SURABAYA (Suaramuslim.net) – Revisi UU KPK yang diusulkan DPR dan mendapat respons berupa surat presiden dari Presiden Jokowi semakin menambah gaduh jagat Indonesia setelah proses pemilihan capim KPK yang dianggap bermasalah.
Publik pun menagih komitmen Jokowi dalam pemberantasan korupsi sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, kesejahteraan dan keadilan.
Tak Perlu Dewan Pengawas
Dosen hukum Pascasarjana Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, Dr. Hufron, S.H., M.H dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (16/9) menyatakan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, KPK berada pada lingkup kekuasaan pemerintahan, dengan posisi seperti itu, jika KPK adalah lembaga independen, maka kemandiriannya masih dipertanyakan, karena di bawah pemerintah.
Dari status demikian, ungkap Hufron, memunculkan salah satu usulan agar dibentuk Dewan Pengawas terhadap fungsi KPK. Dewan Pengawas KPK nantinya berfungsi untuk mengawasi tugas dan wewenang lembaga antirasuah.
“Penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi harus seizin Dewan Pengawas KPK, menurut saya, ini justru melemahkan fungsi KPK, bagaimana OTT dilakukan sementara harus mendapat ijin dulu, sedangkan OTT dilakukan dengan sangat cepat, bisa jadi saat melakukan OTT dewan pengawas tidak menyetujui,” ucapnya.
Menurut Hufron, ada upaya yang bersifat politisasi, pasalnya saat Dewan Pengawas KPK nantinya akan dipilih oleh presiden melalui panitia seleksi, tentu juga melalui fit and proper test melalui DPR. Semestinya, saat ini sudah benar tidak perlu ada Dewan Pengawas, karena jika KPK melakukan penggeledahan, penyitaan dan penyadapan tidak benar maka bisa dipraperadilankan. Selian itu, KPK juga diawasi DPR Komisi III melalui rapat kerja dan audit kinerja dan keuangan dari BPK RI.
“Jadi, tidak perlu ada lembaga khusus, apalagi saat di proper test dikhawatirkan ada deal-deal politik,” lanjutnya.
Rujukan untuk status KPK, Hufron menyebut lebih pas di pasal 24 ayat 3 UUD 1945, “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” Jadi badan-badan lain itu artinya KPK, karena KPK merupakan bagian dari kekuasan kehakiman yang di luar pemerintahan.
“Saya kira ini poin penting yang dianggap banyak orang tidak saja melemahkan KPK, tetapi membunuh secara perlahan-lahan saat adanya Dewan Pengawas,” paparnya.
Ketika bicara soal SP3 Hufron menilai, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun sebenarnya perlu. Umpamanya KPK melakukan OTT pasti setelah ada laporan masyarakat, maka penyelidik harus melaksanakan pengumpulan bukti dan keterangan yang tidak mudah sampai memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Menurut Hufron, Presiden terlihat tergesa-gesa dalam mengirimkan surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang. Pasal 49 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 secara tegas memberikan tenggat waktu 60 hari kepada Presiden sebelum menyepakati usulan UU dari DPR. Harusnya waktu itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahlan KPK.
“Persoalannya hari ini, jika masyarakat dalam jumlah besar dari berbagai komponen menolak, apabila DPR diam-diam memparipurnakan dan menggoalkan, dikhawatirkan ada mosi tidak percaya terhadap DPR dan Presiden dalam konteks tidak menunjukkan keberpihakan terhadap proses pemberantasan korupsi di Indonesia,” tandasnya.
Sarat Kepentingan Politik
Sementara itu, Dosen Sosiologi Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Umar Sholahudin, S.Sos, M.Sosio dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (16/9) menyatakan korupsi masih menjadi salah satu masalah yang membuat bangsa Indonesia sulit maju dan semakin tertinggal dibandingkan negara-lainnya. Korupsi merupakan kejahatan yang tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri, namun kolektif. Biasanya melibatkan eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga pihak swasta.
“Masyarakat selalu berubah, saya kira perlu ada perbaikan. Persoalannya apakah perubahan yang dilakukan terhadap KPK akan memperlemah atau memperkuat? Bagi saya, masyarakat menginginkan agar perubahan diarahkan pada penguatan lembaga KPK, karena tipikal korupsi adalah kejahatan luar biasa,” tegasnya.
Impian Indonesia untuk terbebas dari korupsi bisa terwujud apabila sinergi dan kerja sama antar lembaga dilakukan. Menurut Umar, KPK tidak bisa bekerja sendiri untuk memberantas korupsi. Upaya ini mesti dilakukan dengan menggandeng seluruh komponen bangsa. Namun, pencegahan tak kalah pentingnya dengan penegakan hukum. untuk mencapai tata kelola pemerintahan yang baik itu, perlu dibangun sistem dalam mencegah peluang terjadinya korupsi.
“Menurut saya, aspek pencegahan dan pemberantasan saling terkait dan berjalan sinergis, pemberantasan secara tidak langsung pun mengandung unsur pencegahan, karena diharapkan dengan adanya penindakan akan menimbulkan efek jera bagi yang lain,” paparnya.
Umar menjelaskan, rangkaian proses operasi tangkap tangan (OTT) termasuk penyadapan tentu ditemukan bukti permulaan kuat akan adanya indikasi transaksi, begitu juga saat penyadapan dilakukan, KPK tidak sembarangan melakukan penyadapan. Ada mekanisme di internal yang mengatur proses penyadapan itu.
“Saat OTT pasti sudah melalui pra kondisi, dalam artian bisa jadi pelaku diintai apakah perilaku pejabat mengandung unsur pidana atau tidak, penyadapan sangat hati-hati dan tidak sembarangan. Hingga tahun 2019 yang sudah diputus pengadilan dan masuk tahanan terdapat 26 kepala lembaga negara, 247 anggota dewan DPR/DPRD, dan 20 gubernur. Sementara yang sedang dalam penanganan KPK, ada 250 kasus yang melibatkan DPR/DPRD, 110 kepala daerah,” jelasnya.
Umar melihat, ada upaya pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia sejak awal. Menurutnya, ada sejumlah indikasi yang menguatkan dugaan. Salah satunya capim terpilih Firli Bahuri sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 sebelumnya punya rekam jejak bermasalah, terutama terkait dugaan pelanggaran kode etik ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Permasalahan ini sebenarnya terletak sejak hulu saat nama-nama orang yang dipilih masuk dalam Pansel KPK terafiliasi terhadap institusi tertentu.
“Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa begitu juga dalam pemberantasan korupsi, semestinya Presiden Joko Widodo harus menjadi garda depan. Bahkan ia menggambarkan Jokowi yang memegang pedang pemberantas korupsi. Apalagi ini sudah menjadi visi misi presiden saat kampanye kemarin, jika presiden cenderung seirama dengan gagasan RUU bisa dibilang presiden mengkhianati janji sendiri,” ujarnya.
Umar juga mengaku heran dengan pembahasan revisi UU KPK yang tiba-tiba. Pasalnya, RUU KPK tidak ada dalam program legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Ini tiba-tiba muncul jadi RUU yang dibahas. Dan itu hanya 20 hari lagi menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode ini.
“Ini yang banyak dipersoalkan masyarakat, apalagi jabatan DPR berakhir pada awal Oktober, misalnya akan dibahas dan dipaksa selesai sebelum masa jabatan habis maka tidak akan menghasilkan produk hukum maksimal. Alangkah baiknya jika pembahasan itu dibahas saat anggota DPR yang baru, jika masih memaksakan saat ini juga, maka unsur politiknya sangat kuat bahwa dalam rangka menyelamatkan kalangan tertentu,” pungkasnya.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir