Suaramuslim.net – Bola panas wacana perpanjangan masa jabatan presiden sudah memperoleh respons presiden. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan dirinya merasa tertampar dengan adanya usulan masa jabatan presiden tiga periode. Bahkan presiden merasa curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya. Bahkan secara transparan, Jokowi menyatakan bahwa yang mengusulkan wacana perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode itu sengaja ini menampar muka, mencari muka, atau menjerumuskannya.
Dengan adanya pernyataan presiden ini, bisa mengakhiri polemik terhadap wacana yang berorientasi kekuasaan an sich. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode ini menunjukkan keringnya orientasi kerja berbasis kemakmuran dan terciptanya rakyat dan adanya sindrom dominasi mempertahankan kekuasaan.
Oligarki dan Sindrom Berkuasa
Bergulirnya wacana masa jabatan presiden hingga tiga periode memang cukup memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Dikatakan memprihatinkan karena energi rakyat banyak terkuras namun hasilnya tak jelas. Dikatakan mengkhawatirkan karena usulan memperpanjang masa jabatan, hingga tiga periode, tidak lepas adanya agenda besar, yakni berkuasa selama-lamanya. Hal ini diperkuat adanya wacana setiap masa jabatan presiden berlangsung delapan tahun, sehingga seorang penguasa bisa menjadi presiden seumur hidup bila menjabat tiga periode.
Wacana perubahan masa jabatan presiden hingga tiga periode ini sangat bertentangan dengan spirit reformasi yang ingin menghapuskan kepemimpinan otoritarianisme. Sebagaimana diketahui sejarah buruk Orde Baru ketika menerapkan praktik kepemimpinan otoriter, sehingga bisa berkuasa 32 tahun. Oleh karena itu, spirit buruk wacana perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode berpotensi besar untuk mengarah pada kepemimpinan otoriter.
Pasal 7 UUD 1945 sudah jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Ini menunjukkan bahwa masa jabatan presiden sudah cukup lama, yakni lima tahun, dan apabila dianggap memiliki prestasi bisa dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Waktu sepuluh tahun untuk dua kali masa jabatan merupakan waktu yang cukup lama dan banyak peluang untuk membuat kebijakan yang berkesinambungan guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan.
Sesuai dengan agenda reformasi ketika membentuk ketetapan MPR nomor XII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, maka masa perpanjangan hingga tiga periode jelas akan memberi ruang bagi lahirnya rezim neo-otoritarianisme. Terlebih lagi, praktik politik rezim ini dalam memperoleh kekuasaan, khususnya untuk periode yang kedua dipenuhi dengan praktik kecurangan yang demikian massif dan sistematis.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila masyarakat menduga perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode, tidak lepas dari rentetan praktik kecurangan massif dan sistematis.
Menguji Kepekaan Umat Islam
Awalnya, alasan mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden tiga kali didasarkan untuk memberi peluang kepada seorang presiden yang hebat dan memiliki prestasi. Ada kekhawatiran gagasan presiden yang hebat itu akan hilang ketika masa jabatan habis. Maka di sinilah relevansi perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga kali.
Dalam praktik politiknya, rezim ini jauh dari kata hebat atau segudang prestasi. Alih-alih memiliki amunisi untuk diperpanjang masa jabatannya, praktik politik yang selama ini berlangsung dinilai masyarakat banyak menyalahi janji saat kampanye. Salah satunya adalah menghentikan impor dan menerapkan swasembada pangan serta menetapkan harga murah sehingga rakyat kecil bisa memiliki daya beli yang baik.
Namun dalam praktiknya, rezim ini justru membuka impor bahan pangan sehingga banyak pihak asing/aseng yang masuk mengakibatkan harga pangan tak stabil. Dalam kepemimpinan rezim ini, rakyat kecil tidak bisa bergerak untuk menciptakan usaha mandiri karena negara tidak menopang terciptanya kemandirian rakyat. Bahkan di era kepemimpinan rezim ini rakyat memiliki daya beli yang sangat rendah sehingga dunia usaha sangat lesu dan memprihatinkan.
Terlebih lagi untuk meraih kekuasaan pada periode kedua, saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, rezim ini tercatat oleh dunia sebagai penyelenggara Pemilu paling buruk. Dikatakan buruk karena rezim ini melakukan praktik kecurangan dengan menggerakkan seluruh sumber daya termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan periode kedua. Dengan menerapkan teori konspirasi, rezim ini bisa berhasil memenangkan Pemilu dan dunia mencatat sebagai Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia.
Beranjak dari paparan di atas, maka wacana perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode tidak lain sebagai kelanjutan atau grand design untuk melanggengkan kekuasaan. Namun wacana perpanjangan masa jabatan hingga tiga periode memperoleh penilaian dan penentangan masyarakat. Dengan adanya perlawanan yang besar dari masyarakat, maka wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode itu teranulir.
Proses menganulir itu dengan bahasa yang halus yakni dengan pernyataan presiden yang merasa tertampar mukanya. Dengan kata lain, wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode tidak lain sebagai bentuk test the water. Gagasan itu diwacanakan dan dilempar ke publik. Ketika banyak penolakan, maka gagasan itu ditarik. Namun ketika gagasan itu ditanggapi dingin, maka wacana itu diikuti dengan kebijakan dan segera diterapkan.
Umat Islam harus belajar dari sejarah sehingga tidak menjadi bulan-bulanan dan tidak terus menjadi korban sejarah. Pil pahit perjuangan terus menerus dirasakan oleh umat Islam namun tanpa memperoleh kesempatan untuk menikmati hasilnya. Umat Islam harus belajar dari sejarah secara intens, dan sudah saatnya harus mengakhiri sebagai korban sejarah, sehingga tidak terus mengalami marginalisasi dari setiap rezim.
Surabaya, 3 Desember 2019
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net