Oleh: Yusuf Maulana (penulis buku Mufakat Firasat)
Ada yang meributkan hukum darah nyamuk sampai berdebat sengit seolah persoalan asas. Saat yang sama, kalangan tersebut tak mempersoalkan hukum darah saudaranya yang ditebas; seakan masalah ringan belaka.
Demikian kegundahan teramat sangat seorang Abdullah Ibn Abbas kala menyindir lawan debatnya, kalangan Khawarij. Bertandang seorang diri ke markas lawan demi meluruskan pemahaman menyeleweng orang-orang nan bersemangat membela atas nama Islam itu.
Arkian, begitulah badai Khawarij dalam pusara sejarah. Tak semata bikin repot zaman Ibnu Abbas dan mengguncang semasa khalifah Ali Ibn Thalib. Di Jazirah maghribi, mereka juga menabuh polah yang merindingkan sesiapa saja, Apatah lagi kalangan bukan Islam. Bisa dimengerti bila sejarawan Dr Ali Muhammad ash-Shalabib harus membuat ulasan soal firqah Khawarij dalam lintasan sejarah muslimin.
Khawarij itu betapapun memang melawan fitrah berislam. Apa pasal? Mereka mudah melontarkan ucapan “mengerikan” pada sesama saudara seiman. Tak jarang hingga mengalirkan fatwa berujung pembunuhan. Sejarah catatkan hal demikian.
Repotnya, firqah ini lahir dari tubuh umat yang mengekspresikan kecintaan pada agama walau dengan jalan keliru. Atas nama cinta Islam, anggota firqah ini menghalalkan pertumpahan darah. Semuanya memakai hujjah kendati salah tempat. Maka, menghadapi mereka tak memadai dengan hanya pendekatan senjata mengingat ada kekerasan berpikir yang memerlukan penaklukan keilmuan.
Sayangnya, kekuasaan yang kerepotan melawan Khawarij lebih mudah membuat stigma dan retorika. Belum sampai menuntaskan akar persoalan beserta strategi tepat. Sudahlah kekerasan yang dikedepankan, pendekatan lunak dengan nama deradikalisasi ditempuh dengan para alim yang tidak mumpuni. Para alim itu hanya berbangga dengan label Aswaja atau manhaj sunnahnya. Mereka merasa di atas doktrin kebenaran Khawarij sehingga yang dilakukan penaklukkan klaim lawan. Bukan mengerjakan amanah memikirkan kesiapan serupa Abdullah Ibn Abbas saat menerima tantangan debat Khawarij, yang berujung kembalinya sekira 200 anggota firqah itu ke pangkuan fitrah Islam.
Lihatlah, Ibn Abbas tidak repot memroduksi klaim mereka sesat atau sebutan buruk. Sebutan ditepikan dibanding merebut kemenangan hujjah. Kekuasaan yang memakai alim yang hanya menuding pengikut Khawarij akan pasti sia-sia. Apalagi bilamana kekuasaan itu tidak serius sbenarnya dengan keberadaan Khawarij. Diam-diam mereka dijadikan komoditas proyek. Di sinilah para alim hanya jadi tukang stempel kekuasaan yanh seyogianya tak serius menghapus keberadaan Khawarij di satu negeri. Malahan yang ada melupakan Khawarij bentuk lain di luar teologi, yakni kelompok masyarakat yang mudah melabel pihak lain dan mendakwa dirinya paling sahih dalam suatu pendapat, yang diikuti dengan artikulasi tindakan masif dan serentak di banyak kanal media.
Sebagaimana dalam lautan luas niscaya ada badai, begitu pula sebanyak muslimin dengan kepala berbeda dan lingkungan serta sejarah beragam. Akan ada potensi di tubuh umat menjadi badai. Bukan badainya yang dienyahkan sebab ia tak kuasa buat kita dilenyapkan. Selalu ada ada bentangan zaman perilaku serupa atau selaku Khawarij. Yang diperlukan adalah pemikiran yang menaklukkan bak pelaut tangguh atas hadirnya badai. Tenang, tapi cakap bukan karena tak sadar marabahaya. Bukan panik lantas membuat label dan kampanye yang hanya kuatkan militansi pembadai.
Keberanian menghadapi badai bernama Khawarij, dengan demikian, tak memadai bila diartikan kesiapan dalam soal persenjataan. Menghadapi kekerasan tak melulu dengan kekerasan. Bukan pula lantas mendadak melunak, yang malah mengesankan kebingungan menemukan taktik dan metode jitu. Keberanian adalah tampilan di atas, yang di bawah itu ada kecerdasan berhujjah dan keluhuran pekerti.
Orang-orang yang hanya percaya dengan nash dan anti-logika hanya patut dilawan sesiapa yang juga menguasai dalil dengan mumpuni. Di sinilah kepakaran dalam tafsir Quran dan kerapatan pada sunnah Nabi dalam sosok Ibn Abbas patut disemai hari ini. Ini yang agenda prioritas kekuasaan bila benar-benar serius hendak menangkal badai Khawarij. Bukan melipat misi disebalik itu demi kucuran donatur asing. Bukan dengan langkah mengeroyok lewat jalur para alim yang hanya bisa berkoar banggakan kehebatan Aswaja atau kesunnahan diri. Karena badai memang bukan dilawan dengan badai lain bila ingin selamat dalam tepian kebangsaan. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net