Suaramuslim.net – Seharian kemarin saya mencoba menghabiskan hari dengan membaca buku-buku pemberian Prof Lutfia Nurlaela tentang komitmen pengabdian berbagi di ujung negeri. Banyak hal yang sejatinya memberi sebuah pemahaman bahwa terlalu banyak yang tidak kita ketahui dalam hidup di luaran sana. Apa yang kita ketahui tak sebanding dengan apa yang tidak kita ketahui, apalagi kadang yang kita ketahui belum tentu sesuatu yang benar, lalu kita yakini, sehingga menjadi lengkap kegelapan jalan yang kita rengkuh.
Lalu apa yang mesti kita banggakan tentang diri? Ah kawan… Berhentilah berbangga diri, karena terlalu banyak di luaran sana yang lebih bisa membuktikan komitmennya. Kita lebih banyak seolah-olah komitmen terhadap sesuatu, nyatanya apa yang kita lakukan seringkali lebih pada ketidaktahuan dan kepentingan memuaskan diri.
Kisah tentang pengabdian para sarjana mengajar yang dikirim pemerintah di daerah daerah terpencil, tertinggal dan terluar merupakan potret pengabdian yang tulus, tidak hanya mereka rela meninggalkan panggung gemerlap pemenuhan kepuasan diri seolah-olah, tapi mereka punya cara memuaskan rasa dan hati dengan kebenaran yang hakiki. Potret sebuah komitmen diri bahwa dirinya tahu tentang apa yang diketahui, lalu berbuat, sehingga apa yang diperbuat menyuratkan sebuah keyakinan dan komitmen yang sesungguhnya.
Kisah berbagi di ujung negeri merupakan gambaran sunyi tentang sebuah pengabdian. Tak butuh hiruk pikuk aksi yang juga tak jelas misi. Ibarat menembak musuh, maka efektifitas dan keterukuran merupakan pegangan dalam setiap menempatkan diri.
Mampu Menempatkan Diri
Hal yang sangat berkesan ketika membaca buku ini adalah perasaan kita teraduk-aduk dan seolah terbawa ke realitas yang sebenarnya. Kita dipaksa merasakan sebuah kenyataan yang selama ini tidak kita rasakan. Kita dibawah ke situasi lain, yang mungkin belum pernah kita rasakan.
Kita diajari bahwa hidup itu tidak hanya yang kita ketahui dan kita rasakan, di luaran sana masih banyak yang belum kita ketahui dan kita rasakan. Sehingga pesannya begitu jelas bahwa tak bolehlah kita merasa bangga terhadap apa yang selama ini ada pada kita, karena ternyata banyak yang sudah berbuat lebih dibanding dengan apa yang kita gembar gemborkan selama ini.
Jalan sunyi pengabdian yang mereka tempuh ini, mengajarkan kepada kita juga kemampuan menempatkan diri. Betapa tidak, mereka yang berasal dari latar belakang sosial dan budaya yang berbeda, diharapkan bisa mengajarkan sesuatu kepada mereka yang masih dalam situasi terbelakang. Mereka dipaksa untuk bisa mengajarkan dan belajar bersama mereka. Hal yang dibutuhkan adalah kemampuan menempatkan diri agar bisa melangsungkan proses belajar bersama mereka.
Menyamakan Frekuensi
Ibarat sebuah gelombang suara, maka agar dapat menangkap gelombang suara tersebut, yang harus menyesuaikan adalah kita, bukan gelombangnya. Apa maknanya, perubahan itu harus dimulai dari diri kita, bukan bergantung pada orang lain. Sehingga kita tidak selalu harus menunggu.
Perubahan yang harus dilakukan harus kita mulai dari diri kita. Kemampuan memahami situasi di luaran kita, sejatinya akan mendorong kita lebih mudah menempatkan diri dalam arus perubahan yang terjadi.
Nah kawan… Menutup diri dari perubahan dan informasi di luaran, sesungguhnya akan melemahkan daya tahan kita. Apalagi kalau ketertutupan itu kita sebarkan, sehingga seolah kita menebarkan virus kelemahan diri kepada orang lain. Kita akan kehilangan daya tahan dan tersisihkan.
Perubahan mencapai tujuan itu terus bergerak, tidak hanya kita yang melakukan. Siapapun yang berada dalam frekuensi yang sama akan bergerak ke arah capaian yang sama. Semakin kita bertahan kepada ego kita yang tak mau berubah, maka kita akan semakin lemah. Semakin kita tak mampu menyediakan ruang belajar yang baik, maka kita akan semakin kehilangan daya imunitas kita. Sukses dan tidak sebuah perjuangan hidup sejatinya berada di dalam genggaman kita.
Semoga Tuhan melepaskan kita dari kegelapan, menuju jalan terang kesuksesan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka”. (QS. Ar-Rad [13]: 11)
Samuel Smiles mengawalinya dengan gagasan atau pikiran. Tanamlah gagasan, petiklah tindakan. Tanamlah tindakan, petiklah kebiasaan. Tanamlah kebiasaan, petiklah watak. Tanamlah watak, petiklah nasib. Dimulai dari gagasan yang diwujudkan dalam tindakan, kemudian tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali akan menjelma menjadi watak, dan watak inilah yang akhirnya mengantarkan kita kepada nasib. Jadi nasib kita, kita sendirilah yang menentukan. Nasib kita ada di tangan kita.
*Surabaya, 30 Mei 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net