Suaramuslim.net – Ada dua nikmat –sebagaimana riwayat Imam Bukhari- yang seringkali membuat kebanyakan orang tertipu yaitu nikmat kesehatan dan waktu luang. Kedua anugerah Allah subhanahu wa ta’ala ini kebanyakan dibiarkan berlalu begitu saja tanpa ada amal-amal dan karya-karya yang bisa mengangkat derajat dirinya kelak di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Di bulan puasa ini, amat merugi jika waktu terbuang percuma di saat orang sedang gencar-gencarnya beribadah secara serentak. Masalahnya kemudian, bagaimana supaya waktu puasa tak terbuang sia-sia?
Kuncinya –bila belajar dari sejarah ulama atau generasi emas terdahulu- adalah manajemen waktu. Dalam kaitan ini, pernyataan Hasan Bashri Rahimahullah menjadi sangat relevan untuk diangkat. Suatu hari, beliau memberi wejangan (nasihat), “Waha sekalian manusia! Kamu hanyalah (sekumpulan) hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagianmu telah hilang.”
Pada kesempatan lain, tokoh besar dari kalangan tabi’in ini berujar, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang begitu semangat menjaga waktunya melebihi keinginan kalian dalam (mengumpulkan) dirham dan dinar (uang).” (Abu Ghadah, 1408: 27) Maka, agar puasa di bulan Ramadhan tidak sia-sia, di antara kunci utamanya adalah manajemen waktu.
Dalam buku berjudul “Durûs al-Masjid fî Ramadhân” (2002 : 261), Dr. Aidh Al-Qarni menyebutkan bahwa para generasi salaf saleh sangat bersemangat dalam menjaga waktu mereka. Kisah-kisah mengenai kepiawaian mereka dalam hal manajemen waktu begitu berlimpah. Apalagi di bulan Ramadhan.
Junaid bin Muhammad Rahimahullah misalnya, pada detik-detik wafatnya masih meluangkan waktu untuk membaca Al Quran. Kondisi demikian membuat anak-anaknya berkata, “Anda telah berusaha keras membuat payah diri sendiri.” Beliau menimpali dengan pertanyaan menukik, “Siapa orang yang paling pantas bersusah payah selainku?”
Selain Junaid, kisah Aswad bin Yazid Rahimahullah juga layak untuk dijadikan inspirasi. Waktu malamnya lebih banyak digunakan untuk shalat malam (qiyamul lail). Sampai-sampai sahabat-sahabatnya memberi saran, “Beristirahatlah walau sebentar!” Jawabannya bigitu menghentak sanubari, “Istirahat yang ku ingingkan adalah saat di akhirat.”
Ketika Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullah duduk di tanah Haram (Baitullah) bersama sekumpulan orang untuk berbincang sesuatu, di sela-sela itu beliau terhenyak berdiri laiknya orang yang sedang khawatir, lantas berujar, “Kita duduk-duduk di sini, sedangkan waktu siang sedang melakukan pekerjaannya sendiri.” Artinya, waktu terbuang percuma. Padahal, waktu akan terus berjalan.
Sebagian yang lain ada yang membagi waktunya bebarapa jam. Beberapa jam untuk shalat, tilawah Al Quran, dzikir, berpikir, menuntut ilmu, mencari rezeki halal dan tidur. Bagi mereka tidak ada sama sekali ruang untuk bermain atau melakukan hal sia-sia yang bisa membuat waktu terbuang percuma.
Di bulan puasa, jika waktu tidak dimanajemen dengan baik, maka waktu yang sedemikian berharga ini akan berlalu begitu saja. Apa yang dikatakan oleh Hasan Bashri berikut begitu melecut nurani, “Jika Anda tidak menyibukkan diri dengan yang haq, maka nafsu akan menyibukkan Anda dengan yang batil.” (Muhammad Ismail Muqaddam, ‘Uluww al-Himmah, 348)
Jika kata “diri” diganti “puasa”, maka nasihatnya kurang-lebih demikian, “Jika waktu puasamu tidak disibukkan dengan hal-hal yang haq (benar), maka nafsumu akan menyibukkannya dengan hal yang batil.”
Semoga waktu bulan puasa tidak tersia-sia dan kita bukan bagian di antara orang merugi yang pernah disabdakan nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang yang bulan Ramadhan telah berlalu, tapi dosa-dosanya tidak terampuni (HR. Tirmidzi). Bisa jadi, ini karena tidak pandai memanfaatkan waktu di bulan Ramadhan dengan baik.
Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc*
Editor: Oki Aryono
*Tim Konten AQL Islamic Center (Pimpinan Ustadz Bachtiar Nasir), alumnus Univ. Al Azhar Mesir