Oleh: Yusuf Maulana (penulis buku “Mufakat Firasat”)
Raihan suaranya tak sampai 1%, tepatnya di digit 0,89% dengan raihan suara 443.766 (posisi kotak suara 99,92% mengutip berita dari Anadolu Agency). Sementara raihan suara partainya hanya 1,35%. Hasil ini tentu berkebalikan dengan pesan yang dikatakannya kala bercuit usai dari bilik suara. Jalan ke depan Temel Karamollaoğlu tampaknya berbeda dengan bayangan ataupun optimisme seruan dakwah yang biasa dikumandangkan di depan para penyokongnya dalam barisan Saadet Partisi.
Perseteruan Saadet dengan Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP), partai penguasa Turki sejak 2002, tidaklah sesederhana kecurigaan sebagian lawan politik Racep Tayyip Erdogan. Taqiyya politik ala Erdogan terhadap Saadet, ataupun sebaliknya, hanyalah bualan atau tepatnya kecurigaan masa lalu. Padahal, masa lalu pula yang memisahkan Erdogan dan orang-orang seperti Karamollaoğlu. Bila Karamollaoğlu setia dengan garis politik senior dan pendiri partai, Necmettin Erbakan, tidak demikian dengan Erdogan. Nama terakhir ini memilih pendekatan politik berbeda dengan sang mentor dan sesepuh politik Islam di Turki.
Juli 2001, Saadet Partisi ditubuhkan Erbakan dan sahabatnya, Recai Kutan. Ini tak lama setelah Mahkamah Konstitusi Turki membubarkan partai Erbakan sebelumnya, Fazilet Partisi. Sebulan berikutnya, para sahabat mereka dari kalangan muda yang berhaluan progresif, atau dalam amatan mereka: bercorak “agak sekuler”, membentuk AKP.
Tersebutlah nama Numan Kurtulmuş sebagai ketua Saadet selepas Erbakan. Pada 2010, Kurtulmuş konflik dengan partainya, yang berujung pembentukan partai anyar: Halkın Sesi Partisi (HSP). Kelak Kurtulmuş memenuhi ajakan Erdogan untuk bergabung dengan AKP, sekaligus membubarkan HSP pada September 2011. Yang menarik, Kurtulmuş disebut-sebut salah satu yang pernah memecat Erdogan dari barisan “ikhwah” loyalis Erbakan. Uniknya, menyitir cik Ahmad Azam Ab Rahman (salah satu anak Melayu yang dekat dengan Erdogan), Kurtulmuş “digunakan” Erdogan untuk menyangga aspek tarbiyah di AKP! Jabatan resminya di kemudian hari: wakil perdana menteri Ahmet Davutoğlu, dan pada 2017 menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Loyalitasnya pada Erdogan tercermin pada cuitan pujiannya di Twitter sehari jelang pemilihan 24 Juni, yang ditutup kalimat elegan “Biz seferden sorumluyuz, Zafer Allah’tandır.” Kitalah yang bertanggung jawab atas waktu, dan Allah adalah sumber kemenangan itu.
Kurtulmuş memang bukan Karamollaoğlu. Bukan semata beda usia pemilah beda keduanya. Jarak mindanya juga terbentang lebar. Meski keduanya pernah separtai, bahkan Kurtulmuş pernah sebagai qiyadah di partai dakwah Turki itu, di kemudian hari ada perbedaan menganga. Kurtulmuş bisa berdamai dengan masa lalu, dan memandang beda orang yang pernah dimusuhinya. Hal yang masih sukar diperbuat para al-akh di Saadet di bawah Karamollaoğlu. Watak keras kepala ala Erbakan yang menolak garis Islam “abu-abu” ala Erdogan, Abdullah Gül, atau Bülent Arınc, selaku assabiqunal-awwal AKP, masih dipertahankan elit Saadet. Termasuk menyikapi para “mantan kader dakwah” yang membawa bendera AKP. Bahkan ketika AKP berkuasa dan sukar digoyang, sikap berseteru itu tak ragu ditutupi. Ajakan Erdogan pada para sahabat lama untuk bermitra dalam Pemilu 2018 ini diempaskan. Para al-akh yang men-tahdzir Erdogan justru, ironisnya, bergabung dengan partai lawan-abadi Erbakan, Cumhuriyet Halk Partisi (CHP).
Prasangka laten atas identitas islamis politik rupanya tidak sepenuhnya pudar di benak para mitra beda ideologi Saadet. Selepas kekalahan kandidat CHP dan koalisi mereka pada Pemilu 24 Juni, Saadet mulai disangka tidak-tidak. Fakta adanya para al-akh yang menyeberang ke AKP sebelum pencoblosan seakan mengafirmasi prasangka para Kemalis tulen. Kini, kekalahan mereka pun sebagiannya diarahkan sebagai ketidakseriusan elit Saadet. Padahal, elit Saadet di bawah Karamollaoğlu benar-benar ingin “menghabisi” dominasi Erdogan dan AKP. Tampikan atas tawaran Erdogan bukan basa-basi apalagi diplomasi politik tinggi. Kenekatan untuk bergabung dengan CHP seakan menandaskan sikap asal-bukan-Erdogan memang nyata adanya. Inilah satu sikap yang di benak sebagian islamis di sini luput diperhatikan; atau bila ada yang mengetahui ihwal ini maka kebingungan yang ada pada akhirnya.
“Besok, kita akan membuat pilihan bersejarah sebagai negara. Dengan pilihan ini, kita akan memilih negara untuk memerintah negara selama 5 tahun dan untuk melakukan kegiatan legislatif. Dalam Pemilihan, itu adalah refleksi lengkap dari kehendak orang-orang. Baginya, perlombaan itu adil, kondisi harus normal. Sayangnya, selama proses kampanye, kami berjuang melawan kondisi yang tidak adil, perilaku tidak bermoral,” tulis Karamollaoğlu dalam statusnya sebelum hari-H pemilihan.
Ia memang tanpa tedeng aling-aling menyebut pemerintahan Erdogan tidak ramah dalam menghadirkan kebebasan. Awal Mei lalu, seperti dikutip dari Antara, ia mengutarakan hal yang sepertinya mewakili jalan pikiran partainya, “Pada intinya, masalah di negeri ini bukan sayap kanan-kiri. Masalah di negeri ini bukan masalah konservatif atau liberal. Masalah di negara ini adalah tentang penindas dan yang tertindas.”
Benarkah soal tindas-menindas ini steril dari Saadet atau politisi islamis seperti Karamollaoğlu; setidaknya pada masa lalu terhadap orang yang hari ini disebutnya menindas? Pernyataan Karamollaoğlu memang bernuansa politik, dan ini haknya. Yang jelas, rekam jejak para al-akh dalam menyikapi kegarangan kalangan muda semasa masih di gerbong partai dakwah Fazilet Partisi, mestinya tak boleh diluputkan semudah empasan angin di Bosporus.
Putusan Karamollaoğlu dan para qiyadah dakwah di Saadet sudah ditetapkan, dengan hasil disaksikan jutaan Muslimin—terutama aktivis Islam—di mancanegara. Ini memang soal perbedaan biasa dalam ijtihad politik. Ada salah dan benar dalam kalkulasi melangkah dalam tegakkan dienullah. Tinggal bagaimana meredam ingatan masa lalu agar tidak berkelindan dengan hasad pada sesama pejuang di tempat berbeda. Tak elok bila pekik takbir di medan kampanye justru membelakangi adab pada sesama Muslim. Meskipun dalam bab manusia Turki, sebagai peradaban yang mencengkeram buana enam abad lamanya ini, kebesaran diri dan kepongahan kadang beda tipis saja.
Ini bisa menjadi pelajaran bagi kita, betapa menyikapi mantan kawan berjuang, al-akh tercinta sekalipun, penuh kerumitan. Dan itu selalu dari isi dada ini. Dari Kurtulmuş dan Karamollaoğlu kita bisa memetik pelajaran soal ini. Kadang berdamai dengan masa lalu itu bukan sebuah aib. []
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net