Orasi Ilmiah KH. Ma’ruf Amin

Orasi Ilmiah KH. Ma’ruf Amin

SOLUSI HUKUM ISLAM (MAKHARIJ FIQHIYYAH)

SEBAGAI PENDORONG ARUS BARU EKONOMI

SYARIAH DI INDONESIA

 

(Kontribusi Fatwa DSN-MUI dalam Peraturan Perundang-undangan RI)
Oleh: Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin

 

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamuálaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

 

 

Yang Terhormat:

  • Presiden RI, Bapak Ir. H. Joko Widodo
  • Para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara
  • Bapak Menristekdikti RI
  • Bapak Menteri Agama RI
  • Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
  • Para Guru Besar anggota Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
  • Para undangan, terutama, para pimpinan Majlis Ulama Indonesia beserta seluruh jajarannya, para pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama beserta seluruh jajarannya, para alim ulama, para tokoh masyarakat, para pimpinan lembaga keuangan Syari’ah, segenap civitas akademika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, bapak-bapak dan ibu, hadirin sekalian yang kami hormati.

Pertama-tama, saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Kemudian shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.

Bapak Presiden serta hadirin dan hadirat yang berbahagia…

Disadari atau tidak, ekonomi syariah merupakan sektor yang sangat potensial sebagai variabel menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan mempunyai efek berantai yang sangat positif bagi bergeraknya sektor lainnya. Indonesia merupakan pasar potensial bagi tumbuh kembangnya ekonomi syariah. Saat ini kondisi perekonomian Indonesia dinilai bagus. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia diproyeksikan masuk lima besar dunia dalam beberapa tahun ke depan. Sumber Daya Alam di Indonesia masih sangat potensial untuk terus dikembangkan. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 220 juta, sekitar 87 persennya memeluk agama Islam. Kelas menengah muslim mengalami peningkatan.

Mereka inilah yang akan membawa perubahan besar di negeri ini. Mereka telah selesai dan terpenuhi kebutuhan pokoknya. Namun akan terus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan lainnya, yakni kebutuhan berekspresi dan kebutuhan pemenuhan spiritualitas. Ekonomi syariah dapat menjadi jawaban atas kebutuhan tersebut. Ekonomi syariah yang dibangun di atas sistem ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam, diyakini lebih membawa keadilan ekonomi. Ia dapat menjadi pilihan kelas menengah tersebut karena diyakini dapat menjawab kebutuhan berekspresi dalam berekonomi juga dapat menjawab sisi kebutuhan spiritualnya.

Upaya untuk terus menggelindingkan dan memperbesar sektor ekonomi syariah di Indonesia tidaklah mudah dan tidak murah. Upaya perintisan dan pemantapan fondasi sudah dilakukan dengan baik. Sektor ekonomi syariah sudah memiliki pijakan kuat, baik dari sisi regulasi, fatwa terkait produk, jasa dan akad, infrastruktur lembaga keuangan dan bisnis syariah, pemenuhan sumber daya insani, dan masyarakat madani yang mengadvokasi akselerasi pertumbuhan ekonomi syariah.

Sejumlah kendala dan hambatan yang selama ini menjadi penghambat tumbuh kembangnya ekonomi syariah berangsur-angsur sudah mulai dikikis. Misalnya kendala permodalan, kita terus mendorong pemerintah untuk masuk lebih jauh ke sektor ekonomi syariah, misalnya dengan menambah dan memperbesar porsi BUMN untuk diubah dengan sistem syariah. Sukuk yang dikeluarkan oleh negara yang dapat dijadikan alternatif sumber pembiayaan pembangunan di negeri ini dapat menjadi acuan success story bahwa masyarakat akan semakin percaya diri kalau negara mau menjamin dan serius menggarap sektor ekonomi syariah. Sukuk negara di Indonesia saat ini menjadi yang terbesar di dunia. Hal ini sekaligus menjadi pertanda bahwa jika pemerintah menunjukkan kesungguhan dan keberpihakannya terhadap sektor keuangan dan bisnis syariah, maka akan dapat mengikis kendala kepercayaan yang selama ini masih menjadi hambatan dalam mengakselerasi tumbuh-kembangnya ekonomi syariah di negeri ini.

Kendala lainnya berupa belum kompetitifnya lembaga keuangan dan bisnis syariah dalam memberikan pelayanan kepada nasabah dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional. Kendala ini juga mulai terurai. Meskipun kemudahan yang diberikan lembaga keuangan konvensional masih belum tertandingi, namun langkah-langkah yang disusun oleh LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dan LBS (Lembaga Bisnis Syariah) sudah mulai mengikis kesenjangan tersebut. Fasilitas dan kemudahan yang diberikan LKS dan LBS agar lebih kompetitif dalam memberikan pelayanan kepada nasabah saat ini sudah mulai tertata dengan baik.

Kendala lainnya terkait sumber daya insani yang mumpuni, yang bukan hanya terampil dan cakap terhadap teknis ekonomi tapi juga menguasai dan memahami prinsip-prinsip normatif ekonomi syariah, juga sudah mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Peran perguruan tinggi dan universitas sangat penting untuk memenuhi kebutuhan SDM dimaksud.

Kendala terkait dengan peraturan perundangan yang selama ini menjadi batu sandungan Alhamdulillah semakin bisa diminimalisir seiring dengan mulai tumbuhnya kesungguhan dari pemerintah untuk memberikan fasilitas yang sama bagi tumbuh-kembangnya ekonomi syariah. Pemerintah terus didorong untuk semakin menampakkan keberpihakannya pada sektor ekonomi syariah ini, sehingga dapat menciptakan iklim berinvestasi yang menguntungkan dalam sektor keuangan dan bisnis syariah.

Pemerintah telah mulai menunjukkan kesungguhannya dalam upaya percepatan pertumbuhan dan perkembangan sektor ekonomi syariah ini. Pemerintah telah intensif membenahi beberapa peraturan perundangan yang dinilai menjadi faktor penghambat kebijakan percepatan tersebut. Kami tahu upaya tersebut telah dilakukan karena sebelum pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan senantiasa mengikutsertakan dan berkoordinasi dengan kami di Majelis Ulama Indonesia. Sebuah langkah yang sangat layak untuk mendapatkan apresiasi.

Terakhir dengan hadirnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) diharapkan dapat melahirkan era baru dalam perkembangan ekonomi syariah di Indonesia. KNKS yang langsung diketuai oleh Bapak Presiden diharapkan dapat mengurai hambatan kebijakan dan kepercayaan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. Lebih jauh, Presiden telah mencanangkan Jakarta sebagai Pusat Keuangan Syariah Dunia. Tentu saja hal-hal terkait dengan pencapaian pencanangan tersebut, baik terkait dengan peraturan ataupun kebijakan lainnya, saat ini sedang dilakukan pembenahan-pembenahan. Bukan hanya sektor keuangan syariah saja yang dilakukan pembenahan, tapi juga sektor bisnis dan wisata syariah.

Belum lama pemerintah bersama MUI juga telah mencanangkan era baru ekonomi di Indonesia, di mana sebelumnya lebih banyak menggunakan pendekatan top down, dari atas ke bawah, maka di waktu mendatang akan diperbesar pendekatan dari bawah ke atas (bottom up). Ke depan ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi umat, bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat.

Apabila komitmen pemerintah ini dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia menjadi pasar dan pemain ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah, karena selain Indonesia menjadi potensial market karena jumlah penduduknya yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi (economic benefit) bagi para pelakunya.

Bapak Presiden serta hadirin dan hadirat yang berbahagia…

Hal-hal yang saya sampaikan di muka terjadi bermula dari fatwa. Memang terdengar sedikit aneh, tapi itulah faktanya. Bank syariah pertama didirikan tahun 1991 merupakan tindak lanjut dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tahun setelah berdirinya bank syariah pertama tersebut lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat aturan tentang telah dimungkinkannya kegiatan usaha perbankan dengan menggunakan prinsip syariah yang disebut dengan istilah bagi hasil.

Pada tahun yang sama Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Lembaran Negara 1992/119, dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaga Negara Nomor 3505). Dalam PP Nomor 72 Tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah, (ayat 1) yang dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasal 5 ayat 2).

Enam tahun setelahnya terbit UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara jelas di dalamnya mengakomodasi dual banking system di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Hubungan baik yang terjalin antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menghasilkan banyak Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi negara telah berlangsung dengan baik di sektor perbankan. Hal yang sama juga terjadi di sektor lain; seperti sektor asuransi, pembiayaan, dan pasar modal.

Pada tahun 2003 MUI merilis fatwa tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba. Efek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah ekonomi syariah, baik di Bank Indonesia melalui Direktorat Perbankan Syariah yang khusus menangani perbankan syariah, maupun di Departemen Keuangan melalui Direktorat Pembiayaan Syariah, Bapepam-LK, Biro Asuransi Syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang kesemuanya saat ini disatu atapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistik yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998 hanya ada satu bank syariah. Pada rentang tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 lahir lima bank syariah. Sedangkan setelah fatwa keharaman bunga bank dikeluarkan pada tahun 2003, semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa Unit Usaha Syariah ataupun Bank Umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi di sektor non-bank; banyak lahir asuransi syariah, multi-finance syariah, pasar modal syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya. Hal itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Hal ini semakin menunjukkan ada hubungan yang kuat sekali antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dinamika tumbuh kembang sektor ekonomi syariah di Indonesia.

Bapak Presiden serta hadirin dan hadirat yang berbahagia…

Fatwa-fatwa DSN-MUI yang telah menimbulkan efek berantai sebagaimana disebut di muka, ditetapkan dan diputuskan dengan mekanisme dan tata cara yang tidak umum. Sehingga ada beberapa orang yang gagal faham terhadap fatwa DSN-MUI. Meskipun demikian, para ulama di DSN-MUI sangat bertanggungjawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut dikeluarkan berdasarkan aturan dan metodologi penetapan fatwa yang diatur dalam syariah Islamiyah. Memang agak sulit memahami fatwa-fatwa DSN-MUI hanya dengan menggunakan keilmuan standar. Karena banyak dari fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharij fiqhiyah) sebagai landasannya. Setidaknya ada 4 (empat) solusi fikih yang dijadikan landasan dalam menetapkan fatwa DSN-MUI; yaitu al-Taysîr al-Manhaji, Tafriq al-Halal ‘An al-Haram, I’adah al-Nadhar, dan Tahqiq al-Manath.

Al-Taysîr al-Manhaji dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan (at-taisir) namun tetap dalam koridor manhaj yang ada. Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikan jalan keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihan (al-mubalaghah fi al-taysir). Hal itu tidak dibenarkan karena menimbulkan sikap meremehkan (al-tasâhul).

Metode Al-Taysîr al-Manhaji dimaksudkan agar menghindarkan fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa yang meringankan namun hanya mempertimbangkan aspek kemaslahatannya saja dan tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya (al-manhaj). Dalam pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosok pada mencari-cari hal-hal yang ringan saja (tatabbu’ al-rukhash) yang dilarang dalam syariah Islamiyah.

Prinsip dasar penerapan kaidah al-Taysir al-Manhaji dalam fatwa DSN-MUI adalah “menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat jika memungkinkan; jika tidak, maka yang digunakan adalah pendapat yang lebih maslahat (saja)”

(الاخذ بارجح الاقوال والاصلح ان امكن والافالاصلح)

Langkah operasionalnya adalah mencari solusi fikih yang secara dalil lebih kuat dan sekaligus lebih membawa kemaslahatan. Namun apabila hal itu tidak bisa (atau sulit) dilakukan, maka yang didahulukan adalah pertimbangan kemaslahatan, sedangkan kekuatan dalil (aqwa dalilan) dijadikan pertimbangan setelahnya. Karena itu, tidak menutup kemungkinan dalam fatwa DSN-MUI didasarkan pada pendapat ulama yang dulu dianggap sebagai pendapat lemah (qaulun marjuhun), namun karena situasi dan kondisi saat ini pendapat tersebut dianggap lebih membawa kemaslahatan.

Contohnya adalah penerapan kaidah penetapan hukum ekonomi syariah yang selama ini dikenal ada dua pandangan, yakni pandangan substantif yang menjadikan tujuan/hasil akhir dan isi (al-maqashid wa al-ma’ani) sebagai ugeran dalam menentukan hukum; dan pandangan legal-formal yang mengunakan kata/ kalimat dan bentuk (al-alfazh wa al-mabani) sebagai ugeran dalam menentukan hukum. Yang pertama menggunakan kaidah “patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah tujuan dan maknanya, bukan kata-kata dan susunannya”

(العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا للا لفاظ والمباني)

Dan yang kedua menggunakan kaidah “patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah kata-kata dan susunannya, bukan tujuan dan maknanya”

(العبرة في العقود للا لفاظ والمباني لا بالمقاصد والمعاني)

Oleh DSN-MUI pandangan yang terlihat antagonis tersebut dua-duanya diadopsi dan dipakai dalam menetapkan fatwa DSN-MUI, tergantung mana yang paling punya relevansi dengan aspek kemaslahatan. Contoh untuk pengadopsian pandangan pertama adalah fatwa tentang akad wad’iah (digunakan untuk kegiatan penghimpunan dana berupa tabungan dan giro); akad wadi’ah adalah bentuk formalnya (al-alfazh wa al-mabani) sedangkan substansinya (al-maqashid wa al-ma’ani) merupakan akad qardh; karena akad wadi’ah yang terdapat izin dari pemilik untuk menggunakan barang titipan oleh penerima titipan, dan barang titipan dapat diganti oleh barang lain (yang senilai/serupa/ mitsaliyat) sejatinya merupakan akad qardh.

Sedangkan contoh penerapan pandangan kedua dalam fatwa DSN-MUI adalah fatwa terkait mengikatnya (mulzim) saling berjanji (al-muwa`adah) dan hubungannya dengan mulzimnya perjanjian (al-`aqd) sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor 28/DSN-MUI/ III/2002 tentang Jual-Beli Uang (al-Sharf), fatwa DSN-MUI Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa‘d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah, dan fatwa DSN-MUI Nomor 93/ DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (al-Tahawwuth al-Islami/Islamic Hedging).

Fatwa tersebut menyatakan bahwa lindung nilai secara syariah boleh dilakukan dengan syarat dilakukan atas dasar kebutuhan nyata (tidak untuk untung-untungan/spekulasi/gharar) dan dilakukan melalui mekanisme forward agreement (saling berjanji) untuk melakukan pertukaran mata uang di masa yang akan datang.

Akad dan muwa`adah (saling berjanji) dari sisi bentuknya memiliki kesamaan, yaitu pihak yang melakukannya sama (dilakukan oleh dua pihak atau lebih), dan dari sisi sifatnya juga memiliki kesamaan, yaitu mengikat (mulzim) untuk dilakukan. Akan tetapi perbedaan antara keduanya bersifat mendasar; yaitu dalam muwa`adah belum muncul hak dan kewajiban, sedangkan dalam akad sudah muncul. Oleh karena itu disebut bahwa saling berjanji mirip dengan akad (al-muwa`adatu tusybih al-`aqd). Namun sejatinya kedua hal tersebut berbeda, saling berjanji bukanlah akad (wa laisa al-muwa`adatu `aqdan). Apabila saling berjanji dianggap sama hukumnya dengan akad, maka transaksi lindung nilai terlarang karena termasuk jual-beli utang dengan utang (bai` al-dain bi al-dain). Namun kalau saling berjanji dihukumi bukan akad (sebagaimana disebutkan dalam fatwa DSN-MUI), maka transaksi tersebut dibolehkan, karena terhindar dari jual-beli utang dengan utang.

Bapak Presiden serta Hadirin-Hadirat yang kami hormati…

Kaidah berikutnya adalah terkait dengan pemisahan antara harta halal dan non-halal (at-tafriq baina al-halal wal haram). Umumnya, orang memahami bahwa percampuran antara yang halal dan yang haram, maka dimenangkan yang haram, sesuai kaidah “apabila bercampur antara yang halal dan yang haram, maka percampuran tersebut dihukumi haram” (idza ijtama’ al-halal wa al-haram ghuliba al-haram).

Dalam pandangan DSN-MUI kaidah tersebut tidak cocok diterapkan di bidang ekonomi. Kaidah tersebut lebih cocok digunakan dalam bidang pangan, khususnya yang cair. Halal-haram dalam bidang pangan terkait dengan bahannya (‘ain), sehingga jika terjadi percampuran maka akan terjadi persinggungan dan persenyawaan yang sulit dipisahkan. Dalam kondisi seperti itu maka tepat menggunakan kaidah “apabila bercampur antara yang halal dan yang haram, maka percampuran tersebut dihukumi haram” (idza ijtama’ al-halal wa al-haram ghuliba al-haram).

Sedangkan apabila pemisahan antara yang halal dari yang haram dapat dilakukan, misalnya dalam kasus percampuran antara harta yang halal dan yang tidak halal, maka kaidah (idza ijtama’ al-halal wa al-haram ghuliba al-haram) ini tidak cocok diterapkan, dan yang lebih tepat adalah menggunakan kaidah pemisahan yang halal dari yang haram (tafriq baina al-halal ‘ani al-haram). Penjelasannya, bahwa harta atau uang dalam persepektif fikih bukanlah benda haram karena zatnya (‘ainiyah) tapi haram karena cara memperolehnya yang tidak sesuai syariah (ligairih), sehingga dapat untuk dipisahkan mana yang diperoleh dengan cara halal dan mana yang non-halal. Dana yang halal dapat diakui sebagai penghasilan sah, sedangkan dana non-halal harus dipisahkan dan dialokasikan untuk kepentingan umum.

Dasar kaidah ini dapat dirujuk dari keterangan para ulama. Ibnu Shalah menyatakan sebagaimana dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitab Al-Asbah wa al-Nadzair:

لواختلط دراهم حلال بدراهم حرام ولم تتميز فطريقه ان يعزل قدر الحرام ويتصرف الباقي , والذى عزله ان علم صاحبه سلمه اليه والا تصدق به عنه

Jika uang yang halal tercampur dengan uang yang haram dan tidak dapat dibedakan, maka jalan keluarnya adalah memisahkan bagian yang haram serta menggunakan sisanya. Sedangkan bagian haram yang dikeluarkan, jika ia tahu pemliknya maka ia harus menyerahkannya atau bila tidak maka harus disedekahkan.

Senada dengan hal tersebut Ibnu Taimiyyah dalam kitab Fatawa Ibn Taimiyyah menyatakan:

من اختلط بماله الحلال والحرام اخرج قدر الحرام والباقى حلال له

Jika seorang hartanya tercampur antara unsur yang halal dan yang haram maka unsur haram harus dikeluarkan nominalnya, dan sisanya halal baginya.

Teori tafriq al-halal ‘an al-haram digunakan di fatwa DSN-MUI dengan pertimbangan bahwa dalam konteks Indonesia kegiatan ekonomi Syariah belum bisa dilepaskan sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Setidaknya institusi ekonomi Syariah berhubungan dengan institusi ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh.

Contoh pertama, Pendirian bank syariah atau unit usaha syariah (UUS) oleh Bank Konvensioanl; teori tafriq al-halal min al-haram merupakan jawaban atas komentar banyak pihak tentang berdirinya bank-bank syariah, terutama UUS yang dibentuk atau didirikan oleh bank-bank konvesional. Di antara umat Islam ada yang meragukan kehalalan produk Unit Usaha Syariah karena modal pembentukan berasal dari bank konvensional yang termasuk perusahaan ribawi. Teori tafriq al-halal min al-haram diaplikasikan dengan cara mengidentifikasi seluruh uang yang menjadi milik bank konvensional sehingga diketahui mana yang merupakan bunga dan mana yang merupakan modal atau pendapatan yang diperoleh dari jasa-jasa yang tidak didasarkan pada bunga. Pendapatan bank yang berasal dari bunga disisihkan terlebih dahulu, maka sisanya dapat atau boleh dijadikan modal pendirian bank syariah atau UUS karena diyakini halal.

Bapak Presiden dan Hadirin-hadirat yang berbahagia…

Kaidah berikutnya dalam upaya penerapan solusi fikih adalah i‘adah al-nazhar (telaah ulang). Telaah ulang terhadap pendapat ulama terdahulu bisa dilakukan dalam hal pendapat ulama terdahulu dianggap tidak cocok lagi untuk dipedomani karena faktor sulit diimplementasikan (ta‘assur, ta’adzdzur aw shu’ubah al-amal). Telaah ulang salah satu caranya dilakukan dengan menguji kembali pendapat yang mu’tamad dengan mempertimbangkan pendapat hukum yang selama ini dipandang lemah (marjuh bahkan mahjur), karena adanya ‘illah hukum yang baru dan/atau pendapat tersebut. lebih membawa kemaslahatan; kemudian pendapat tersebut dijadikan pedoman (mu’tamad) dalam menetapkan hukum.

Teori ini merupakan jalan tengah atau moderat di antara pemikiran pakar hukum ekonomi syariah yang terlalu longgar (mutasahil) dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum ekonomi syariah, sehingga ekonomi Islam terjebak pada labeling. Sebaliknya dengan teori ini pengembangan ekonomi Islam tidak terlalu ketat dan terikat dalam kaidah-kaidah dan pemikiran fiqh klasik yang mungkin sulit diaplikasikan kembali pada era sekarang (mutasaddid). Dasar teori ini adalah kaidah: “Hukum itu berjalan sesuai dengan illah-nya, ada dan tidak adanya (illah) (al-hukm yaduru ma‘a ‘illatihi wujud[an] wa ‘adam[an]).

Contoh penerapannya adalah fatwa terkait posisi wakil dalam akad sewa-menyewa; wakil boleh menyewa benda yang dipercayakan kepadanya untuk disewakan. Pendapat ini dijadikan pegangan oleh DSN-MUI meskipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama setelah melakukan telaah ulang (i‘adah al-nazhar) terhadap ‘illah hukum yang dikemukan Jumhur ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan bagi wakil menyewa benda yang diserahkan kepadanya untuk disewakan kepada orang lain karena adanya tuhmah (diduga kuat ada kebohongan) dari wakil sehingga dapat merugikan pemilik. Namun bila dilakukan telaah ulang terhadap ‘illah hukum tersebut, maka ‘illah hukum tersebut akan hilang bila pemilik memberikan tarif yang jelas terhadap benda yang akan disewakan kepada wakilnya, lalu wakil menyepakati tarif tersebut dan kemudian ia menyewa sendiri harta benda tersebut.

Contoh berikutnya adalah transaksi kafalah bil ujrah (pertanggungan dengan upah) dengan menyandarkan kepada pendapat sebagian kecil ulama yang berbeda dengan jumhur ulama yang melarangnya. Berdasarkan hal itulah bahwa Letter of Credit yang mana penjamin menerima upah dibolehkan dalam fatwa DSN MUI Tahun 2009.

Hukum “boleh” ini didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga tidak haram hawalah dengan imbalan. Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut madzhab Syafi’i, hukumnya boleh walaupun menurut beberapa ulama mengharamkan dan ada pula yang menetapkan makruh hukumnya. Fatwa DSN-MUI menyandarkan pendapat ulama Syafi’iyah yang membolehkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju’alah.

Sedangkan tahqiq al-manath (Analisa Penentuan Alasan Hukum/’Illat)  adalah analisa untuk mengetahui adanya alasan hukum (‘illah) lain dalam satu kasus, selain illat yang diketahui sebelumnya, baik melalui nash, ijma, ataupun istinbath.

Contoh penerapannya adalah Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Murabahah Emas. Fungsi emas dalam sejarah Islam adalah sebagai alat tukar/uang. Oleh karena itu, jika emas akan diperjualbelikan maka harus dilakukan secara tunai untuk menghindarkan terjadinya riba nasa’ (riba karena pertukaran barang ribawi sejenis yang dilakukan tidak secara tunai). Dalam Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, dibolehkan emas dijadikan obyek jual beli tidak tunai, baik secara angsuran (taqsith) maupun tangguh (ta’jil) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang). Keputusan ini antara lain didasarkan atas alasan bahwa saat ini masyarakat dunia tidak lagi menjadikan emas sebagi alat tukar (uang), tetapi memperlakukannya sebagai barang (sil’ah), oleh karena itu larangan menjual belikan emas secara tidak tunai berdasarkan hadis Nabi tidak berlaku lagi karena illat hukum larangan telah berubah”

Semua hal yang disebutkan di atas dilakukan karena ada kaedah bahwa hukum asal dalam ekonomi syariah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya (al-ashl fi al-mu’amalat al-ibahah hatta yadull al-dalil ‘ala al-tahrim). Sehingga membuka lebar pintu untuk melakukan terobosan dan inovasi-inovasi dalam perumusan hukum Islam terkait ekonomi syariah.

Bapak Presiden dan Hadirin-Hadirat yang saya muliakan…

Demikianlah, fatwa DSN-MUI yang dirumuskan dengan menggunakan terobosan dan solusi fikih selama ini menjadi triger yang menimbulkan efek berantai, baik dari sisi peraturan perundang-undangan, terbentuknya kelembagaan di instansi pemerintah sebagai regulator, terbentuknya lembaga keuangan dan bisnis syariah beserta seluruh jaringannya, prodi di Perguruan tinggi, dan masyarakat madani sehingga akhirnya membentuk arus dan era baru ekonomi syariah di Indonesia.

 

Demikian dan terimakasih.

 

 

Malang, 24 Mei 2017

Prof. Dr. (H.C.) K.H. Ma’ruf Amin

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment