(Suaramuslim.net) (Berzakat.id) – Biasanya ayat 183 dari surah al-Baqarah seringkali dijadikan dalil kewajiban puasa di bulan Ramadhan. Menurut tadabbur penulis, ayat ini bukan sekedar membahas kewajiban puasa, namun darinya bisa disarikan bekal-bekal untuk menyongsong bulan suci ini.
Berikut ini adalah firman Allah ta’ala yang bisa dijadikan bekal menuju Ramadhan:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Dari ayat ini dapat disarikan empat bekal menyongsong bulan Romadhon: Pertama, ikhlas. Kedua, iman. Ketiga, ilmu. Keempat, istikamah.
Bekal Ikhlas
Ayat ini didahului dengan kata “ya `ayyuha” yang biasa diartikan dengan wahai. Kalau ditinjau dari sisi bahasa Arab, ternyata kata ini bukan sekedar panggilan namun juga mengandung peringatan. Di dalamnya ada huruf “ha” yang salah satu maknanya adalah “lit-tanbih” (peringatan atau perhatian). Artinya, orang yang dipanggil dan mendapat perintah ini perlu memperhatikan pesan yang akan disampaikan dengan seksama dan dengan penuh kesadaran.
Peringatan ini laksana klakson mobil yang dibunyikan oleh pengendara kepada pengendara lain atau pejalan kaki agar berhati-hati. Maka sudah seharusnya, orang yang hendak berpuasa memiliki perhatian dan kesadaran prima agar mampu menjalankannya dengan baik.
Di antara kesadaran dan perhatian paling kuat yang bisa dilakukan orang yang hendak berpuasa adalah niat yang ikhlas. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa niat begitu penting. Semua amal (kebaikan) tergantung pada niatnya. Jika dilakukan karena Allah dan Rasul-Nya maka makan itu akan dinilai ikhlas karena keduanya. Tapi, jika tujuannya karena dunia, maka ia hanya mendapat dunia (HR. Bukhari, Muslim).
Dengan demikian, maka bekal pertama yang wajib dipunyai oleh orang yang hendak berpuasa adalah keikhlasan niat.
Bekal Iman
Pihak yang dipanggil Allah dalam ayat ini adalah orang-orang yang beriman. Sebab, yang bisa menjalankan perintah ini dengan sangat baik hanyalah orang-orang beriman. Maka tidak mengherankan jika dalam hadits nabi disebutkan bahwa orang yang menunaikan puasa dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, maka dosa-dosa (kecil) di masa lalu akan terampuni. Ini menunjukkan bahwa bekal keimanan begitu penting dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan.
Terlebih, kalau dilihat dari sisi sejarah, kewajiban puasa ini keluar pada tahun 2 Hijriah ketika orang-orang beriman sedang mendapat perintah: pemindahan arah kiblat dari Al-Aqsha ke Masjidil Haram (Ka’bah), kewajiban puasa, kewajiban zakat dan akan menghadapai perang sengit Badar Kubra. Peristiwa-peristiwa ini jelas membutuhkan bekal keimanan yang ekstra.
Berkat keimanan semua syariat itu bisa dilaksanakan dengan baik, bahkan pertempuran yang begitu heroik antara orang beriman berjumlah sekitar 315 melawan pasukan kafir berjumlah hampir seribu, bisa dimenangkan oleh orang-orang beriman dan itu terjadi di bulan Ramadhan.
Bekal Ilmu
Selanjutnya, firman berikut, “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” menunjukkan bahwa bagi orang yang hendak berpuasa maka perlu membekali diri dengan ilmu.
Dari potongan ayat ini, setidaknya ada dua ilmu yang dipersiapkan untuk menyongsong bulan puasa: Pertama, fikih puasa. Dengan mengetahui kewajiban puasa dan berbagai hukum-hukum seputarnya, maka puasa bisa ditunaikan sesuai dengan arahan yang dikehendaki Allah, bukan semaunya sendiri. Kerana pada prinsipnya, diterimanya ibadah dipersyarati dua hal: keikhlasan dan sesuai dengan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, adalah ilmu sejarah. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa juga diwajibkan atas orang-orang sebelum umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukkan bahwa sejarah-sejarah puasa umat terdahulu, atau sejarah-sejarah inspiratif terkait orang-orang saleh dalam menjalankan berpuasa juga layak dipersiapkan untuk menyongsong bulan Romadon.
Kisah-kisah inspiratif orang-orang saleh yang sukses dalam puasanya bukan sekadar menjadi hiburan, tetapi juga dijadikan sebagai motivasi dan teladan agar bisa mencapai ibadah maksimal di bulan Ramadhan sebagaimana mereka.
Bekal Istikamah
Ayat ini ditutup dengan “agar kalian bertakwa.” Pada akhirnya, tujuan syariat puasa adalah agar membentuk insan-insan mukmin yang bertakwa. Menariknya, ‘orang-orang bertakwa’ dalam ayat ini diungkapkan dengan bentuk ‘fi’il mudhaari’ (kata kerja bentuk sekarang dan yang akan datang) berupa “tattaqun” bukan dengan kata benda “lil-muttaqin.”
Dalam bahasa Arab salah satu fungsi kata kerja semacam ini adalah untuk menunjukkan pekerjaan yang sedang dan akan terjadi. Artinya, mengandung kontinuitas dan kesinambungan. Maksudnya, ketakwaan adalah hal yang terus diupayakan secara kontinu dan berkesinambungan.
Satu di antara kata yang tepat untuk menggambarkan kebersinambungan ini adalah: istiqamah.
Hanya orang-orang yang berbekal istiqamahlah yang akan sukses di bulan Ramadhan. Tidak mengherankan jika nabi pernah bersabda amalan paling dicintai Allah adalah yang paling istiqamah meskipun sedikit (HR. Bukhari, Muslim).
Orang yang sebelum Ramadhan sudah istiqamah berpuasa sunnah, shalat malam (tahajjud) dan amal-amal lainnya, maka ketika memasuki Ramadhan tidak akan mengalami kesulitan. Mengapa demikian? Sebab puasa adalah membentuk pribadi yang senantiasa bertakwa. Sedangkan takwa itu dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan hingga ajal menjemput. Hanya orang istiqamahlah yang pada akhirnya mampu mempertahankannya.
Dengan bekal niat ikhlas, keimanan kuat, ilmu mumpuni dan amalan yang istiqamah yang dipersiapkan dengan baik sebelum Ramadhan, sangat besar kemungkinan kesuksesan Ramadhan akan diraih oleh siapa saja yang bersungguh-sungguh menyiapkannya.
Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten AQL Islamic Center (Pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir), alumnus Univ. Al Azhar Mesir