Suaramuslim.net – Istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam adalah wanita dermawan. Kalimat pantas untuk radhiallahu anhunna. Kesalihan pribadi mereka berbanding lurus dengan kesalihan sosialnya. Salat malam, puasa dan jihad (haji) begitu kuat. Mereka tetap memperhatikan salihah secara sosial. Berapa banyak yang terbantu berkat tangan-tangan mereka.
Siapa yang paling salih secara sosial (dermawan) di antara mereka? Zainab binti Jahsyi. Dan para wanita termulia ini sepakat. Tak tanggung-tanggung yang bersaksi adalah istri yang paling dicintai manusia terbaik manusia paling alim yaitu Aisyah radhiallahu anhu.
Silsilahnya masih menunjukkan kerabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Zainab binti Jahsyi bin Rabab bin Ya’mar. Ibunya bernama Umayyah binti Muthalib. Paman dari paman nabi akhir zaman. Dari sisi ibunya masuk dalam trah Muthalib.
Strata ini yang membuat enggan diminta menikah dengan Zaid bin Haritsah. Secara Zaid seorang budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw dan diangkat anak. Meski akhirnya mau (demi mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya). Selama mengarungi rumah tangga banyak ketidakcocokan dan berakhir cerai. Tidak bisa dipungkiri jika keengganan sisi kultur masyarakat setempat begitu kuat. Islam berusaha untuk mengeliminasinya.
Tentu beliau tidak bisa disalahkan, itu manusiawi. Terlepas dari itu, sisi mulia beliau, meski seorang wanita terpandang di kaumnya, tidak gengsi dengan pekerjaan memeras keringat. Hal ini tergambar dalam hadits berikut.
Dari Aisyah radhiallahu anhu beliau berkata,“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,”Bahwa yang paling cepat menyusul diriku dari kalian (istri-istriku) adalah yang paling panjang tangannya.” Aisyah berkata,”Lalu kami saling mengukur tangan kami agar mengetahui siapa yang paling panjang tangannya. Dan ternyata istri beliau yang paling panjang tangannya adalah Zainab karena dia bekerja dengan tangannya sendiri dan selalu bersedekah.” (HR Bukhari dan Muslim, dan lafazh tersebut dari Muslim).
Aisyah bersaksi terhadap Zainab, dia seorang wanita pekerja dengan tangannya. Dia menyamak kulit, menyulam dan hasilnya disedekahkan di jalan Allah. Zainab ra merajut pakaian, lalu memberikannya kepada pasukan Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam mereka menjahit dan memanfaatkannya pada peperangan mereka. (Dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath).
Panjang tangan dalam hadits di atas sebagai kiasan dari begitu sering berbagi. Bukan kiasan dari kebiasaan mencuri. Sebagaimana yang biasa dipahami sebagian masyarakat. Begitu panjang tangan Zainab, seakan tidak butuh dengan apa yang diusahakan dengan memeras keringat. Semua diberikan selama masih ada.
Keahlian manyamak kulit dan menjahit pakaian membuatnya bisa bersedekah secara konsisten. Mengingat sedekah berupa harta lebih utama dari sisi kebutuhan. Kemanfaatan terasa secara langsung.
Zainab seorang wanita terpandang yang tidak berpangku tangan. Hasil dari bekerja digunakan untuk sedekah. Berbagi. Memberi kepada orang-orang miskin. Biasa disebut ummul masakin. Ibunda orang-orang miskin.
Pelajaran yang bisa diperoleh dari Zainab binti Jahsyi ini, sedekah dari keringat sendiri merupakan sedekah utama. Sempurna. Dari sedekah yang bersifat penyalur. Meski sama-sama dari bagian alur sedekah.
Sedekah tidak sembarangan sedekah. Nilai kemanfaatan terjaga. Seperti Zainab yang menjahit untuk pasukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam. Langsung dimanfaatkan oleh mereka. Contoh yang lebih sederhana, jangan sedekah buku kepada petani. Yang dibutuhkan mereka adalah bibit, pupuk dan traktor.
Betapa indah!
Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono