SURABAYA (Suaramuslim.net) – Awal bulan ini tepatnya 5 dan 6 Januari 2018, Ketua Gerakan nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama Ustadz Dr. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc,. MA. mengadakan safari dakwah ke Surabaya. Salah satu tempat yang dikunjungi pada hari Sabtu (5/1/2018) adalah Radio Suara Muslim Surabaya untuk talkshow di program Hikmah Peristiwa. Banyak hal disampaikan Zaitun dalam obrolan hangat selama 60 menit itu. Di antara tentang GNPF MUI sampai persekusi ulama dan bagaimana umat menyikapi tahun pilkada 2018.
Berikut wawancara announcer Radio Suara Muslim Muhammad Nashir dalam program Hikmah Peristiwa, dengan ustadz yang juga diberi amanah sebagai Wakil Sekjen MUI Pusat, Ketua Umum Wahdah Islamiyah dan Ketua Ikatan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara. Berikut wawancara selengkapnya.
Akhir tahun 2017 lalu Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abdurrahman Mas’ud merilis bahwa saat ini idola anak muda telah mulai bergeser dari yang awalnya merujuk ke tokoh moderat menjadi ke tokoh radikal seperti Habib Rizieq Shihab dan Ustadz Bachtiar Nasir. Apakah Ustadz Zaitun setuju dengan penyematan kata radikal pada dua tokoh GNPF ini?
Saya kira persepsi ini harus diluruskan, apa yang dimaksud radikal itu sendiri. Apa yang salah dari yang disampaikan Habib Rizieq dan Ustadz Bachtiar Nasir? Kita harus mengindari menggeneralisasi dan memberikan predikat yang bisa merusak persatuan umat. Padahal mungkin yang dilakukan tidak salah atau ada sesuatu yang kita anggap salah pada bagian tertentu tapi kita generalisasi untuk semua sikap dan pendapat tokoh itu. Seperti misalnya; tuduhan radikal, anti kebhinekaan, itu semua berangkat hanya karena umat Islam menuntut penegakan hukum terhadap penista Al Quran di Jakarta.
Apa yang salah dari sini? Jelas ada landasannya yaitu fatwa MUI. MUI adalah rujukan kaum muslimin Indonesia, di bawah MUI itu lebih dari 70 ormas Islam. Kalau kita tidak percaya fatwa Majelis Ulama, kepada siapa lagi kita percaya. Ini kemudian diapresiasi umat dan mereka bergerak untuk menuntut penegakan hukum. Semua sesuai dengan koridor hukum, tidak ada yang dilanggar. Tapi karena ada yang merasa terganggu, mereka pun mencari cara untuk menyalahkan dengan ungkapan-ungkapan radikal, anti toleran dsb. Kita tidak menemukan anjuran yang radikal disini.
Tapi persepsi semacam tokoh radikal ini sangat melekat di masyarakat lho Ustadz!
Ya kita serahkan kepada masyarakat, sekarang ini banyak masyarakat yang justru melihat bahwa itulah yang saat ini kita perlukan, ada yang bersuara lantang. Di negeri ini kalau tidak ada yang bersuara lantang untuk melakukan koreksi, untuk melakukan kritik, akan riskan bagi negara kita.
Apakah kemudian terma radikal di negeri ini bergeser kepada orang yang lantang dan vokal bersuara melakukan koreksi terhadap pemerintah?
Nah itu yang kita khawatirkan. Jadi sepertinya nanti, orang yang lantang bersuara walaupun tetap dalam koridor lalu kemudian istilah radikal diarahkan kepada mereka. Ini tidak benar dan akan merugikan bangsa kita. Persepsi ini harus diluruskan. Tapi bagi kami tidak risau, andaikan itu benar radikal dan menyimpang, pastilah tidak akan disukai oleh masyarakat. Realitanya, masyarakat suka. Masyarakat menilai apa yang dilakukan ulama selama ini masih dalam koridor agama dan hukum negara, apalagi dalam alam demokrasi, sah-sah saja.
Ada sebagian yang menilai bahwa ulama GNPF berseberangan dengan pemerintah, apakah benar?
Kalau dikatakan berseberangan sepertinya tidak. Ulama GNPF bertemu dengan Presiden Jokowi di acara 212 kemudian Idul Fitri, kalau dikatakan berseberangan tidak mau ketemu, tidak juga. Berseberangan dalam artian menentang semua kebijakan pemerintah, tidak juga. Kecuali kalau ada hal-hal yang tidak benar, kita sampaikan. Itupun pada hal-hal yang sangat menyentuh masalah umat saja. Statemen itu hanya dugaan-dugaan dan baper-baperan lah ya. Padahal sebetulnya ini urusan penting bernegara, harus ada check and balances, harus ada saling mengingatkan.
Tentang idola tadi juga perlu juga dipahami. Sebetulnya yang paling banyak dijadikan idola di Indonesia adalah yang paling banyak dikutip media. Jadi sebenarnya yang paling banyak berperan untuk menjadikan idola itu adalah media. Contoh misalnya, ketika melihat salah satu ustadz atau ustadzah idola di Indonesia, muncullah Mama Dedeh, bahkan tertinggi mengalahkan banyak ulama besar. Kenapa? Karena Mama Dedeh paling konsisten tampil di tv, kan tiap hari tuh. Maka ketika diadakan penelitian kepada masyarakat, mereka akan menjawab sesuai dengan apa yang sering mereka lihat dan dengarkan. Jadi gak usah baper-lah. Ada ustadz yang jadi idola, karena ada kebaikan yang mereka sampaikan dan peran media juga.
Simak lanjutan wawancara berikutnya:
Wawancara Bersama Ketua GNPF Ulama (1) : Perubahan GNPF MUI Menjadi GNPF Ulama
Wawancara Bersama Ketua GNPF Ulama (2) : Kriminalisasi dan Persekusi Ulama
Wawancara Bersama Ketua GNPF Ulama (3) : Merajut Ukhuwah di Tahun Pilkada