Suaramuslim.net – Pada tahun 2015, seluruh pemimpin dunia mewakili negaranya dalam forum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati sebuah dokumen bersama berjudul “Transforming Our World: The 2030 Global Agenda for Sustainable Development”.
Dalam dokumen tersebut, terselip 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang mencakup agenda pembangunan global dengan fokus pada sejumlah isu krusial pembangunan global, seperti kemiskinan, ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan, serta isu lingkungan hingga tata kelola hukum dan pemerintahan. Diharapkan target-target yang dicanangkan dalam SDGs dapat tercapai secara global pada tahun 2030 (United Nations, 2015).
Lahirnya SDGs tidak bisa dilepaskan dari isu pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang merupakan bagian dari evolusi paradigma pembangunan negara. Pasca Perang Dunia ke-2, khususnya pada dekade 1950 hingga 1970-an, ketika negara-negara di dunia, utamanya negara berkembang, berlomba mendorong pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Meskipun target pertumbuhan ekonomi tercapai, namun permasalahan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran tidaklah terselesaikan bahkan cenderung memburuk.
Di samping itu, pembangunan ekonomi juga menyebabkan perubahan iklim global sehingga mengancam lingkungan hidup yang menjadi basis sumber daya pembangunan dan pemenuhan kebutuhan manusia. (Todaro & Smith, 2015).
SDGs merupakan kristalisasi dari konsep Sustainable Development, yang oleh para ahli merupakan suatu paradigma pembangunan yang mengarahkan pembangunan suatu negara tidak hanya berbasis pada pertumbuhan ekonomi, namun juga inklusif secara sosial dan berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan diiringi melalui suatu tata kelola yang baik (good governance) (Sachs, 2015).
Dalam upaya mencapai SDGs, United Nations Development Programme (UNDP), agensi di bawah PBB yang menjadi koordinator global SDGs mencatat ada sejumlah isu terkait upaya implementasi, khususnya pada aspek pembiayaan dari pencapaian SDGs.
UNDP memperkirakan untuk meningkatkan pendapatan seluruh populasi miskin ekstrem dunia agar keluar dari garis kemiskinan, dibutuhkan setidaknya US$66 miliar (sekitar Rp924 triliun) per tahun.
Selain itu, investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh dunia (mencakup air, pertanian, energi, konstruksi, telekomunikasi, industri dan kehutanan) berkisar antara US$5-7 triliun (Rp70-98 ribu triliun) per tahun. Di luar itu, masih dibutuhkan tambahan investasi untuk penyediaan Global Public Goods (GPG), yang mencakup penanggulangan perubahan iklim, konservasi sumber daya hayati, pengendalian penyakit tidak menular serta penelitian dan pengembangan yang mencapai triliunan dolar per tahun (United Nations Development Programme, 2018).
Meskipun angka di atas terlihat cukup besar, namun perlu diingat bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) dunia telah mencapai US$80 triliun (sekitar Rp1,1 juta triliun) pada tahun 2017 (Worldbank, 2018), dan valuasi seluruh aset keuangan di dunia (saham, obligasi, reksadana, dan lainnya) pada tahun 2014 telah mencapai US$294 triliun (sekitar 4,1 juta triliun) (United Nations Development Programme, 2018).
Namun, di tengah besarnya perekonomian dunia, permasalahan pembiayaan pembangunan yang masih jauh dari kata selesai. Diperkirakan terdapat kesenjangan pembiayaan pembangunan di seluruh dunia US$7 triliun (Rp98 ribu triliun) per tahun, utamanya pada negara-negara berkembang.
Sebagai gambaran, apabila kesenjangan pembiayaan di atas dapat tertutupi, maka di seluruh dunia 1,3 miliar orang akan mendapatkan layanan ketenagalistrikan dan satu miliar orang akan terhubung lebih dekat dengan jalan raya sehingga memungkinkannya mendapatkan layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan serta akses pasar.
Upaya negara-negara maju untuk menutupi kesenjangan pembiayaan ini melalui bantuan pendanaan pembangunan (Official Development Assistance/ODA) hanya menutupi US$150 miliar per tahun (Rp2.100 triliun) (Runde, Savoy, & Rice, 2016).
Sementara itu, jika dikaitkan dengan pencapaian SDGs, dibutuhkan pembiayaan di seluruh dunia mencapai antara US$4,6 triliun-US$7,9 triliun (Rp64,4 ribu-110,6 ribu triliun) per tahun (United Nations, 2019).
Adanya kesenjangan pembiayaan di atas disertai hambatan bagi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat melahirkan kepedulian masyarakat, yang kemudian melahirkan sektor filantropi. Lembaga-lembaga filantropi besar dunia, seperti Bill and Melinda Gates Foundation dan Rockefeller Foundation hadir dengan memberikan sejumlah bantuan pembangunan di negara-negara tertinggal.
Namun, disinyalir bantuan para lembaga donor sangat rentan terhadap risiko keuangan, utamanya pasca krisis global. Selain itu, model filantropi tradisional yang bersifat hubungan satu arah antara donatur dan penerima (recipient) hanya mengekalkan kesenjangan sosial, distorsi pasar, menyebabkan penerima donasi menjadi pasif dan bergantung pada lembaga donor hingga sekadar formalitas belaka (IICPSD & IDB, 2017). Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diusulkan alternatif solusi berupa wakaf sebagai faith-based impact investing di era Revolusi Industri (Industrial Revolution/IR) 4.0.* (Bersambung ke Wakaf dari Sudut Pandang Ekonomi)
Raditya Sukmana
*Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Islam pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga Surabaya, Sabtu 22 Juni 2019.