Suaramuslim.net – Munculnya wacana Menkopolhukam RI Wiranto yang akan menggunakan UU Terorisme untuk tangani hoaks terkait pemilu memantik munculnya keprihatinan banyak pihak terutama dari komponen yang cukup paham terkait substansi UU Terorisme dan relasinya dengan persoalan pemilu.
Publik kiranya perlu paham bahwa diksi “terorisme” pada aspek konotasi atau definisi itu “No Global Concencus” (tidak ada kesepakatan global). Setiap negara yang membuat regulasi (UU Terorisme) cenderung memberikan pemaknaan peyoratif dan determinasi kepentingan politik rezim menjadi sumbu putarnya. Karena sejatinya definisi terorisme dalam UU tidak lahir dari ruang hampa, melainkan hadir dari konteks tertentu yaitu isu politik keamanan baik level domestik maupun global dengan segala bentuk relasi dan paradigmanya.
Pasca perdebatan panjang di parlemen akhirnya Indonesia punya UU Terorisme terbaru yaitu UU No. 5 tahun 2018 Perubahan atas UU No. 15 tahun 2003 tentang penetapan Perppu No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Definisi terorisme diartikulasikan pada pasal 1 ayat (2);
“Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”
Mengacu definisi di atas, publik bisa menakar wacana Menkopolhukam Wiranto seperti yang terekam oleh banyak media: “Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat. Kalau masyarakat diancam dengan hoax untuk kemudian mereka takut ke TPS, itu sudah terorisme. Maka tentu kita gunakan Undang-undang Terorisme,” (Wiranto, 20 Maret 2019).
Pernyataan Wiranto adalah jelas tafsir subyektif terhadap definisi yang termaktub dalam UU Terorisme No. 5 Tahun 2018.
Padahal sederhana, jika ada pihak tertentu yang sengaja menghalangi ke TPS, dan menyebabkan seseorang kehilangan hak pilihnya itu bisa dipidana baik dengan cara menebar hoaks atau bukan hoaks. Substansi UU pemilu masih menjangkau persoalan tersebut dan bahkan tidak perlu UU terorisme dipakai. Kalau masih butuh payung hukum yang lebih kuat, UU ITE masih relevan dengan persoalan hoaks.
Tafsiran Wiranto soal hoaks sebagai kekerasan verbal atau non verbal dan dianggap relevan dengan definisi terorisme adalah niscaya karena frase-frase dari definisi terorisme masih membuka peluang penafsiran yang elastis. Namun alur logikanya Wiranto bisa dianggap keblinger meski terkesan benar. Publik dengan mudah menangkap itu “nalar otak otik matuk-otak atik gatuk” sebagai bentuk upaya menampilkan sikap represif yang vulgar karena kepentingan politik kekuasaan.
Terkesan rezim memegang otoritas tunggal untuk menafsirkan secara subjektif sesuai kepentingan dan tidak perlu lagi terikat pakem.
Dari sisi lain, dari wacana Wiranto, publik pun sadar pentingnya “badan pengawas” seperti yang telah direkomendasikan UU Terorisme untuk segera dibentuk. Paling tidak badan tersebut bisa memberikan fungsi pengawasan termasuk kontrol jangan sampai rezim melakukan “abuse of power” (menyalah gunakan kekuasaan) melalui piranti hukum (UU) yang ada. Jangan sampai hanya karena ingin memenuhi syahwat kekuasaan dan kepentingan politik opuntunir lainnya akhirnya membajak substansi UU dan suka-suka memberi penafsiran dan penggunaannya.
Rezim perlu melek, bahwa publik menyaksikan adanya paradok atau anomali pada aplikasi UU Terorisme. Sebagai contoh aktual; apakah kelompok OPM oleh rezim dilabeli sebagai kelompok teroris? Meskipun memenuhi semua unsur dan sarat untuk dikategorikan sebagai kelompok teroris dan bisa ditangani dengan payung hukum UU Terorisme.
Aneh bin ajaib, justru Menkopolhukam mewacanakan penanganan hoaks dengan UU Terorisme. Rasanya nurani dan nalar yang sehat akan membaca ini adalah sikap “adigang adigung adiguno” pada akhirnya kalau tidak ada kontrol berpotensi melahirkan “State Terrorism”, dan ini sangat bahaya apalagi untuk iklim demokrasi yang dikembangkan di Indonesia.
Penulis: Harits Abu Ulya (Pengamat Terorisme & Direktur CIIA)
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net