Di beberapa waktu belakangan ini, kita mendapati sebuah fenomena baru di era media sosial di mana tiap orang nampak begitu antusias mencurahkan seluruh hidup atau waktunya untuk urusan politik. Tak terlalu sulit menemukan di medsos kawan, kolega, relasi, dan netizen yang mayoritas membagikan kiriman seputar politik. Contoh terdekat adalah ditangkapnya beberapa orang karena konten yang mereka bagikan. Terlepas dari muatan politis dibaliknya, orang-orang tersebut –mulai dari ibu-ibu dosen hingga takmir masjid—bukanlah kalangan politisi, tapi suka menghabiskan waktunya dengan membagikan puluhan konten bernuansa politis setiap hari.Maksud saya, apa yang membuat orang-orang biasa dan bukan elit politik ini begitu agresif membagikan konten bernuansa politis, bahkan hingga mereka harus mengorbankan diri ditangkap aparat karena disinyalir melanggar hukum?
Beberapa orang yang ditangkap ini bisa jadi hanya gunung es dari sekian banyak kelakuan netizen yang mendadak menjadi pengamat politik, seolah akan kiamat jika lawan politiknya langgeng berkuasa. Bisa jadi, politik memang penting karena menentukan hajat hidup orang banyak. Namun, apa harus sebegitunya? Apa benar politik adalah persoalan yang paling fundamental, terlebih bagi seorang Muslim?
Apakah Politik adalah Aspek yang Terpenting dalam Hidup seorang Muslim?
Murid dari Syed Naquib Al-Attas, Dr Ugi Suharto, dalam sebuah kuliah umum mengungkapkan satu hal yang menarik: jangan terlalu serius dengan politik, yang sedang-sedang saja. Apa maksudnya?
Beliau menyebut bahwa dalam politik tak ada konsistensi dan kadang tidak logis, sebab politik membutuhkan kecepatan bertindak bahkan pragmatisme untuk mencapai tujuannya. Hatta manakala Daulah Islamiyah tegak sekali pun, seorang khalifah sebagai pemimpin politik sangat berpeluang untuk menyimpang.
Masa Bani Umayyah sudah amat kotor oleh kehadiran pemimpin seperti Al Walid ibn Yazid yang merobek-robek Al Qur’an, minum khamr di atas Ka’bah, dan membunuhi rakyatnya. Masa itu semakin kotor oleh hadirnya Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi yang membunuhi para sahabat termasuk Ibnu Zubair hingga Putra Abu Bakar dan sahahabat lain, dan menjadikan cacian bagi Ali bin Abi Thalib di setiap khutbah jum’at. Ribuan bahkan ratusan ratusan ribu jiwa tak bersalah dibunuh dengan keji di masa kerajaan keturunan Muawiyah itu.
Jika melihat masa Bani Abbasiyah, kita juga akan menemukan keadaan tak jauh lebih baik dari masa Bani Umayyah. Kekuasaannya yang diawali kudeta politik Abbas As Saffah, yang ketika sampai pada kekuasaannya maka tertumpahlah banjir darah, melayang puluhan ribu nyawa tak bersalah. Puluhan ribu nyawa itu diigantung dengan lidah, dipreteli tulangnya, dijadikan makanan bagi anjing-anjing. Kita mengenal nama Al-Manshur dimasa Bani Umayyah, tumpah darah Imam Abu Hanifah akibat ratusan cambukan di punggungnya. DIpenjarakan juga para ulama’ bahkan yang sekelas Sufyan Ats Tsauri.
Melihat kelamnya kekuasaan, bahkan dimasa tegaknya Daulah Islamiyah atau lebih jauh lagi di masa para Shahabat dan Shahabiyah ketika perang Jamal dan perang Shiffin pecah, maka posisi kekuasaan dalam perjuangan Islam seyogyanya tidak dijadikan sebuah tujuan akhir, seolah jika umat Islam telah berkuasa maka akan selesai segala urusan. Kita lihat juga contoh bagaimana negara-negara Timur Tengah saat ini, yang meski umat Islam masih berkuasa di sana tetapi tak berkutik menghadapi hegemoni Barat dan kesombongan Israel, serta belum mampu mengupayakan kemerdekaan Palestina.
Musim Semi Arab (“Arab Spring”) yang ditengarai akan menjadi momentum kebangkitan umat Islam melalui demokrasi pun berakhir nahas. Di Mesir, Ikhwanul Muslim meski sempat memegang negara dalam hitungan yang singkat pada akhirnya diruntuhkan. Presidennya, Muhammad Mursi, dipenjara hingga hari ini. Keadaan lebih tragis lagi terjadi di Suriah, kala gelombang protes yang diharapkan mampu menumbangkan kediktatoran Bashar Assad berujung pada pertumpahan darah hingga detik ini.
Dengan sifat politik yang dinamis, rentan dimasuki ragam kepentingan dan ambisi pribadi, berubah menyesuaikan keadaan untuk tetap bertahan hingga saling jatuh-menjatuhkan, kita perlu bertanya apakah pokok perbaikan memang ada di sana?
Lantas apa yang lebih penting?
Dalam struktur Pemikiran Islam yang disarikan oleh Dr. Ugi Suharto dari gurunya, Syed Muhammad Naquib Al Attas, politik bukanlah hakikat persoalan umat, dan perpecahan yang sejati bukanlah perpecahan politik, pun persatuan sejati bukanlah persatuan politik. Ada substansi yang lebih penting ketimbang politik yang secara alami memang mau tak mau memecah belah.
Jika kita kembali ke Struktur Pemikiran Islam, hal yang paling pokok dalam Islam adalah cara pandang seorang Muslim terhadap berbagai persoalan hidup dan eksistensi, atau yang kini biasa disebut sebagai worldview. Dr. Abas Mansur Tamam menyederhanakannya dengan penjelasan bahwa pokok Islamic Worldview adalah Aqidah dan Syariah. Dalam tataran ini, Naquib Al attas menyebut bahwa umat Islam bersepakat dan cenderung jauh dari perpecahan. Dalam Bahasa Imam Syahid Hasan Al Banna, “worldview” (meski tak disebut demikian dan masih berbentuk sederhana) dirumuskan dengan 20 urusan pokok yang disebut Ushul Isyrin. Ia menjadi landasan hidup dan kehidupan yang karena betapa pokoknya urusan itu, ia akan disepakati oleh tiap Individu Muslim.
Singkat cerita, setelah worldview, turunannya dalam struktur pemikiran islamadalah Kalam, yakni bagaimana mengartikulasikan worldview dalam bahasa rasional. Artikulasi tersebut akan berujung pada perbedaan Aqidah yang akhirnya menjadi pemisah antara Mu’tazilah, Syiah, dan Ahlus Sunnah. Turunan dari Kalam berkaitan dengan fiqh, yang membahas bagaimana seorang Muslim berhujjah untuk beramal dan beribadah. Dalam level kalam dan fiqh ini mulai terjadi perbedaan namun tidak sesignifikan turunannya ,yang merupakan cabang dari fiqh, yakni segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan bermasyarakat. Tataran ini mencakup ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Di aspek ini terlebih politik, seperti dijelaskan sebelumnya, ragam perbedaan terus terjadi dan amat dinamis.
Dalam struktur pemikiran yang paling rendah terutama politik, pemegang otoritas adalah penguasa yang tiap waktu terus berubah dengan dinamikanya. Guna meraih otoritas tersebut, beragam cara bisa digunakan. Sementara dalam struktur pemikiran yang lebih tinggi, otoritas dipegang oleh para Ulama’, dan kita semua mengetahui bagaimana Al Qur’an dengan gamblang menyebut bahwa ulama mewarisi Nabi, yakni mewarisi keilmuan dan kewaro’annya.
Otoritas para ulama’ ini adalah otoritas yang lebih tulus dan kokoh karena berlandaskan ilmu, bukan otoritas politik yang sejatinya amat rentan melandaskan dirinya pada nafsu. Otoritas keilmuan akan diakui secara sukarela oleh siapa pun, jika memang berkualitas, meski mereka berbeda pandangan politik. Otoritas itu diraih tanpa kampanye dan urusan-urusan transaksional lain seperti di dunia politik.
Dengan memperbaiki logika bahwa persoalan umat Islam paling pokok bukan pada urusan politik, dan memahami Islam melalui struktur pemikiran Islam, narasi Islam sebagai Rahmat bagi Semesta Alam lebih mudah dicerna dan dipahami ketimbang berusaha menebar rahmat dengan penguasaan dan kekuasaan politik. Singkat cerita, urusan pokok dari umat Islam adalah bagaimana risalah islam sampai kepada semua manusia.
Ibroh Kekalahan Politik
Ada kutipan menarik dari sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, yakni “Sesungguhnya Allah akan menguatkan dien ini dengan laki-laki fajir.”. Ada hikmah yang terselip dari hadits ini tentang bagaimana osisi kekalahan secara politik terkadang justru menguntungkan umat, dalam jangka pendek atau jangka panjang.
Di bagian atas, saya sudah menceritakan bagaimana kudeta Bani Abbasiyah terhadap Bani Umayyah menumpahkan darah puluhan ribu jiwa, namun Allah menyisakan hikmah dari kudeta tersebut. Andai saja Bani Abbasiyah tidak melakukan kudeta politik terhadap bani Umayyah, ajaran Islam mungkin tidak akan sampai ke Eropa.
Akibat kudeta politik itu, kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus berakhir pada tahun 750 M, dan kekhalifahan berpindah ke tangan Bani Abbasiyah. Penerus Bani Umayyah, Abdurrahman ad-Dakhil, beruntung dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan Bani Abbasiyah dan lalu masuk ke Andalusia. Ia kemudian mendirikan pemerintahan sendiri dan mengangkat dirinya sebagai amir, dengan pusat kekuasaan di Cordoba. Di Andalusia, Peradaban Islam berkembang dengan cukup pesat ke penjuru Eropa. Kita kini mengenal nama-nama ilmuwan besar seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm, Ibnu Arabi hingga Imam Al Qurthubi, yang lahir di kota tersebut.
Contoh lain yang bisa dirujuk sebagai argumen adalah kisah dari Boznia Herzegovina. Pada awal 1990an, Bosnia mendapatkan tekanan dan genosida dari Serbia dan Kroasia. Di saat sebelum pembersihan etnis tersebut, ruh keislaman hanya tersisa sebagai identitas di sana. Namun pasca genosida yang disebabkan oleh identitas keislaman etnis Bosnia, mereka berusaha mencari akar identitas tersebut, yakni Islam. Islam yang dulu tinggal nama perlahan-lahan membaik. Muslim di Bosnia menjadi semakin taat di bawah panduan seorang Ulama yang sekaligus menjadi Mufti di sana, yakni Syaikh Mustafa Ceric.
Andai Terjun ke Politik: Menjadi Negarawan
Ulasan singkat ini bukan bertujuan untuk menihilkan politik sama sekali, namun berusaha menarik politik pada kutub yang peripheral (menjauh dari pusat) karena kekuasaan politik bersifat sementara. Kebijakan berganti bergantung pada yang berkuasa hingga amat rentan melahirkan konflik. Hari ini, pertarungan politik terlebih di dunia maya antara para Buzzer pendukung satu kutub politik dengan kutub politik lain seolah merupakan urusan hidup dan mati, padahal kutub politik itu amat mungkin berubah mengikuti kepentingan masing-masing.
Maka, ketika dijadikan urusan peripheral dan subordinasi dari tujuan lain yang lebih pokok yakni perkara wolrdview, politik justru akan menjadi lebih substantif dalam mewujudkan perubahan. Para politisi akan meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan yang sempit, berhenti menjadi oportunis saat merebut tiap kesempatan untuk mencari keuntungan, karena mereka menjadi Negarawan. Politisi-politisi baik yang berbeda partai dan golongan akan berhimpun dan bahu-membahu mewujudkan kemaslahatan umat, dan kita sebut mereka sebagai Negarawan.
Para Negarawan yang telah memandang politik dengan Islamic Worldview ini akan meninggalkan definisi politik sebagai upaya untuk mengejar kemenangan, namun mengejar ridho Allah, dan Allah hanya meminta hambanya untuk berusaha, sehingga pada akhirnya mereka tak akan menghalalkan segala cara. Karena sekali lagi ada urusan lain yang lebih penting ketimbang politik, posisi seorang politisi akan dipandang setara dan mungkin sama pentingnya dengan posisi lain seperti Hakim, Pengacara, Insinyur, Akademisi, Tenaga Medis dan sebagainya.
Jadi bagi siapa pun, jika telah memahami urusan yang lebih substantif dari sekedar politik praktis itu, sikapnya terhadap politik seharusnya adalah santai Saja, karena mereka akan lebih menaruh perhatian kepada urusan peradaban yang akan melahirkan lompatan besar!.
Wallahu a’lam bisshowab
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Lentera, dan dimuat kembali dengan gubahan seperlunya. Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net