Suaramuslim.net – Ada pemuka agama yang mantap melangkah bahwa kekuasaan negeri ini dinaungi barokah. Tak ayal, ada juga yang galang di sana-sini pernah memilih lagi kekuasaan, tanpa menimbang soal keberkahan dan praktik dusta serta khianat yang acap diperlihatkan. Maka, mengajukan jabatan menteri sekian kursi lebih sebagai peneguhan ambisi ketimbang kalkulasi bersandar kata hati.
Mereka begitu yakin kekuasaan yang disokong mustahil tumbang. Bertambah mantap ketika banyak lembaga jajak pendapat merilis kemenangan kubu dukungannya. Berita kemenangan lebih mengisi kepala ketimbang menalar apa sudah benar langkah masif dukungan yang bergelombang.
Sementara kita, yang berada sebagai lingkar luar kekuasaan dan rakyat kritis praktik kemungkaran kekuasaan, haruslah merawat pikiran. Sebab, ujian tak jua selesai berbentuk praktik culas rezim dan begundal loyalnya.
Merebut kekuasaan yang dibekingi aparat dan media itu bisa jadi memang susah. Tapi tiada yang mustahil kendati matematika manusia memandangnya mustahil. Apalagi bila kedustaan dan kezaliman berulang-ulang diperbuat tanpa ada penindakan tegas, ini isyarat kekalahan sebuah kekuasaan dan hanya menanti waktu untuk tumbang.
Namun, jatuhnya kekuasaan nan membidas tersebut belumlah akhir dari perjuangan. Sebab, masih berjibun para fanatikus, pendukung dan simpatisan kekuasaan zalim itu. Spektrum latarnya juga luas; tak hanya si awam yang abangan tapi lebih banyak dan berbahaya adalah begundal berlatar akademisi, ulama, peneliti hingga orang yang teranggap alumnus kampus elite. Sebagian dari barisan ini orang yang kita kenal sebagai sosok baik dan intelek. Sebagian malah disebut kiai, buya, profesor dan ragam sebutan penuh hormat. Tapi, inilah dunia. Tidak boleh dilihat hitam dan putih, namun juga tak elok diremehkan hanya sebagai fenomena abu-abu. Ini soal komitmen dan kejujuran. Bukan mencari alibi dan apologi.
Tapi, amatlah mungkin, namun semoga tidak demikian, kekuasaan yang menumbangkan kezaliman itu di kemudian hari bersekutu dengan anasir rezim sarat dusta hari ini. Tak terduga kata kita hari ini tapi di situlah ujian kita teguh berpihak karena nilai ataukah sekadar blok-blokan subjektif taqlid. Fanatik kita pada nilai kebenaran dan keadilan; bukan pada sosok.
Karena kita bukan mereka yang hari ini bergerombol menikmati kebenaran yang dipalsukan lewat kekuasaan, maka janganlah sampai kita yang menggenggam sedikit ilmu bab ini pun terjungkal lalai. Lalai gegara kenikmatan kekuasaan yang dipergilirkan. Inilah yang kudu diingat para pendakwa kebenaran sejati di orde kuasa dusta.
Kekalahan lawan hari ini bulan April tak lain awal sebuah tahap perjuangan baru. Membaca pelbagai kemungkinan sampai watak-watak serupa pendukung rezim hari ini kian berkurang. Inilah tugas penyadaran, dakwah dalam aras baru di ranah bernegara. Dan yang kita hadapi orang-orang yang hari ini percaya diri dengan putusan menyokong rezim, sedusta abadi sampai kini sekalipun.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net