Harapan Baru Bagi Anak-Anak yang Terabaikan

Harapan Baru Bagi Anak-Anak yang Terabaikan

Harapan Baru Bagi Anak-Anak Yang Terabaikan

Catatan tentang Perilaku H terhadap Gurunya Dinda Budi

“Selamat malam mas” begitu sapa Lila, malam itu. Saya memang tak tahu siapa Lila. Tapi dari gores tulisannya, saya meyakini Lila menyiratkan pesan sebagai sosok yang teduh bagi mereka yang membutuhkan.

Malam itu percakapan mengalir seputar keberpihakan dan kepedulian terhadap mereka yang terhempas atas nama sebuah kebijakan. Tragedi Sampang atas gugurnya sang biolist Umar Bakri, dinda Budi Cahyono juga tak luput dari obrolan tak berarah. Nasib H, sang murid yang diduga menyebabkan kematian Pak guru Budi tak luput pula dalam bincang cengkrama.

“Mengapa bisa terjadi?” Tanyaku pada Lila.

“Menurut saya, anak-anak zaman sekarang memang berbeda dengan anak-anak zaman dahulu. Kalau anak-anak zaman dahulu masih sangat kental terikat dengan nilai dan norma, sehingga dalam berperilaku, mereka akan sangat hormat terhadap orang tua dan guru”, jawabnya.

“Apakah itu berarti anak-anak zaman sekarang sudah kehilangan nilai dan norma, sehingga mereka telah kehilangan kesantunannya?” Tanyaku lagi.

“Tidak selalu begitu”, jawabnya. “Anak-anak itu kan punya keluarga, punya orang tua, sehingga menurut saya, apa yang dilakukan oleh anak-anak di luar rumah, bukan tidak mungkin mencerminkan apa yang terjadi dirumah”, begitu urai Lila.

Malam itu, kalimat terakhir Lila mengingatkan saya pada sebuah peribahasa “buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Saya mencoba mengingat-ingat beberapa analisa tentang perkembangan jiwa yang ditulis oleh beberapa ahli, ketemulah nama Freud.

Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) selalu disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya.

Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:

Id, berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata. Superego, berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya. Ego, adalah pengawas realitas.

Pemahaman saya tentang ini bahwa di dalam diri setiap manusia mempunyai kecenderungan sesuatu yang menyenangkan dan memuaskan, apapun yang menyenangkan dan memuaskan diri akan cenderung kita lakukan, hanya ego atau saya menyebutnya “suara hati” yang bisa menjadi pengingat atas sikap kita dalam melakukan pemuasan diri.

Ini juga berlaku pada kisah gugurnya sang Biolist Umar Bakri, dan si murid “khilaf” H. Saya meyakini apa yang dilakukan oleh Pak Budi adalah sesuatu yang benar dan harus, tetapi bukankah sesuatu yang benar harus dilakukan dengan cara yang benar. Cara yang benar itu seperti apa?  Ukurannya sederhana saja menurut saya, yaitu kalau kita memberi tahu seseorang atas kesalahannya, maka orang yang kita kasih tahu, tidak merasa digurui atau dilemahkan martabatnya. Sehingga siapapun akan menerima dengan lapang dada.

Begitu juga setelah kejadian “pukulan” H yang menyebabkan syahid-nya adinda Budi,  Sang Biolist Umar Bakri, saya meyakini suara ego H, pasti mengalami penyesalan yang dalam. H tidak menyangka apa yang dilakukannya menyebabkan Sang Guru yang seharusnya dijunjung tinggi martabatnya dan dihormati, dia lawan untuk memenuhi kepuasannya, melampiaskan kemarahannya yang berujung pada penyesalan. H merasakan dirinya menjadi murid “durhaka”. Tapi penyesalan kemudian tidak berguna, biarlah H sekarang menjalani masa-masa bercengkrama dengan suara hatinya yang jujur. Kita doakan agar adinda Budi damai dalam pelukan kasih Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Buat H segeralah meminta maaf pada Allah dan keluarga Pak Budi dan seluruh guru dan orang-orang yang berjasa mengajarkan kebaikan,  agar dosa ini bisa dipertanggung jawabkan kelak di hari ketika tangan dan kaki bicara.

Sesungguhnya apa yang kita lakukan hari ini tidak terlepas dari kebiasaan yang kita dapatkan sebelumnya. Peristiwa hari ini mencerminkan perlakuan yang kita dapatkan kemarin.

Padahal sejatinya seharusnya kita bisa meneladani apa yang disampaikan oleh Muhammad Rasulullah “hari ini harus lebih baik dari kemarin, esok harus lebih baik dari hari ini, sebaik-baik manusia adalah mereka yang bisa berbuat baik bagi lingkungannya”. Semoga kita menjadi salah satunya. Aamiin.

Terima kasih Lila, Anda telah menjadi harapan baru bagi tersemainya kebaikan bagi anak-anak kita yang terabaikan.

“Saya bersyukur dipilih Tuhan untuk berbagi kasih dan kenyataan hidup dengan orang-orang di sekitar saya Mas isa. Karena berpikir untuk maju dengan sendirinya tanpa dukungan dan kebersamaan itu hal yang tidak mudah buat orang-orang yang merasa tertindas”

Oleh: Isa Ansori
*Surabaya,  7 Februari 2018
*Pengajar di STT Malang,  Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak Jatim dan Anggota Dewan Pendidikan Jatim

Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment