nabi pun dikabulkan Allah. Hal ini ditunjukkan adanya perubahan sikap Umar yang awalnya membenci Islam, hingga berubah masuk Islam.
Salah satu bentuk perubahan sikap Umar yang keras menjadi lembut, sebagaimana dikisahkan oleh Ummu Abdillah, Laila.
Laila mengisahkan saat hijrah bersama suaminya, Amir bin Rabi’ah, melihat sesuatu yang menakjubkan pada diri Umar. Saat itu Umar terlihat berhati lembut, dan tidak bersikap keras. Ketika suaminya keluar untuk suatu urusan, Laila bertemu Umar hingga terjadi dialog di antara keduanya.
Umar bertanya kepada Laila mau ke mana. Maka Laila menjawab akan pergi hijrah ke Madinah, karena sikap orang Quraisy yang sangat kejam. Ternyata Umar mendoakannya agar selamat dalam perjalanan.
Perubahan sikap ini terlihat ketika Umar berangkat menuju kediaman Nabi dan berniat membunuhnya.
Di tengah perjalanan, Umar bertemu Nu’aim al-Adawi dan bertanya keperluannya. Setelah dijawab ingin membunuh Nabi, maka Nu’aim mempertanyakan mengapa jauh-jauh ingin membunuh Nabi. Sementara adiknya sudah masuk Islam.
Umar pun berbalik arah dan pergi ke rumah Fathimah binti Khaththab, adiknya yang sudah masuk Islam.
Saat itu Fathimah sedang berbincang bersama suaminya, Said bin Zaid. Mereka membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Umar pun masuk ke rumah Fathimah dan mendapati mereka sedang menyembunyikan lembaran Al-Qur’an.
Setelah terjadi pertengkaran yang keras hingga akhirnya Umar luluh dengan Al-Qur’an yang sedang mereka perdengarkan. Hati Umar pun luluh dan ingin ditunjukkan keberadaan Nabi guna mengikrarkan diri masuk Islam.
Sesaat setelah masuk Islam, Umar menginginkan keislamannya diketahui banyak orang. Maka Umar mencari Jamil bin Ma’mar Al-Jumahi. Jamil dikenal sebagai orang yang cepat dalam menyebarkan berita apapun.
Setelah Umar menyatakan bahwa dirinya masuk Islam, maka Jamil melompat dan lari serta berteriak di depan Ka’bah tentang keislaman Umar, sehingga orang-orang pun mengetahui keislaman Umar.
Sikap tegas Umar
Sikap tegas dan keras Umar tidak bisa hilang, khususnya ketika sudah masuk Islam. Saat menjadi khalifah, Umar menunjukkan sikapnya yang amat tegas, sehingga tegaklah keadilan.
Pertama, ketika Abdurrahman bin Umar bin Khaththab terdapati minum minuman keras di Mesir, maka Amr bin ‘Ash sebagai gubernur menegakkan hukuman cambuk padanya. Guna menghormati Umar, Amr bin ‘Ash menghukumnya dengan mencambuknya secara tertutup.
Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Umar. Begitu mendengar kejadian ini, Umar pun menulis surat dan mengingatkan Amr bin ‘Ash agar menghukum anaknya secara terbuka. Maka Amr bin’Ash pun mengikuti instruksi Umar.
Ketegasan Umar juga terlihat pada Jabala bin Laiham, mantan penguasa/raja Ghassan yang masuk ke dalam Islam.
Sebelumnya, Jabala berkuasa dan menjadi raja di bawah pemimpin Romawi. Karena hidayah Allah, dia masuk Islam, dan minta ijin untuk datang menemui Umar di Madinah. Umar pun menyambut dan menghormatinya.
Saat melakukan thawaf di Ka’bah, pakaian sarung Jabala terinjak oleh seseorang dari suku Fazaro. Dia pun menampar pria Fazaro itu. Karena merasa sakit maka orang yang tertampar itu melaporkan peristiwa ini kepada Umar.
Umar memanggil Jabala dan meminta penjelasan. Maka Jabala menjelaskan bahwa kemuliaannya terusik karena perilaku orang Fazaro itu sehingga menamparnya. Beruntung masih menampar dan tidak mecongkel kedua matanya. Hal ini karena mengganggu harga dirinya.
Umar ingin menindak tegas Jabala dan memanggil pria Fazaro untuk tetap menuntut balas atau memaafkannya. Jabala menolak dihukum dan mengancam akan kembali ke agamanya semula (Nasrani). Maka Umar mengatakan bila keluar dari Islam, dia akan dibunuh karena murtad.
Jabala pergi keluar Madinah dan kembali ke daerahnya. Dia memilih murtad dan kembali ke agama Nasrani daripada menerima hukuman dan khawatir kemuliaannya hilang karena ditegakkan hukum Islam.
Di sinilah ketegasan dan kekokohan Umar dalam menegakkan keadilan, sehingga hukum Islam benar-benar tegak di era kepemimpinannya.