Suaramuslim.net – Apa itu realitas? Menurut kamus besar bahasa Indonesia realitas dipahami sebagai sebuah kenyataan. Dalam bahasa sehari dipahami sebagai hal nyata dan ada. Lalu bagaimana kita mengukur sesuatu itu ada? Tentu ada kaitannya dengan cara bekerja indera kita. Apakah sesuatu yang tidak dapat kita jangkau dengan indera kita, bisa dikatakan tidak ada?
Seringkali orang berdebat tentang sebuah realitas, namun sayangnya realitas yang didapati sejatinya realitas tidak sesungguhnya. Loh adakah sebuah realitas yang tidak sesungguhnya? Tentu ada, coba Anda lihat iklan-iklan di televisi, disana diperlihatkan seorang model yang menggunakan sebuah produk, sebut saja shampoo, hasilnya rambut sang model terlihat indah. Mengapa saya sebut itu sebuah realitas yang tidak sesungguhnya? Ya memang karena tidak ada bukti kaitan antara keindahan rambutnya dengan shampoo yang diiklankan.
Lalu adakah realitas itu yang sesungguhnya? Tentu ada, misalnya seperti yang terjadi di Lamongan, seorang anak perempuan umur 10 tahun, sebut saja Indah, tidak mau sekolah, karena dia ingin merawat ibunya yang sedang sakit.
Realitas sesungguhnya dan realitas bentukan
Ternyata apa yang terjadi di dunia ini bisa merupakan sesuatu yang sesungguhnya tetapi bisa juga seolah-olah sesungguhnya, sesuatu yang dibentuk.
Realitas yang sesungguhnya seringkali tidak bisa kita simpulkan sebagaimana yang kita bisa jangkau, karena keberadaannya selalu berproses, sehingga memahami realitas diperlukan instrumen lain untuk membantu kita memahami sebuah realitas. Instrumen itu hati nurani.
Begitu juga dengan realitas bentukan, tidak dapat sesuatu yang kita jangkau dengan indera kita saat ini adalah sesuatu yang sebenarnya, karena dalam realitas bentukan ada tujuan pragmatis yang ingin dicapai, sehingga memahami realitas bentukan diperlukan kecerdasan hati nurani agar tidak terkecoh.
Realitas bentukan seringkali kita jumpai ketika menjelang perhelatan pemilihan presiden, gubernur, walikota ataupun pemilihan sampai tingkat kepala desa. Realitas bentukan berupaya membentuk “citra” seseorang sebagaimana yang diinginkan, agar orang lain mempercayainya. Sehingga bisa dipahami sebuah “citra” tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada pada diri orang yang dicitrakan.
Apa yang terjadi kalau realitas tidak sama dengan pribadi yang dicitrakan? Bisa kita pahami bahwa perilaku manusia adalah sesuatu yang dilakukan berdasarkan yang biasa dilakukan. Tidak akan mungkin orang yang biasanya perilakunya kurang sopan terhadap orang lain tiba-tiba bisa berlaku sopan dan menghargai orang lain, butuh proses panjang. Sehingga orang yang biasanya kurang sopan agak susah dipaksakan harus sopan seterusnya. Suatu saat karakter aslinya pasti akan muncul, dan hal seperti itulah yang akan menimbulkan kekecewaan bagi orang lain yang terlanjur percaya akan citra bentukannya.
Berbeda dengan sebuah citra yang dibentuk dari karakter yang sesungguhnya, akan lebih bertahan lama, karena memang yang dibentuk adalah sebuah perilaku yang sesungguhnya, sehingga akan terlihat semakin mempesona.
Nah kawan… Seringkali apa yang ditampakkan di hadapan kita adalah sesuatu yang tidak sebenarnya, namun kita dipaksa untuk mempercayainya sebagai sebuah kebenaran, sehingga kita sering terjebak dalam perdebatan semu yang tak memahami kebenaran yang sesungguhnya.
Apa yang harus kita lakukan?
Dalam perspektif tahu sejatinya orang dibedakan menjadi beberapa hal, di antaranya tahu bahwa dirinya tahu, tahu bahwa dirinya tidak tahu, tidak tahu bahwa dirinya tahu dan tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Orang yang memahami bahwa dirinya tahu kalau dia tahu, maka dia akan memahami sesuatu dengan ilmu yang dimiliki, sehingga pemahamannya akan bisa dipertanggung jawabkan. Berbeda dengan mereka yang terkategori dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Yang terjadi adalah dia akan berbicara penuh dengan kekosongan dan cenderung kebohongan, karena yang dibicarakan sesuatu yang tidak dia ketahui.
Memahami realitas yang seaungguhnya dibutuhkan ilmu, sehingga benarlah peringatan Rasulullah tanyakan dan serahkan suatu urusan itu pada ahlinya, sesuatu urusan yang dipegang oleh mereka yang bukan ahlinya, besar karena realitas yang dibentuk, maka tunggulah kehancurannya.
Sebagai pendidik, orang tua atau siapapun kita yang berkaitan dengan membangun perilaku, mari kita menjadi yang sesungguhnya dan apa adanya, menjadi orang yang tahu karena kita tahu, sehingga yang kita sampaikan adalah sesuatu yang bisa dipertanggung jawabkan. Dan kita tak akan bicara sesuatu yang tidak ketahui.
Semoga saja kita dimasukkan ke dalam golongan hamba Allah yang diberkahi dengan kebenaran. Amin.
*Ditulis di Surabaya, 8 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net