Suaramuslim.net – Kurang dua bulan lagi umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadhan. Sebelum memasuki bulan penuh berkah dan ampunan itu, masyarakat Indonesia, khususnya Budaya Jawa, memiliki tradisi khusus menyambut datangnya puasa.
Di minggu terakhir Bulan Sya’ban atau sehari menjelang puasa Ramadhan, masyarakat di Jawa umumnya membagi-bagikan kue dan makanan lainnya ke sesama tetangga di lingkungan tempat tinggal. Ada juga yang dipusatkan di musholla dan masjid. Usai melakukan doa bersama, kue Apem akan dibagikan kepada para jamaah secara gratis. Tradisi inilah yang dinamakan megengan.
Apem menjadi sajian simbol dari budaya megengan. Megengan berasal dari bahasa Jawa ‘megeng’ yang berarti menahan diri, identik dengan makna puasa. Makanan berbahan dasar tepung beras ini boleh dikatakan bagian dari tradisi kejawen. Maka, tak heran jika kue Apem selalu dipergunakan pada beberapa acara penting dan sakral. Seperti acara tasyakuran atau dalam bahasa Jawa disebut selametan.
Pada dasarnya istilah Apem diambil dari bahasa Arab, ‘afuan’ atau ‘afuwwun’, artinya ampunan. Namun oleh masyarakat Jawa kemudian disederhanakan menjadi ‘Apem’. Menurut filosofi Jawa, Apem merupakan simbol tolak bala dan permohonan ampun atas berbagai kesalahan.
Ada juga yang memaknai apem sebagai simbol rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rezeki. Ini seperti yang pernah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam prosesi Tingalan Dalem Jumenengan ke-24. Yaitu sebuah peringatan atas kenaikan tahta Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2012.
Lain halnya di kota Cirebon. Masyarakat Cirebon memaknai apem sebagai kue kebersamaan atau silaturahmi. Dalam budaya masyarakat yang terkenal dengan sebutan kota udang itu, apem dibagikan secara gratis ke sesama tetangga saat memasuki bulan Safar (bulan ke-2 perhitungan kalender Hijriyah). Selain merepresentasikan makna kebersamaan, kue bertekstur agak kenyal itu juga menjadi simbol tolak bala.
Awal Mula Budaya Megengan
Perlu diketahui, budaya megengan ini bermula dari kisah Sunan Kalijaga, salah satu ulama wali songo (baca; wali sembilan). Ceritanya, salah satu murid Kanjeng Sunan Kalijaga, Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, pulang dari ibadah haji. Dia melihat kondisi penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, mengalami kelaparan.
Lalu sang sunan membuat kue Apem dan dibagikan kepada warga yang kelaparan itu sambil mengajak mereka mengucapkan kalimat dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Singkat cerita, penduduk yang kelaparan menjadi kenyang usai menyantap Apem sambil berdzikir. Sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan penduduk setempat untuk terus menghidupkan tradisi upacara Ya Qowiyyu setiap bulan Safar.
Seperti kita ketahui bahwa kesuksesan para wali songo dalam penyebaran agama Islam di seluruh penjuru negeri ini karena strategi dakwahnya bisa diterima masyarakat, meskipun mayoritas penduduk saat itu mememeluk agama Hindu-Budha. Sunan Kalijogo merupakan salah satu wali yang melakukan dakwah pada masyarakat Jawa pedalaman (khusunya Jawa Timur dan Jawa Tengah) dengan metode akulturasi budaya.
Kanjeng sunan menggunakan pendekatan psikologi budaya, sehingga menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat menganggu syiar islam. Dalam praktek akulturasi budaya, Kanjeng Sunan mengubah kebiasaan jahilliyah yang dilakukan masyarakat Jawa dan memasukkan muatan nilai-nilai keislaman. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. pernah bersabda, bahwa agama itu mudah, maka mudahkanlah, jangan dipersulit dalam pelaksanaannya.
Kesimpulannya, meski kue Apem dan tradisi megengan hanyalah sebentuk kue dan warisan tradisi kejawen yang telah diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Namun substansi maknawi dari afwan dan megeng-nyalah yang hendak kita raih dalam mengahadapi bulan suci Ramadhan. Yaitu upaya permohonan ampun yang disertai dengan perbaikan diri dengan cara mengendalikan hawa nafsu.
Kontributor: Siti Aisah*
Editor: Oki Aryono
*Lulusan S1 Ilmu Komunikasi Unair