JAKARTA (Suaramuslim.net) – Pemerintah, via Rapat Kabinet (02/11), memutuskan bahwa pada 2019 tidak ada kenaikan tarif cukai rokok. Pada konteks regulasi, pembatalan ini adalah bentuk anti regulasi, karena UU Cukai mengamanatkan kenaikan cukai sampai 57 persen. Pada konteks perlindungan konsumen dan kesehatan publik, hal ini adalah hal yang ironis dan paradoks.
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kebijakan pembatalan kenaikan cukai rokok membuktikan bahwa pemerintah terlalu dominan dikooptasi dan diintervensi oleh kepentingan industri rokok, terutama industri rokok besar.
“Kebijakan pembatalan ini membuktikan juga bahwa pemerintah tidak mempunyai visi terhadap kesehatan publik. Pembatalan kenaikan cukai mengakibatkan produksi rokok meningkat dan makin terjangkau oleh anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin. Itu artinya pemerintah menjerumuskan mereka dalam ketergantungan konsumsi rokok. Dan menjerumuskan mereka dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam,” tambah Tulus.
Pembatalan ini, lanjutnya, juga akan mengakibatkan kinerja BPJS Kesehatan akan semakin bleeding dari sisi finansial.
“Data menunjukkan dengan sangat kuat bahwa dominannya konsumsi rokok di tengah masyarakat (lebih dari 35 persen dari total populasi), menjadi salah satu pemicu utama berbagai penyakit katastropik. Jenis penyakit inilah yang mengakibatkan kinerja finansial BPJS Kesehatan berdarah-darah,” tuturnya.
“Pembatalan kenaikan cukai juga bukti pemerintah bertindak abai terhadap perlindungan konsumen. Sebab cukai adalah instrumen kuat untuk melindungi konsumen, agar tidak semakin terjerumus oleh bahaya rokok, baik bagi kesehatan tubuhnya bahkan kesehatan finansialnya.
“Pembatalan ini pada akhirnya hanya dijadikan kepentingan politik jangka pendek (pilpres). Pemerintah telah mengorbankan kepentingan perlindungan konsumen dan kesehatan publik demi kepentingan jangka pendek,” pungkasnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir