Suaramuslim.net – Era digital yang ditandai dengan kecanggihan teknologi informasi ini patut diapresiasi. Namun, bagai dua sisi mata uang, hal-hal negatif yang bisa ditimbulkannya perlu diantisipasi. Misalnya persoalan hoaks yang melanda jagat media pada umumnya. Maka, fenomena ini perlu dicarikan solusi.
Al Quran sebagai kalam Allah Subhanahu wata’ala, memberikan solusi jitu. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Hujurat [49] ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al Hujurat [49]: 6)
5 Poin Mengatasi Hoaks
Dari ayat ini, bisa disarikan 5 poin untuk mengatasi hoaks. Pertama, bentengi diri dengan keimanan. Pada ayat ini, yang dipanggil oleh Allah adalah orang-orang beriman. Ini sangat beralasan karena yang bisa menjalankan perintah pada ayat ini adalah orang-orang beriman.
Mengapa mesti orang beriman? Hal ini bisa dibaca dari hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan indikator orang-orang beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
“Seorang mukmin (yang sejati) adalah orang yang mana manusia lainnya selamat dari (bahayanya) pada darah dan harta mereka”. (HR. Tirmidzi)
Kata kunci dari hadits ini adalah orang beriman sejati adalah yang mampu menimbulkan rasa aman di sekelilingnya. Sehingga, orang merasa tentram dan nyaman bersamanya karena darah, harta bahkan kehormatannya akan aman bersamanya.
Kedua, mempertimbangkan siapa penyebar berita. Pada ayat ini, yang membawa berita heboh (besar) adalah orang fasik. Menurut catatan Ibnu Katsir dalam “Tafsir al-Qur’ân al-‘Adzîm” (1420: VII/370) yang dimaksud dengan orang fasik adalah “majhûlul-hâl” (orang yang tidak dikenal identitasnya). Artinya, jika ada orang dengan tipe demikian membawa berita besar yang bisa menghebohkan tatanan sosial, maka perlu diwaspadai.
Dalam catatan Ibnu Katsir, kebanyakan ulama menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah ketika Walid bin ‘Uqbah diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengambil zakat yang dikumpulkan oleh Harits bin Dhirâr, sebelum sampai tujuan –lantaran takut- akhirnya ia kembali dengan membawa berita bohong bahwa Harits tidak mau memberi zakat yang telah dikumpulkan bahkan ingin membunuhnya. Setelah dicek, ternyata berita itu tidak benar, sehingga turunlah ayar ini.
Ketiga, tabayyun (klarifikasi). Langkah ini adalah langkah yang sangat jitu dalam memberantas hoaks. Karena dengan mengklarifikasi kebenaran berita besar yang disampaikan oleh orang yang fasik, maka muslim tak gampang termakan berita hoaks, sekaligus tak begitu mudah dalam menyebarkannya. Dalam masalah ini, ada riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Katsir:
التَّبيُّن مِنَ اللَّهِ، والعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sikap pelan-pelan (klarifikasi) itu dari Allah, dan sikap tergesa-gesa itu dari setan”. (HR. Al-Baihaqi)
Di sini ditegaskan bahwa sifat kehati-hatian adalah berasal dari Allah sedangkan tergesa-gesa adalah dari setan. Orang yang terbiasa menyebar hoaks tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, maka dia terindikasi mengikuti jejak-jejak setan. Dengan demikian maka, melalui kehati-hatian, pelan-pelan dan tak gampang memakan berita, maka umat Islam –insyaallah- akan terhindar dari perilaku hoaks.
Keempat, terukur kadar manfaat dan bahayanya. Menurut ayat ini, berita yang diterima dengan mentah-mentah tanpa tabayyun, akan menimbulkan dampak negatif secara sosial. Maka, untuk mengatasi hoaks, di samping harus mempunyai bekal iman, melihat pembawa berita dan klarifikasi, maka selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah menimbang kadar bahaya dan manfaat dari berita yang akan disebarkan.
Meski berita itu fakta dan benar, kalau kadar buruknya lebih besar dari manfaatnya, maka tidak perlu disebarkan. Dari sini, bisa dipahami hadits yang diriwayatkan Muslim:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar”.
Ini karena, tidak semua yang didengar itu benar, dan tidak semua yang benar itu menimbulkan manfaat jika dikatakan kepada orang lain. Maka, menimbang kadar bahaya dan manfaat sebelum menyampaikan berita adalah solusi jitu dalam mengatasi hoaks.
Kelima, tidak berdampak negatif. Selanjutnya adalah memastikan bahwa berita itu tidak berdampak negatif pada diri pribadi dan orang lain jika disebarkan. Dalam ayat ini paling tidak dampak negatifnya ada dua yaitu merugikan orang lain dan menimbulkan penyesalan pribadi lantaran ceroboh dalam menyampaikan berita.
Jadi, untuk mengatasi hoaks di era digital bisa dilakukan lima hal:
- Membentengi diri dengan iman yang kokoh,
- Meninjau sumber dan pembawa berita,
- Melakukan klarifikasi,
- Menimbang kadar manfaat dan bahaya,
- Memastikan bahwa berita yang akan diterima dan disampaikan kepada orang lain tidak menimbulkan bahaya, baik bagi diri maupun orang lain.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten AQL Islamic Center (Pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir), alumnus Univ. Al Azhar Mesir